Jurnal Budget

Vol. 6 / No. 2 - November 2021

Penulis:

Sekilas:
Kecukupan nutrisi telah disadari memainkan peranan yang sangat penting bagi tingkat kesehatan masyarakat dan pembangunan ekonomi secara umum. Namun, tingkat konsumsi pangan masyarakat di Indonesia, terutama kelompok masyarakat miskin, dinilai masih belum cukup baik dan masih harus terus ditingkatkan. Di sisi lain, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diluncurkan pertama kali pada tahun 2005 sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM diharapkan mampu menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin yang terdampak. Melihat salah satu ekspektasi dari program BLT tersebut, penelitian ini kemudian bertujuan untuk melihat efek status penerimaan BLT terhadap tingkat konsumsi pangan rumah tangga di Indonesia. Variabel konsumsi pangan sendiri akan diukur dengan berbagai indikator tingkat konsumsi pangan yang berfokus pada konsumsi karbohidrat (berupa beras) serta protein (berupa daging ayam dan daging sapi). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang 4 (2007) yang memiliki data status penerimaan program BLT, kuantitas konsumsi berbagai jenis pangan, dan juga berbagai karakteristik sosioekonomi rumah tangga yang relevan terhadap penelitian ini. Hasil estimasi menunjukkan adanya perbedaan tingkat konsumsi beras yang signifikan antara rumah tangga penerima manfaat BLT dan rumah tangga non- penerima. Di sisi lain, perbedaan tersebut tidak terlihat pada tingkat konsumsi protein, baik untuk daging ayam maupun daging sapi. Hasil estimasi ini kemudian mengimplikasikan adanya dampak positif dari program BLT bagi peningkatan konsumsi pangan rumah tangga penerima manfaat BLT, khususnya untuk jenis pangan pokok beras.

Penulis:

Sekilas:
Dukungan APBN terhadap sektor pertanian meliputi belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah, serta Kementerian Pertanian sebagai leading sector pertanian. Namun, masih terdapat persoalan terhadap pelaksanaan dukungan APBN terhadap sektor pertanian, meliputi belanja pemerintah pusat terutama terhadap subsidi pupuk serta transfer ke daerah (DAK). Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis dukungan APBN untuk sektor pertanian meliputi belanja pemerintah pusat terutama terhadap subsidi pupuk serta transfer ke daerah (DAK). Sedangkan, data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari laman Kementerian Pertanian, Nota Keuangan APBN, serta lembaga yang terkait sektor pertanian. Metode analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif yang mendeskripsikan data-data dari informasi yang diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa permasalahan yaitu sistem distribusi pupuk, regulasi dan teknis DAK Irigasi, sosialiasi dan administrasi DAK Pertanian, luas tanam dan produktivitas yang menurun, impor beras, ketergantungan impor produk segar hortikultura, penurunan luas tanam komoditas unggulan perkebunan, distribusi alsintan masih fokus pada prapanen dan tidak tepat sasaran, kapasitas produksi benih varietas unggul yang mengalami penurunan, rendahnya tingkat pendidikan petani dan keterbatasan jumlah serta kualitas penyuluh pertanian di lapangan, serta realisasi kegiatan Badan Ketahanan Pangan yang belum optimal terutama di daerah. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu meningkatkan penyediaan data kebutuhan pupuk yang tepat, regulasi harus tepat waktu, menjaga luas tanam, impor selektif, meningkatkan produksi hortikultura, dan menjaga stabilitas harga komoditas.

Penulis:

Sekilas:
Dalam mengamankan basis penerimaan pajak atas transaksi digital dan menciptakan level playing field bagi seluruh pelaku usaha, baik pelaku usaha digital dan pelaku usaha konvensional, pada akhirnya Indonesia melaksanakan unilateral action berupa perlakuan perpajakan atas transaksi digital sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2020. Studi ini kemudian akan mengkaji kebijakan perpajakan atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia dan tantangan yang mungkin timbul dalam penerapannya. Kebijakan pengenaan pajak ini dapat membantu dalam memulihkan ekonomi Indonesia akibat pandemi. Studi ini menemukan bahwa tanpa adanya konsensi global, pengenaan pajak pada transaksi lintas negara pada perdagangan berbasis digital akan sulit dilaksanakan. Hal yang menjadi persoalan dalam pengenaan PPh pada perusahaan digital luar negeri adalah kriteria penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) saat ini, baik dalam aturan domestik Indonesia maupun dalam tax treaty masih mensyaratkan adanya kehadiran fisik dan belum mengakui konsep kehadiran ekonomi signifikan. Dalam menghindari permasalahan treaty tersebut, pemerintah memperkenalkan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) yang tidak masuk ke dalam lingkup tax treaty. Namun, pengenaan pajak tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru, yaitu menimbulkan pajak berganda yang kemudian dapat memicu konflik dagang dengan negara mitra. Selain itu, pengenaan PPN pada PMSE juga menimbulkan berbagai tantangan, seperti memperoleh informasi pelaku usaha PMSE serta pengawasan dan pengenaan sanksi belum cukup kuat dalam memastikan kepatuhan pelaku usaha PMSE. Dengan demikian, hasil studi ini merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia harus mendorong kesepakatan global dalam hal kebijakan pengenaan pajak atas transaksi digital lintas negara. Selain itu, terkait kebijakan PPN atas PMSE yang sudah berjalan saat ini, pemerintah pun perlu mengoptimalkannya.




