Jurnal Budget

Vol. 6 / No. 2 - November 2021

Penulis:

Sekilas:
Dalam mengamankan basis penerimaan pajak atas transaksi digital dan menciptakan level playing field bagi seluruh pelaku usaha, baik pelaku usaha digital dan pelaku usaha konvensional, pada akhirnya Indonesia melaksanakan unilateral action berupa perlakuan perpajakan atas transaksi digital sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2020. Studi ini kemudian akan mengkaji kebijakan perpajakan atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia dan tantangan yang mungkin timbul dalam penerapannya. Kebijakan pengenaan pajak ini dapat membantu dalam memulihkan ekonomi Indonesia akibat pandemi. Studi ini menemukan bahwa tanpa adanya konsensi global, pengenaan pajak pada transaksi lintas negara pada perdagangan berbasis digital akan sulit dilaksanakan. Hal yang menjadi persoalan dalam pengenaan PPh pada perusahaan digital luar negeri adalah kriteria penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) saat ini, baik dalam aturan domestik Indonesia maupun dalam tax treaty masih mensyaratkan adanya kehadiran fisik dan belum mengakui konsep kehadiran ekonomi signifikan. Dalam menghindari permasalahan treaty tersebut, pemerintah memperkenalkan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) yang tidak masuk ke dalam lingkup tax treaty. Namun, pengenaan pajak tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru, yaitu menimbulkan pajak berganda yang kemudian dapat memicu konflik dagang dengan negara mitra. Selain itu, pengenaan PPN pada PMSE juga menimbulkan berbagai tantangan, seperti memperoleh informasi pelaku usaha PMSE serta pengawasan dan pengenaan sanksi belum cukup kuat dalam memastikan kepatuhan pelaku usaha PMSE. Dengan demikian, hasil studi ini merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia harus mendorong kesepakatan global dalam hal kebijakan pengenaan pajak atas transaksi digital lintas negara. Selain itu, terkait kebijakan PPN atas PMSE yang sudah berjalan saat ini, pemerintah pun perlu mengoptimalkannya.




Vol. 6 / No. 1 - Juni 2021

Penulis:

Sekilas:
Saat ini, pengelolaan energi harus menjadi modal pembangunan nasional. Dalam mewujudkannya, maka diperlukan pengelolaan energi yang optimal dari sisi hulu maupun hilir, yaitu pengelolaan sumber daya energi yang terpadu dan berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan energi dalam negeri, pemanfaatannya yang efisien dan jaminan kemerataannya, serta pengendaliannya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan berbagai terobosan kebijakan, yang salah satunya adalah percepatan pembangunan infrastruktur energi dengan berprinsip pada pengelolaan yang berkelanjutan. Dari pembangunan tersebut, diharapkan akan memberikan dampak positif, baik bagi perekonomian maupun kualitas lingkungan. Indikator-indikator untuk melihat dampak tersebut di antaranya adalah tingkat konsumsi energi, produk domestik bruto (PDB), dan emisi gas rumah kaca, dalam hal ini yaitu karbon dioksida. Ketiga variabel tersebut seharusnya saling berpengaruh. Namun demikian, apakah benar hubungan pengaruh antara konsumsi energi, PDB, dan emisi karbon dioksida hanya bersifat satu arah, atau seluruh variabel tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaruh hubungan antarvariabel konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, dan emisi CO2 di Indonesia pada periode 1980-2019. Untuk melihat bentuk hubungan timbal balik antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen yang diteliti apakah hubungan searah atau dua arah, maka pada penelitian ini menggunakan pengujian kausalitas Granger. Dari uji hubungan kausalitas Granger, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi, tidak terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi lingkungan, serta penggunaan energi dan emisi CO2 memiliki hubungan kausalitas 1 arah, dimana terdapat hubungan searah dari konsumsi energi terhadap emisi CO2. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pengelolaan energi di Indonesia dapat dikatakan belum optimal, hal ini tidak hanya terlihat dari penggunaannya yang kurang menstimulus perekonomian, tetapi juga menghasilkan emisi CO2 yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkannya di antaranya, pertama, pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh kegiatan labour intensive daripada bergantung pada konsumsi energi (non-energy intensive). Kedua, konsumsi energi sebagian besar masyarakat Indonesia didominasi oleh kegiatan nonproduktif seperti sarana transportasi dan penggunaan alat elektronik di rumah tangga. Ketiga, lebih dari 70 persen konsumsi energi di Indonesia masih menggunakan energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 35 persen dan batubara sebesar 37 persen, dimana, penggunaan energi yang terus meningkat mampu memengaruhi emisi lingkungan di Indonesia. Beberapa rekomendasi dari hasil penelitian ini ialah, pertama, pemerintah perlu menetapkan dan menjalankan kebijakan yang mendorong efisiensi energi agar intensitas energi semakin rendah. Kedua, diperlukan transformasi teknologi rendah karbon. Ketiga, pemerintah perlu mendorong mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai sektor, terutama transportasi, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Terakhir, DPR maupun pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (UU EBT) dalam mendukung pengembangan investasi EBT.

