Penulis:
Sekilas:
Kinerja sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan saat ini
mengalami penurunan, karena pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
mengalami perlambatan dan neraca perdagangan negatif setiap tahunnya.
Permasalahan tersebut dipengaruhi oleh faktor produksi dan harga. Faktor
produksi merupakan faktor yang masih bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Sedangkan faktor harga sangat berkaitan dengan faktor eksternal, sehingga
tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, tulisan ini
akan berfokus pada pembahasan faktor produksi pada subsektor tanaman
pangan.
Hasil penelitian yang dilakukan memberikan beberapa kesimpulan yaitu
determinan produksi sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh luas lahan dan
produktivitas. Permasalahan pada lahan yaitu adanya alih fungsi lahan karena
kebutuhan tempat tinggal, dan keperluan untuk fasilitas umum. Sedangkan
konversi lahan sawah yang disebabkan adanya alih komoditi dari tanaman
pangan ke tanaman nonpangan karena margin harga komoditas nonpangan
dianggap lebih menguntungkan bagi petani. Salah satu faktor utama alih
komoditi adalah persoalan harga khususnya pada saat panen raya, komoditas
padi merupakan pangan pokok utama nasional, tetapi produktivitasnya terus
mengalami penurunan, dan penggunaan alat mesin pertanian (alsintan) pada
pasca panen masih relatif minim. Adapun upaya yang perlu dilakukan yaitu
pemerintah harus menyerap hasil produksi petani dan pemberian bantuan
alsintan harus secara lengkap yaitu pra panen dan pasca panen.
Penulis: Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. ❖ Ade Nurul Aida, S.E., M.E.
Sekilas:
Pelaksanaan otonomi daerah yang diterapkan sejak berlakunya UndangUndang (UU) No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintah Daerah, memberi peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal
dan meningkatkan kinerja keuangannya. Kesiapan daerah menjadi faktor penting
yang menentukan keberhasilan daerah dalam mengimplementasikan kebijakan
otonomi daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan yakni kemampuan
keuangan daerah. Hal tersebut tentunya membawa konsekuensi adanya
perbedaan kinerja keuangan antar daerah dari sebelum dan sesudah
pelaksanaan otonomi daerah, yang digambarkan dalam pemetaan kemampuan
keuangan daerah. Pemetaan kemampuan keuangan daerah digunakan sebagai
alat ukur kesiapan daerah dalam menjalankan kewenangannya. Pemetaan juga
dijadikan dasar strategi pengembangan sektor potensial di daerah dalam
mendorong kemandirian.
Pemetaan ini disusun dalam rangka mengevaluasi tentang pelaksanaan
otonomi daerah dilihat dari kemampuan keuangan daerah. Parameter yang
digunakan dalam studi ini adalah perhitungan dan analisis kinerja PAD melalui
ukuran yakni growth, share, dan elastisitas; pemetaan dan analisis kemampuan
keuangan daerah dengan metode indeks dan metode kuadran, maupun dengan
uji beda. Tahap analisis kemampuan keuangan daerah yakni menghitung Indeks
Kemampuan Keuangan (IKK) dengan rata-rata hitung dari indeks pertumbuhan
(growth), indeks elastisitas, dan indeks share. Kemudian mengklasifikasikan IKK
tersebut dengan mengombinasikannya ke dalam metode kuadran.
Hasil analisis diperoleh bahwa indeks growth dan indeks share setelah
adanya otonomi daerah mengalami penurunan. Artinya, pertumbuhan PAD
maupun kontribusi PAD dalam APBD lebih rendah dari sebelum dilaksanakannya
otonomi daerah. Sementara kontribusi PAD dalam membiayai belanja
pembangunan yang tercermin dari nilai indeks elastisitas, menunjukkan bahwa
secara rata-rata nilai indeks elastisitas setelah penerapan otonomi daerah
meningkat menjadi 0,492, meskipun peningkatan tersebut masih relatif kecil
yakni sebesar 0,06.
Hasil analisis menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah, kemampuan
keuangan daerah mengalami penurunan yang ditunjukkan dari jumlah provinsi
yang memiliki IKK tinggi turun dari sebelum otonomi daerah. Selain itu, berdasarkan hasil uji t, diperoleh hasil bahwa penerapan otonomi daerah tidak
meningkatkan kemampuan keuangan provinsi-provinsi di Indonesia. Dari peta
kemampuan keuangan provinsi-provinsi di Indonesia sebelum dan sesudah
otonomi daerah juga menunjukkan bahwa terjadi perubahan peta kemampuan
keuangan daerah secara signifikan. Sebanyak 15 provinsi mengalami penurunan
klasifikasi peta kemampuan keuangan daerah. Sedangkan hanya 2 provinsi yang
mengalami peningkatan klasifikasi peta kemampuan keuangan daerah, yaitu
Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Untuk itu, pemerintah perlu
mendorong pemerintah daerah agar mampu berinovasi dalam menggali sumber
pendapatan daerah sebagai bagian dari upaya peningkatan kemandirian daerah.
Penulis:
Sekilas:
Studi ini mengkaji perkembangan ketimpangan antar wilayah di Indonesia
dari periode 2000-2019. Pengujian dilakukan dengan pengelompokan
menggunakan tipologi Klassen dan pengukuran nilai ketimpangan dengan
menggunakan indeks Williamson. Selain itu, hasil penghitungan ketimpangan
tersebut diuji korelasinya dengan belanja pemerintah menurut jenisnya, yaitu
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja subsidi, belanja hibah,
belanja bantuan sosial serta transfer ke daerah.