Vol. 6 / No. 1 - Juni 2021

Penulis:

Sekilas:
Saat ini, pengelolaan energi harus menjadi modal pembangunan nasional. Dalam mewujudkannya, maka diperlukan pengelolaan energi yang optimal dari sisi hulu maupun hilir, yaitu pengelolaan sumber daya energi yang terpadu dan berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan energi dalam negeri, pemanfaatannya yang efisien dan jaminan kemerataannya, serta pengendaliannya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan berbagai terobosan kebijakan, yang salah satunya adalah percepatan pembangunan infrastruktur energi dengan berprinsip pada pengelolaan yang berkelanjutan. Dari pembangunan tersebut, diharapkan akan memberikan dampak positif, baik bagi perekonomian maupun kualitas lingkungan. Indikator-indikator untuk melihat dampak tersebut di antaranya adalah tingkat konsumsi energi, produk domestik bruto (PDB), dan emisi gas rumah kaca, dalam hal ini yaitu karbon dioksida. Ketiga variabel tersebut seharusnya saling berpengaruh. Namun demikian, apakah benar hubungan pengaruh antara konsumsi energi, PDB, dan emisi karbon dioksida hanya bersifat satu arah, atau seluruh variabel tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaruh hubungan antarvariabel konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, dan emisi CO2 di Indonesia pada periode 1980-2019. Untuk melihat bentuk hubungan timbal balik antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen yang diteliti apakah hubungan searah atau dua arah, maka pada penelitian ini menggunakan pengujian kausalitas Granger. Dari uji hubungan kausalitas Granger, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi, tidak terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi lingkungan, serta penggunaan energi dan emisi CO2 memiliki hubungan kausalitas 1 arah, dimana terdapat hubungan searah dari konsumsi energi terhadap emisi CO2. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pengelolaan energi di Indonesia dapat dikatakan belum optimal, hal ini tidak hanya terlihat dari penggunaannya yang kurang menstimulus perekonomian, tetapi juga menghasilkan emisi CO2 yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkannya di antaranya, pertama, pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh kegiatan labour intensive daripada bergantung pada konsumsi energi (non-energy intensive). Kedua, konsumsi energi sebagian besar masyarakat Indonesia didominasi oleh kegiatan nonproduktif seperti sarana transportasi dan penggunaan alat elektronik di rumah tangga. Ketiga, lebih dari 70 persen konsumsi energi di Indonesia masih menggunakan energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 35 persen dan batubara sebesar 37 persen, dimana, penggunaan energi yang terus meningkat mampu memengaruhi emisi lingkungan di Indonesia. Beberapa rekomendasi dari hasil penelitian ini ialah, pertama, pemerintah perlu menetapkan dan menjalankan kebijakan yang mendorong efisiensi energi agar intensitas energi semakin rendah. Kedua, diperlukan transformasi teknologi rendah karbon. Ketiga, pemerintah perlu mendorong mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai sektor, terutama transportasi, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Terakhir, DPR maupun pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (UU EBT) dalam mendukung pengembangan investasi EBT.

Penulis:

Sekilas:
Meskipun Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) beserta aturan turunannya telah diterbitkan, tetapi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian masih marak terjadi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat persoalan dalam implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Laju alih fungsi lahan sawah nasional diperkirakan sebesar 96.512 hektar per tahun. Dengan laju tersebut, lahan sawah yang saat ini seluas 8,1 juta hektar diprediksi akan menciut menjadi hanya 5,1 juta hektar pada tahun 2045. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas UU tentang PLP2B. Sedangkan, metode penelitian ini menggunakan statistik deskriptif dan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu UU tentang PLP2B belum memuat aturan insentif bagi pemerintah daerah yang memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya dan disinsentif bagi pemerintah daerah yang tidak memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya. Insentif bagi petani dalam PP No. 12 Tahun 2012 masih tumpang tindih antara insentif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. PP No. 30 Tahun 2012 belum mengatur kelembagaan dan besaran pembiayaan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah yang menetapkan luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW dengan insentif berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian. Sedangkan pemerintah daerah yang tidak menetapkan, tidak diberikan DAK bidang pertanian. Kedua, pemberian insentif bagi petani yang ikut PLP2B dengan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) prapanen dan pascapanen. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan biaya ekstensifikasi menggunakan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).




← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Selanjutnya →