Penulis: Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. ❖ Ade Nurul Aida, S.E., M.E.
Sekilas:
PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semakin tinggi
PAD suatu daerah, maka daerah tersebut semakin mampu untuk mandiri dan
mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat. Elastisitas PAD terhadap
PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi
kondisi fiskal di daerah. Dengan mengetahui elastisitas PAD, dapat diketahui
kepekaan perubahan pajak terhadap PDRB. Untuk itu penelitian ini akan
melakukan evaluasi terkait struktur PAD, yakni dengan melihat elastisitas PAD
terhadap PDRB di Indonesia, khususnya dalam era otonomi daerah yang telah
dilaksanakan selama dua dekade ini.
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data panel yang berasal
dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun data yang digunakan berasal dari tahun
2015 hingga tahun 2019. Data tersebut akan dianalisis secara deskriptif dan
dengan menggunakan OLS. Metode deskripsi digunakan untuk melihat elastisitas
di masing-masing provinsi di Indonesia. Sedangkan metode OLS digunakan untuk
melihat elastisitas secara nasional.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa setiap terjadi
pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1 persen, terdapat pertumbuhan PAD
sebesar 1,33 persen. Hal ini terlihat dengan semakin besarnya kontribusi PAD
dalam membiayai belanja daerah. Apabila dilihat per provinsi, sebagian besar
provinsi di Indonesia sudah menunjukkan bahwa PAD yang diperoleh bersifat
elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah daerah sudah memiliki kemampuan untuk menggali potensi-potensi
penerimaan di daerah. Namun dari 34 provinsi di Indonesia, masih terdapat 5
provinsi yang PAD-nya tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Kelima provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah dari kelima provinsi tersebut
perlu berinovasi dalam menggali sumber pendapatan daerah yang potensial,
misalnya dengan mengintensifkan pemungutan objek-objek pajak, mengelola
potensi daerah melalui penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun
meningkatkan pendapatan asli daerah dengan peningkatan pelayanan kepada
masyarakat melalui perbaikan fasilitas objek pajak dan retribusi.
Penulis:
Sekilas:
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU
tentang Cipta Kerja) telah mengubah dan menambah beberapa pasal dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU tentang PDRD), yang masuk dalam klaster kemudahan berusaha.
Untuk melaksanakannya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka
Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah (PP tentang PDRD).
Pengaturan dalam kedua beleid tersebut berimplikasi pada perubahan
kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah, yang pada gilirannya akan
berdampak pada keuangan negara dan keuangan daerah. Dengan menggunakan
penelitian kualitatif melalui pendekatan yuridis normatif, tulisan ini hendak
menganalisis perubahan kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah
berdasarkan UU tentang Cipta Kerja dan PP tentang PDRD, serta implikasinya
terhadap keuangan negara dan keuangan daerah.
Hasil studi menyimpulkan bahwa lahirnya UU tentang Cipta Kerja dan PP
tentang PDRD telah memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk
melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah, dihapusnya kewenangan
daerah untuk memungut retribusi gangguan, dihapusnya kewenangan pembatalan
peraturan daerah (perda) pajak dan retribusi daerah yang dimiliki oleh pemerintah
pusat dan kemudian diganti dengan kewenangan untuk memaksa pemerintah
daerah untuk melakukan perubahan perda pajak dan retribusi daerah, adanya
kewenangan pemerintah daerah memberikan insentif fiskal, dan adanya
kewenangan pemerintah untuk dapat memberikan insentif anggaran kepada
pemerintah daerah. Selain itu, hasil studi juga menyimpulkan bahwa perubahan
kewenangan tersebut akan berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan asli
daerah kabupaten/kota, semakin memburuknya derajat desentralisasi fiskal
kabupaten/kota, penurunan belanja daerah yang berimplikasi pada terganggunya
pelayanan publik di daerah, serta memburuknya ketergantungan daerah.
Penulis:
Sekilas:
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan gambaran dari
dilaksanakannya kebijakan pembangunan yang diambil oleh negara tersebut.
Peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikasi adanya
peningkatan pendapatan, yang pada gilirannya mencerminkan tingkat
kesejahteraan. Pentingnya pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah setiap
negara berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Upaya Indonesia
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menumbuhkan
sektor investasi. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi dan menjadi
faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang artinya investasi
merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Tenaga kerja
memegang peranan yang memungkinkan suatu daerah dapat menambah
produksi dalam menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat memacu
pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Ekspor suatu negara memainkan peran
penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor dapat
menyuplai anggaran negara melalui pendapatan dan mata uang asing yang dapat
digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan menciptakan iklim investasi yang
menarik ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh dari
investasi, tenaga kerja, dan nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa penanaman modal asing,
penanaman modal dalam negeri, dan ekspor ditemukan tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, variabel tenaga kerja ditemukan
berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penulis:
Sekilas:
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kausalitas antara bonus
demografi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Indeks Pembangunan
Ketenagakerjaan (IPK) daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di wilayah
Indonesia. Bonus demografi berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi
karena penduduk berusia produktif memperoleh pendapatan, sehingga secara
keseluruhan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). IPM merupakan suatu kondisi dimana setiap penduduk mampu
mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan
pendidikan, sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Angka IPK adalah
suatu nilai yang menggambarkan kondisi keberhasilan pembangunan
ketenagakerjaan secara komposit yang mencakup 9 (sembilan) indikator utama
pembangunan ketenagakerjaan yang sangat mendasar, dan jika indikator tersebut
dikelola dengan baik maka akan memicu pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS)
dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Hasil pengujian kausalitas antara
variabel bonus demografi, IPM, IPK, dan pertumbuhan ekonomi provinsi Indonesia
pada tahun 2018-2020 menunjukkan bahwa rasio dependensi dapat
memperkirakan variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per
kapita (growth per kapita) secara signifikan, namun tidak sebaliknya. Sementara
itu, IPM dapat memprediksi variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan
PDRB per kapita (growth per kapita) secara dua arah, sedangkan IPK tidak dapat
memprediksi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita
(growth per kapita), begitu pula sebaliknya.
Penulis:
Sekilas:
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memegang peranan penting bagi
perekonomian Indonesia. Industri ini menyumbang sebesar 5,8 persen terhadap
industri manufaktur (BPS, 2020). Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri TPT
merupakan sektor industri terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja apabila
dibandingkan dengan sektor industri manufaktur lainnya (BPS, 2020). Dilihat
kinerja perdagangannya, produk TPT juga menunjukkan kinerja yang baik
dengan selalu tercatat surplus terutama dari tahun 2015 sampai 2019. Bahkan
Indonesia tercatat sebagai 15 besar eksportir produk tekstil di dunia pada tahun
2018, karena Indonesia memasok 1,67 persen komoditas tekstil dunia
(UNComtrade, 2020). Besarnya potensi pada industri TPT ini seharusnya
menjadi peluang besar bagi Indonesia dalam menguasai pasar produk TPT di
kawasan ASEAN. Dalam studi ini bertujuan untuk menganalisis daya saing
industri TPT Indonesia dibanding negara-negara ASEAN lainnya dan faktorfaktor yang memengaruhi daya saing industri TPT di Kawasan ASEAN. Metode
yang digunakan dalam menganalisis daya saing TPT Indonesia di Kawasan
ASEAN ialah dengan Revealed Comparative Advantage (RCA). Selain itu, dalam
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing digunakan metode
regresi ordinary least square (OLS). Adapun kurun waktu data yang digunakan
adalah dari tahun 2000 hingga 2019
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2000 hingga tahun
2005, nilai RCA ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia ke pasar ASEAN
kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil dan produk tekstil
memiliki keunggulan komparatif dan daya saing ke pasar ASEAN. Namun pada
tahun 2005-2019 nilai RCA ekspor tekstil Indonesia ke pasar ASEAN justru terus
mengalami penurunan dengan nilai kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa
ekspor tekstil indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dan daya saing
yang kuat ke pasar ASEAN. Berdasarkan hasil olah data menggunakan analisis
regresi ordinary least square menunjukkan bahwa variabel independen REER,
harga ekspor, dan investasi secara statistik signifikan dan berhubungan negatif
dengan daya saing ekspor TPT Indonesia di Kawasan ASEAN. Sementara itu
harga energi, atau dalam hal ini gas, secara statistik tidak signifikan menjelaskan
daya saing industri TPT. Dari hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa
pemerintah perlu mengevaluasi kembali terhadap regulasi atau kebijakan impor
bahan baku yang dianggap memberatkan pelaku industri TPT, mengingat
kebutuhan bahan baku industri TPT masih belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari domestik. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap
banyaknya impor produk tekstil dengan merevisi terhadap bea masuk produk
tekstil. Dengan demikian, pemerintah tetap melindungi sisi hilir dengan tetap
memberi insentif pada sisi hulu.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635