Jurnal Budget

Vol. 6 / No. 1 - Juni 2021

Penulis: Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. ❖ Ade Nurul Aida, S.E., M.E.

Sekilas:
PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semakin tinggi PAD suatu daerah, maka daerah tersebut semakin mampu untuk mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat. Elastisitas PAD terhadap PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi fiskal di daerah. Dengan mengetahui elastisitas PAD, dapat diketahui kepekaan perubahan pajak terhadap PDRB. Untuk itu penelitian ini akan melakukan evaluasi terkait struktur PAD, yakni dengan melihat elastisitas PAD terhadap PDRB di Indonesia, khususnya dalam era otonomi daerah yang telah dilaksanakan selama dua dekade ini. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data panel yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun data yang digunakan berasal dari tahun 2015 hingga tahun 2019. Data tersebut akan dianalisis secara deskriptif dan dengan menggunakan OLS. Metode deskripsi digunakan untuk melihat elastisitas di masing-masing provinsi di Indonesia. Sedangkan metode OLS digunakan untuk melihat elastisitas secara nasional. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa setiap terjadi pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1 persen, terdapat pertumbuhan PAD sebesar 1,33 persen. Hal ini terlihat dengan semakin besarnya kontribusi PAD dalam membiayai belanja daerah. Apabila dilihat per provinsi, sebagian besar provinsi di Indonesia sudah menunjukkan bahwa PAD yang diperoleh bersifat elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah sudah memiliki kemampuan untuk menggali potensi-potensi penerimaan di daerah. Namun dari 34 provinsi di Indonesia, masih terdapat 5 provinsi yang PAD-nya tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Kelima provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah dari kelima provinsi tersebut perlu berinovasi dalam menggali sumber pendapatan daerah yang potensial, misalnya dengan mengintensifkan pemungutan objek-objek pajak, mengelola potensi daerah melalui penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun meningkatkan pendapatan asli daerah dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui perbaikan fasilitas objek pajak dan retribusi.

Penulis:

Sekilas:
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU tentang Cipta Kerja) telah mengubah dan menambah beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD), yang masuk dalam klaster kemudahan berusaha. Untuk melaksanakannya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah (PP tentang PDRD). Pengaturan dalam kedua beleid tersebut berimplikasi pada perubahan kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah, yang pada gilirannya akan berdampak pada keuangan negara dan keuangan daerah. Dengan menggunakan penelitian kualitatif melalui pendekatan yuridis normatif, tulisan ini hendak menganalisis perubahan kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah berdasarkan UU tentang Cipta Kerja dan PP tentang PDRD, serta implikasinya terhadap keuangan negara dan keuangan daerah. Hasil studi menyimpulkan bahwa lahirnya UU tentang Cipta Kerja dan PP tentang PDRD telah memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah, dihapusnya kewenangan daerah untuk memungut retribusi gangguan, dihapusnya kewenangan pembatalan peraturan daerah (perda) pajak dan retribusi daerah yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan kemudian diganti dengan kewenangan untuk memaksa pemerintah daerah untuk melakukan perubahan perda pajak dan retribusi daerah, adanya kewenangan pemerintah daerah memberikan insentif fiskal, dan adanya kewenangan pemerintah untuk dapat memberikan insentif anggaran kepada pemerintah daerah. Selain itu, hasil studi juga menyimpulkan bahwa perubahan kewenangan tersebut akan berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan asli daerah kabupaten/kota, semakin memburuknya derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota, penurunan belanja daerah yang berimplikasi pada terganggunya pelayanan publik di daerah, serta memburuknya ketergantungan daerah.

