

Penulis:
Sekilas:
Kecukupan nutrisi telah disadari memainkan peranan yang sangat penting
bagi tingkat kesehatan masyarakat dan pembangunan ekonomi secara umum.
Namun, tingkat konsumsi pangan masyarakat di Indonesia, terutama kelompok
masyarakat miskin, dinilai masih belum cukup baik dan masih harus terus
ditingkatkan. Di sisi lain, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diluncurkan
pertama kali pada tahun 2005 sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM
diharapkan mampu menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin yang
terdampak. Melihat salah satu ekspektasi dari program BLT tersebut, penelitian ini
kemudian bertujuan untuk melihat efek status penerimaan BLT terhadap tingkat
konsumsi pangan rumah tangga di Indonesia. Variabel konsumsi pangan sendiri
akan diukur dengan berbagai indikator tingkat konsumsi pangan yang berfokus
pada konsumsi karbohidrat (berupa beras) serta protein (berupa daging ayam dan
daging sapi). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indonesian Family
Life Survey (IFLS) gelombang 4 (2007) yang memiliki data status penerimaan
program BLT, kuantitas konsumsi berbagai jenis pangan, dan juga berbagai
karakteristik sosioekonomi rumah tangga yang relevan terhadap penelitian ini.
Hasil estimasi menunjukkan adanya perbedaan tingkat konsumsi beras yang
signifikan antara rumah tangga penerima manfaat BLT dan rumah tangga non-
penerima. Di sisi lain, perbedaan tersebut tidak terlihat pada tingkat konsumsi
protein, baik untuk daging ayam maupun daging sapi. Hasil estimasi ini kemudian
mengimplikasikan adanya dampak positif dari program BLT bagi peningkatan
konsumsi pangan rumah tangga penerima manfaat BLT, khususnya untuk jenis
pangan pokok beras.
Penulis:
Sekilas:
Dukungan APBN terhadap sektor pertanian meliputi belanja pemerintah
pusat dan transfer ke daerah, serta Kementerian Pertanian sebagai leading sector
pertanian. Namun, masih terdapat persoalan terhadap pelaksanaan dukungan
APBN terhadap sektor pertanian, meliputi belanja pemerintah pusat terutama
terhadap subsidi pupuk serta transfer ke daerah (DAK). Tujuan penelitian ini yaitu
menganalisis dukungan APBN untuk sektor pertanian meliputi belanja pemerintah
pusat terutama terhadap subsidi pupuk serta transfer ke daerah (DAK).
Sedangkan, data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari laman
Kementerian Pertanian, Nota Keuangan APBN, serta lembaga yang terkait sektor
pertanian. Metode analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif yang
mendeskripsikan data-data dari informasi yang diperoleh.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa permasalahan yaitu sistem
distribusi pupuk, regulasi dan teknis DAK Irigasi, sosialiasi dan administrasi DAK
Pertanian, luas tanam dan produktivitas yang menurun, impor beras,
ketergantungan impor produk segar hortikultura, penurunan luas tanam komoditas
unggulan perkebunan, distribusi alsintan masih fokus pada prapanen dan tidak
tepat sasaran, kapasitas produksi benih varietas unggul yang mengalami
penurunan, rendahnya tingkat pendidikan petani dan keterbatasan jumlah serta
kualitas penyuluh pertanian di lapangan, serta realisasi kegiatan Badan
Ketahanan Pangan yang belum optimal terutama di daerah. Oleh karena itu, upaya
yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu meningkatkan penyediaan data
kebutuhan pupuk yang tepat, regulasi harus tepat waktu, menjaga luas tanam,
impor selektif, meningkatkan produksi hortikultura, dan menjaga stabilitas harga
komoditas.
Penulis:
Sekilas:
Dalam mengamankan basis penerimaan pajak atas transaksi digital dan
menciptakan level playing field bagi seluruh pelaku usaha, baik pelaku usaha
digital dan pelaku usaha konvensional, pada akhirnya Indonesia melaksanakan
unilateral action berupa perlakuan perpajakan atas transaksi digital sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2020. Studi ini kemudian akan
mengkaji kebijakan perpajakan atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(PMSE) di Indonesia dan tantangan yang mungkin timbul dalam penerapannya.
Kebijakan pengenaan pajak ini dapat membantu dalam memulihkan ekonomi
Indonesia akibat pandemi.
Studi ini menemukan bahwa tanpa adanya konsensi global, pengenaan
pajak pada transaksi lintas negara pada perdagangan berbasis digital akan sulit
dilaksanakan. Hal yang menjadi persoalan dalam pengenaan PPh pada
perusahaan digital luar negeri adalah kriteria penentuan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) saat ini, baik dalam aturan domestik Indonesia maupun dalam tax treaty
masih mensyaratkan adanya kehadiran fisik dan belum mengakui konsep
kehadiran ekonomi signifikan. Dalam menghindari permasalahan treaty tersebut,
pemerintah memperkenalkan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) yang tidak masuk
ke dalam lingkup tax treaty. Namun, pengenaan pajak tersebut berpotensi
menimbulkan masalah baru, yaitu menimbulkan pajak berganda yang
kemudian dapat memicu konflik dagang dengan negara mitra. Selain itu,
pengenaan PPN pada PMSE juga menimbulkan berbagai tantangan, seperti
memperoleh informasi pelaku usaha PMSE serta pengawasan dan pengenaan
sanksi belum cukup kuat dalam memastikan kepatuhan pelaku usaha PMSE.