Hasil penelitian diketahui bahwa tipologi Klassen mengategorikan 2
provinsi berada dalam kelompok provinsi yang maju dan berkembang
pesat/kuadran 1 yaitu DKI Jakarta dan Kepulauan Riau. Sementara itu, 8 provinsi
masuk ke dalam kelompok provinsi yang masuk dalam kategori tertinggal
(kuadran 3). Untuk kelompok provinsi yang tergolong berkembang dengan
pendapatan per kapita melebihi rata-rata namun pertumbuhannya rendah dan
berada di kuadran 4 terdapat 5 provinsi dan provinsi lainnya (19 provinsi) masuk
ke dalam kuadran 2 yang merupakan kuadran dengan pertumbuhan tinggi
namun PDRB per kapitanya di bawah rata-rata. Sementara itu, nilai ketimpangan
yang diukur dengan indeks Williamson selama 2010-2019 berada di kisaran
0,70-0,76 yang mendekati angka 1, artinya Indonesia mengalami ketimpangan
wilayah yang tinggi.
Pengujian korelasi variasi indeks Williamson dengan variasi belanja
negara menunjukkan belanja pegawai, belanja barang, belanja modal serta
transfer ke daerah berhubungan positif dan signifikan terhadap indeks
Williamson. Hal ini membuktikan bahwa belanja negara masih belum terdistribusi
secara merata dan belum mampu mengangkat daerah dengan pertumbuhan
rendah.
Penulis:
Sekilas:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kekayaan
Negara yang Dipisahkan (KND). Hal ini dilakukan di antaranya untuk mengetahui
kontribusi kinerja keuangan BUMN di sektor perbankan terhadap laba yang
diatribusikan ke pemilik entitas induk dan persentase kepemilikan saham
pemerintah, untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dividend payout
ratio (DPR) pada BUMN sektor perbankan seperti return on assets (ROA) dan
capital adequacy ratio (CAR) secara bersama-sama (simultan), untuk
mengetahui pengaruh profitabilitas (ROA) terhadap DPR pada bank BUMN, dan
untuk mengetahui pengaruh rasio kecukupan modal/CAR terhadap DPR pada
bank BUMN, serta untuk mengetahui target dan realisasi PNBP KND atas laba
BUMN sektor perbankan.
Berdasarkan hasil penelitian analisa kinerja keuangan hanya Bank BRI
yang telah memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan laba dan
persentase kepemilikan saham pemerintah yang besar sehingga penerimaan
PNBP KND sektor perbankan secara keseluruhan belum optimal. Berdasarkan
uji F, variabel ROA dan CAR perusahaan secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh terhadap DPR. Berdasarkan uji t, variabel ROA (X1) terhadap DPR
menunjukkan ROA berpengaruh signifikan dan positif terhadap DPR. Begitu pula
variabel CAR (X2). Realisasi PNBP KND/Setoran Dividen atas Laba Pemerintah
BUMN sektor perbankan selalu melampaui target PNBP KND atas laba
pemerintah. Namun, pemerintah masih perlu memformulasi target yang tepat
untuk penerimaan PNBP KND karena pemerintah masih menetapkan rasio DPR
yang sama untuk BUMN tanpa memerhatikan laba bank BUMN lebih besar atau
kecil. Pemerintah juga masih menetapkan rasio DPR yang sama tanpa
memerhatikan kinerja keuangan bank BUMN telah mengalami penurunan.
Penulis:
Sekilas:
Dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan konkuren, pemerintah
pusat mengalokasikan belanja kepada pemerintah daerah berdasarkan asas
tugas pembantuan. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan
yang dibagi antara pemerintah pusat; pemerintah daerah baik itu pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Prinsipnya untuk mendukung asas
dekonsentrasi atau asas tugas pembantuan, yang dalam pelaksanaan anggaran
diwujudkan dengan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Menurut
penggunaannya dana dekonsentrasi lebih ditujukan untuk upaya pembinaan,
pengawasan, dan koordinasi, sementara dana tugas pembantuan difokuskan
pada pembangunan output fisik.
Pengalokasian belanja pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga
(K/L) dalam bentuk belanja modal, belanja barang, dan belanja bantuan sosial,
bersama dengan transfer dana perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus
(DAK) dimaksudkan untuk meningkatkan investasi/akumulasi barang modal pada
pemerintah daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah yang tergambar melalui peningkatan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB). Beberapa provinsi mendapatkan alokasi dana tugas pembantuan
melebihi alokasi DAK, sementara di provinsi lainnya alokasinya lebih rendah.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis pengaruh belanja modal, belanja barang, dan belanja bantuan
sosial terhadap PDRB di 33 pemerintah provinsi (di luar DKI Jakarta). Data yang
digunakan adalah data belanja modal, belanja barang, belanja bantuan sosial
dan PDRB provinsi periode 2014-2019 yang bersumber dari BPS, Kementerian
Keuangan, dan instansi terkait lainnya. Alat analisis yang digunakan yaitu regresi
data panel dengan fixed effect model. Hasil analisis menunjukkan bahwa
variabel belanja modal berpengaruh positif terhadap PDRB dan variabel belanja
bantuan sosial berpengaruh negatif terhadap PDRB. Variabel belanja barang
dikeluarkan dari model karena tidak memenuhi uji multikolinearitas
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635