Penulis:

Sekilas:
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan gambaran dari dilaksanakannya kebijakan pembangunan yang diambil oleh negara tersebut. Peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikasi adanya peningkatan pendapatan, yang pada gilirannya mencerminkan tingkat kesejahteraan. Pentingnya pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah setiap negara berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Upaya Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menumbuhkan sektor investasi. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi dan menjadi faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang artinya investasi merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Tenaga kerja memegang peranan yang memungkinkan suatu daerah dapat menambah produksi dalam menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Ekspor suatu negara memainkan peran penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor dapat menyuplai anggaran negara melalui pendapatan dan mata uang asing yang dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan menciptakan iklim investasi yang menarik ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh dari investasi, tenaga kerja, dan nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa penanaman modal asing, penanaman modal dalam negeri, dan ekspor ditemukan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, variabel tenaga kerja ditemukan berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penulis:

Sekilas:
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kausalitas antara bonus demografi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di wilayah Indonesia. Bonus demografi berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena penduduk berusia produktif memperoleh pendapatan, sehingga secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). IPM merupakan suatu kondisi dimana setiap penduduk mampu mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan pendidikan, sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Angka IPK adalah suatu nilai yang menggambarkan kondisi keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan secara komposit yang mencakup 9 (sembilan) indikator utama pembangunan ketenagakerjaan yang sangat mendasar, dan jika indikator tersebut dikelola dengan baik maka akan memicu pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Hasil pengujian kausalitas antara variabel bonus demografi, IPM, IPK, dan pertumbuhan ekonomi provinsi Indonesia pada tahun 2018-2020 menunjukkan bahwa rasio dependensi dapat memperkirakan variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita (growth per kapita) secara signifikan, namun tidak sebaliknya. Sementara itu, IPM dapat memprediksi variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita (growth per kapita) secara dua arah, sedangkan IPK tidak dapat memprediksi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita (growth per kapita), begitu pula sebaliknya.




Vol. 5 / No. 2 - Desember 2020

Penulis:

Sekilas:
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Industri ini menyumbang sebesar 5,8 persen terhadap industri manufaktur (BPS, 2020). Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri TPT merupakan sektor industri terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja apabila dibandingkan dengan sektor industri manufaktur lainnya (BPS, 2020). Dilihat kinerja perdagangannya, produk TPT juga menunjukkan kinerja yang baik dengan selalu tercatat surplus terutama dari tahun 2015 sampai 2019. Bahkan Indonesia tercatat sebagai 15 besar eksportir produk tekstil di dunia pada tahun 2018, karena Indonesia memasok 1,67 persen komoditas tekstil dunia (UNComtrade, 2020). Besarnya potensi pada industri TPT ini seharusnya menjadi peluang besar bagi Indonesia dalam menguasai pasar produk TPT di kawasan ASEAN. Dalam studi ini bertujuan untuk menganalisis daya saing industri TPT Indonesia dibanding negara-negara ASEAN lainnya dan faktorfaktor yang memengaruhi daya saing industri TPT di Kawasan ASEAN. Metode yang digunakan dalam menganalisis daya saing TPT Indonesia di Kawasan ASEAN ialah dengan Revealed Comparative Advantage (RCA). Selain itu, dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing digunakan metode regresi ordinary least square (OLS). Adapun kurun waktu data yang digunakan adalah dari tahun 2000 hingga 2019 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2000 hingga tahun 2005, nilai RCA ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia ke pasar ASEAN kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil dan produk tekstil memiliki keunggulan komparatif dan daya saing ke pasar ASEAN. Namun pada tahun 2005-2019 nilai RCA ekspor tekstil Indonesia ke pasar ASEAN justru terus mengalami penurunan dengan nilai kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dan daya saing yang kuat ke pasar ASEAN. Berdasarkan hasil olah data menggunakan analisis regresi ordinary least square menunjukkan bahwa variabel independen REER, harga ekspor, dan investasi secara statistik signifikan dan berhubungan negatif dengan daya saing ekspor TPT Indonesia di Kawasan ASEAN. Sementara itu harga energi, atau dalam hal ini gas, secara statistik tidak signifikan menjelaskan daya saing industri TPT. Dari hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi kembali terhadap regulasi atau kebijakan impor bahan baku yang dianggap memberatkan pelaku industri TPT, mengingat kebutuhan bahan baku industri TPT masih belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari domestik. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap banyaknya impor produk tekstil dengan merevisi terhadap bea masuk produk tekstil. Dengan demikian, pemerintah tetap melindungi sisi hilir dengan tetap memberi insentif pada sisi hulu.




← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Selanjutnya →