Jurnal Budget

Vol. 7 / No. 1 - Juli 2022

Penulis:

Sekilas:
Seiring dengan fokus dunia dalam meningkatkan efisiensi energi, Indonesia juga turut menargetkan penurunan intensitas energi sebanyak 1 persen per tahun hingga tahun 2025 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015). Semakin kecil intensitas energi primer (IE) semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk menciptakan satu unit produk domestik bruto (PDB). Hal ini pada gilirannya meningkatkan daya saing global ekonomi, memberikan insentif tambahan untuk kelestarian lingkungan dan keamanan energi. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk menganalisis determinan intensitas energi di Indonesia dengan melihat arah hubungan beberapa faktor ekonomi dengan intensitas energi. Diharapkan dengan mengetahui determinan intensitas energi ini dapat berguna bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan energi di Indonesia untuk mendorong penggunaan energi yang lebih efisien.

Penulis:

Sekilas:
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji bagaimana pengaruh variabel nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, GDP Amerika Serikat, GDP Indonesia terhadap kinerja ekspor kopi Indonesia ke Amerika Serikat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah ekspor kopi Indonesia ke Amerika Serikat (XKUSA) (Trademap) sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independen terdiri dari pendapatan nasional yang diproxykan dengan GDP baik Indonesia (GDPI) (World Bank) maupun GDP Amerika Serikat (GDPUSA) (macrotrends) serta nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Metode analisis data yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM) karena keempat variabel stasioner pada first different dan keempat variabel ini tidak terjadi kointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh nilai tukar terhadap kinerja ekspor kopi Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan variabel nilai tukar tidak signifikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena nilai t probabilitasnya lebih besar dari nilai statistik 5%. Variabel nilai tukar bertanda positif pada hasil ECM jangka pendek bermakna bahwa adanya pelaku usaha berani mengambil risiko atas ketidakpastian nilai tukar.

Penulis:

Sekilas:
Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional. Hal tersebut tercermin dari kontribusi subsektor perkebunan terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan rata-rata 3,51 persen, tenaga kerja sebesar 19,08 persen, dan neraca perdagangan subsektor perkebunan juga selalu positif. Namun, disisi lain ekspor produk hasil perkebunan masih didominasi oleh produk mentah atau intermediate. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah komoditas perkebunan masih rendah. Karena itu, pentingnya bagi pemerintah untuk mencari penyebab rendahnya nilai tambah komoditas perkebunan. Berangkat dari permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya nilai tambah komoditas perkebunan dan upaya meningkatkan nilai tambah komoditas perkebunan. Model penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriftif. Kemudian beberapa penlitian terdahulu lebih fokus pada satu komoditas, karena itu keunggulan dalam penelitian ini adalah komoditas tidak hanya terfokus pada satu komoditas tetapi pada komoditas yang masuk unggulan.

Penulis:

Sekilas:
Penelitian ini akan memberikan gambaran kemampuan keuangan provinsi di wilayah barat Indonesia. Selanjutnya atas hasil tersebut dapat diberikan masukan terkait langkah yang bisa dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan daerah dan transfer ke daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jangka waktu data yang digunakan adalah dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Objek penelitian adalah 16 Provinsi di Wilayah Barat Indonesia. Data yang digunakan yakni APBD Tahun 2010-2020. Penelitian ini menggunakan analisis share dan growth serta metode kuadran.

Penulis:

Sekilas:
Hasil pemeriksaan BPK tahun 2020 terkait indeks kemandirian fiskal terhadap 503 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan bahwa 92,5 persen daerah masih berstatus “belum mandiri”, sebanyak 5,98 persen pemerintah daerah berstatus “menuju kemandirian”, dan hanya 1,50 persen daerah berstatus “mandiri”. Berdasarkan data APBD tahun 1995 dan di tahun 2020, secara proporsional tidak terjadi perubahan signifikan sebelum dan setelah adanya dana perimbangan. Prosentase jumlah daerah dengan kategori kemandirian yang rendah sekali hanya berkurang dari 89,6 persen di tahun 1995 menjadi 87,3 persen di tahun 2020, sementara prosentase jumlah daerah dengan kategori rendah justru bertambah dari 9,2 persen di tahun 1995 menjadi 10,1 persen di tahun 2020




← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Selanjutnya →