Dengan demikian, hasil studi ini merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia
harus mendorong kesepakatan global dalam hal kebijakan pengenaan pajak atas
transaksi digital lintas negara. Selain itu, terkait kebijakan PPN atas PMSE yang
sudah berjalan saat ini, pemerintah pun perlu mengoptimalkannya.

Penulis:
Sekilas:
Saat ini, pengelolaan energi harus menjadi modal pembangunan nasional.
Dalam mewujudkannya, maka diperlukan pengelolaan energi yang optimal dari
sisi hulu maupun hilir, yaitu pengelolaan sumber daya energi yang terpadu dan
berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan energi dalam
negeri, pemanfaatannya yang efisien dan jaminan kemerataannya, serta
pengendaliannya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan berbagai terobosan kebijakan, yang salah satunya
adalah percepatan pembangunan infrastruktur energi dengan berprinsip pada
pengelolaan yang berkelanjutan. Dari pembangunan tersebut, diharapkan akan
memberikan dampak positif, baik bagi perekonomian maupun kualitas lingkungan.
Indikator-indikator untuk melihat dampak tersebut di antaranya adalah tingkat
konsumsi energi, produk domestik bruto (PDB), dan emisi gas rumah kaca, dalam
hal ini yaitu karbon dioksida. Ketiga variabel tersebut seharusnya saling
berpengaruh. Namun demikian, apakah benar hubungan pengaruh antara
konsumsi energi, PDB, dan emisi karbon dioksida hanya bersifat satu arah, atau
seluruh variabel tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu,
tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaruh hubungan antarvariabel
konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, dan emisi CO2 di Indonesia pada periode
1980-2019. Untuk melihat bentuk hubungan timbal balik antara variabel-variabel
independen dengan variabel dependen yang diteliti apakah hubungan searah atau
dua arah, maka pada penelitian ini menggunakan pengujian kausalitas Granger.
Dari uji hubungan kausalitas Granger, diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi, tidak
terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi
lingkungan, serta penggunaan energi dan emisi CO2 memiliki hubungan kausalitas
1 arah, dimana terdapat hubungan searah dari konsumsi energi terhadap emisi
CO2. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pengelolaan energi di Indonesia
dapat dikatakan belum optimal, hal ini tidak hanya terlihat dari penggunaannya
yang kurang menstimulus perekonomian, tetapi juga menghasilkan emisi CO2
yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkannya di antaranya, pertama,
pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh kegiatan labour intensive daripada
bergantung pada konsumsi energi (non-energy intensive). Kedua, konsumsi
energi sebagian besar masyarakat Indonesia didominasi oleh kegiatan
nonproduktif seperti sarana transportasi dan penggunaan alat elektronik di rumah
tangga. Ketiga, lebih dari 70 persen konsumsi energi di Indonesia masih
menggunakan energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 35 persen dan batubara sebesar 37 persen, dimana, penggunaan energi yang terus meningkat mampu
memengaruhi emisi lingkungan di Indonesia. Beberapa rekomendasi dari hasil
penelitian ini ialah, pertama, pemerintah perlu menetapkan dan menjalankan
kebijakan yang mendorong efisiensi energi agar intensitas energi semakin rendah.
Kedua, diperlukan transformasi teknologi rendah karbon. Ketiga, pemerintah perlu
mendorong mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai
sektor, terutama transportasi, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Terakhir, DPR
maupun pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Energi Baru
Terbarukan (UU EBT) dalam mendukung pengembangan investasi EBT.
Penulis:
Sekilas:
Meskipun Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) beserta aturan turunannya
telah diterbitkan, tetapi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian
masih marak terjadi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat
persoalan dalam implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (PLP2B). Laju alih fungsi lahan sawah nasional diperkirakan
sebesar 96.512 hektar per tahun. Dengan laju tersebut, lahan sawah yang saat ini
seluas 8,1 juta hektar diprediksi akan menciut menjadi hanya 5,1 juta hektar pada
tahun 2045. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas UU tentang PLP2B. Sedangkan, metode penelitian ini menggunakan
statistik deskriptif dan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu UU tentang
PLP2B belum memuat aturan insentif bagi pemerintah daerah yang memasukkan
PLP2B dalam RTRW-nya dan disinsentif bagi pemerintah daerah yang tidak
memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya. Insentif bagi petani dalam PP No. 12
Tahun 2012 masih tumpang tindih antara insentif dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. PP No. 30 Tahun 2012
belum mengatur kelembagaan dan besaran pembiayaan dalam kegiatan
pengembangan ekstensifikasi. Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh
pemerintah, yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah yang
menetapkan luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW
dengan insentif berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian. Sedangkan
pemerintah daerah yang tidak menetapkan, tidak diberikan DAK bidang pertanian.
Kedua, pemberian insentif bagi petani yang ikut PLP2B dengan pemberian
bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) prapanen dan pascapanen. Ketiga,
membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan biaya
ekstensifikasi menggunakan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635