Penulis:

Sekilas:
Meskipun Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) beserta aturan turunannya telah diterbitkan, tetapi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian masih marak terjadi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat persoalan dalam implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Laju alih fungsi lahan sawah nasional diperkirakan sebesar 96.512 hektar per tahun. Dengan laju tersebut, lahan sawah yang saat ini seluas 8,1 juta hektar diprediksi akan menciut menjadi hanya 5,1 juta hektar pada tahun 2045. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas UU tentang PLP2B. Sedangkan, metode penelitian ini menggunakan statistik deskriptif dan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu UU tentang PLP2B belum memuat aturan insentif bagi pemerintah daerah yang memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya dan disinsentif bagi pemerintah daerah yang tidak memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya. Insentif bagi petani dalam PP No. 12 Tahun 2012 masih tumpang tindih antara insentif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. PP No. 30 Tahun 2012 belum mengatur kelembagaan dan besaran pembiayaan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah yang menetapkan luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW dengan insentif berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian. Sedangkan pemerintah daerah yang tidak menetapkan, tidak diberikan DAK bidang pertanian. Kedua, pemberian insentif bagi petani yang ikut PLP2B dengan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) prapanen dan pascapanen. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan biaya ekstensifikasi menggunakan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).

Penulis:

Sekilas:
Pendapatan APBN merupakan salah satu sumber penerimaan pada Badan Layanan Umum (BLU) sebagai sumber dana dalam pemberian layanan kepada masyarakat sesuai tugas dan fungsinya. Kualitas layanan masyarakat maupun kualitas instansi BLU rumpun pendidikan dicerminkan oleh kualitas akreditasi insitusi BLU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran BLU pendidikan khususnya alokasi pendapatan APBN dan akreditasi BLU pendidikan, untuk mengetahui hubungan antara alokasi rasio pendapatan APBN dan akreditasi BLU pendidikan, serta untuk mengetahui pengaruh alokasi rasio pendapatan pada BLU pendidikan yang terakreditasi dan yang tidak terakreditasi. Akreditasi merupakan sebuah ukuran mutu suatu perguruan tinggi yang kriteria pengukurannya diuji dalam prosedur dan kriteria akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Berdasarkan Lampiran Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 3 Tahun 2019 tentang Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi, mutu suatu universitas ditetapkan berdasarkan empat dimensi, yaitu mutu kepemimpinan dan kinerja tata kelola, mutu dan produktivitas luaran (outputs) dan capaian (outcomes), mutu proses, serta mutu input. Menurut lampiran tersebut, pendapatan alokasi APBN dapat dikategorikan sebagai bagian keuangan yang ada pada dimensi mutu input. Pengkategorian tersebut membuat pendapatan alokasi APBN sebagai salah satu aspek yang memengaruhi akreditasi perguruan tinggi yang ditetapkan oleh BAN- PT. Oleh karena itu, BLU rumpun pendidikan perlu mengelola kinerja keuangan BLU pendidikan, khususnya pendapatan alokasi APBN, agar bisa meningkatkan mutu input yang memengaruhi akreditasi BLU rumpun pendidikan. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan metode analisis menggunakan uji korelasi Rank Spearman dan uji U Mann-Whitney. Purposive sampling dipilih menjadi metode dalam pengambilan sampel dan diperoleh 60 sampel dengan jangka waktu penelitian selama 3 tahun yaitu (2017-2019). Berdasarkan analisa kualitatif dari 60 sampel BLU pendidikan yang menjadi objek penelitian, terdapat 28 BLU yang mengalami penurunan alokasi pendapatan BLU, sedangkan 32 BLU pendidikan mengalami peningkatan alokasi pendapatan APBN BLU. Pada 60 sampel BLU pendidikan yang menjadi objek penelitian yang mendapatkan akreditasi A sebesar 26 BLU pendidikan, akreditasi B sebanyak 12 BLU pendidikan, akreditasi C sebanyak 1 BLU pendidikan, dan tidak mendapatkan akreditasi sebanyak 14 BLU pendidikan. Terdapat hubungan rasio alokasi pendapatan APBN dengan akreditasi pada BLU pendidikan dengan nilai korelasi sebesar 0,565 (sedang dan positif). Berdasarkan uji U Mann-Whitney, alokasi rasio pendapatan pada BLU yang terakreditasi berbeda dengan BLU yang tidak terakreditasi

Penulis:

Sekilas:
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bauran kebijakan makro ekonomi yang berperan untuk mencapai tujuan makroekonomi suatu negara yang telah diuraikan dalam rencana pembangunannya. Efektivitas kedua kebijakan tersebut mutlak diperlukan untuk mencapai target pembangunan dan menciptakan stabilitas perekonomian. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam menangani inflasi di Indonesia periode 1984-2019. Variabel yang menjadi proxy kebijakan fiskal adalah belanja pemerintah (rBP) dan penerimaan pajak (rPP). Sedangkan yang menjadi proxy kebijakan moneter adalah suku bunga Indonesia (rSBI) dan kurs (rKurs). Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif dengan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) karena variabel terkointegrasi tetapi stasioner pada perbedaan pertama. Hasil dari penelitian ini adalah impulse respon function (IRF) menunjukkan shock dari kebijakan fiskal direspon lebih cepat oleh inflasi untuk mencapai tingkat kestabilan dibandingkan shock yang diberikan kebijakan moneter. Sedangkan berdasarkan hasil dari uji variance decomposition (VD), variabel rBP memiliki kontribusi terbesar 89,15 persen terhadap rInflasi. Sedangkan rPP berkontribusi 1,12 persen, rSBI berkontribusi sebesar 0,01 persen, dan rKurs berkontribusi sebesar 8,21 persen terhadap rInflasi. Sehingga berdasarkan hasil uji VECM terhadap efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi periode 1984-2019, dihasilkan bahwa kebijakan fiskal memiliki efektivitas lebih besar dibandingkan kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi. Saran terhadap penelitian selanjutnya agar menambahkan variabel yang menjadi proxy kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Di samping itu, sebaiknya juga menggunakan metodologi kualitatif untuk menguraikan faktor- faktor yang memengaruhi kebijakan fiskal atau kebijakan moneter agar lebih efektif dalam menangani inflasi yang terjadi.




← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Selanjutnya →