Penulis:
Sekilas:
Tingginya tingkat ketimpangan yang terjadi di Indonesia mengindikasikan
belum tercapainya tujuan pembangunan. Di sisi lain, penerapan otonomi daerah
seharusnya mempermudah daerah untuk melakukan pembangunan berdasarkan
potensi yang dimiliki, yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan dari
pembangunan ekonomi itu sendiri. Penelitian ini akan menganalisis pola dan
struktur ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan tipologi Klassen serta
ketimpangan pembangunan yang terjadi di provinsi-provinsi di Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan tipologi Klassen, diperoleh bahwa
sebagian besar provinsi di Indonesia berada dalam kategori daerah berkembang
cepat. Wilayah ini berpotensi menjadi pusat perekonomian baru apabila laju
pertumbuhan ekonomi dipertahankan. Pemerintah daerah perlu memiliki
komitmen yang kuat dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di
wilayahnya. Dengan adanya kominten tersebut, pemerintah daerah akan terus
melakukan inovasi dan perbaikan kebijakan yang menarik investor. Adanya
pandemi di tahun 2020 menyebabkan banyak provinsi di Indonesia yang masuk
ke dalam klasifikasi daerah tertinggal. Provinsi yang mengalami penurunan
klasifikasi ini merupakan provinsi yang perekonomiannya ditopang oleh sektor
tersier. Sedangkan provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan klasifikasi pada
masa pandemi merupakan provinsi-provinsi yang ditopang oleh sektor primer. Hal
ini dikarenakan adanya perubahan perilaku konsumsi di masyarakat yang lebih
menahan diri untuk melakukan kegiatan tersier. Masyarakat cenderung untuk tidak
melakukan kegiatan tersier guna menghindari terpapar virus Covid-19 serta
adanya penurunan daya beli masyarakat.
Ketimpangan yang terjadi di wilayah provinsi di Indonesia masih relatif tinggi.
Rata-rata indeks ketimpangan provinsi-provinsi di Indonesia berada di sekitar 0,5.
Hal ini dapat diartikan bahwa ketimpangan berada dalam kategori berat. Tidak
meratanya pembangunan dan investasi merupakan salah satu penyebab tingginya
ketimpangan di Indonesia.
Penulis:
Sekilas:
Studi ini mengevaluasi kinerja dalam penyaluran insentif dan santunan
kematian bagi tenaga kesehatan di masa pandemi Covid-19 tahun anggaran 2020.
Evaluasi tersebut dilakukan kepada pemerintah provinsi di Indonesia dengan
melakukan pendataan atas hasil pemeriksaan BPK atas kinerja efektivitas
penanganan Covid-19 di bidang kesehatan oleh pemerintah provinsi. Hasil dari
evaluasi tersebut diketahui bahwa dalam penyaluran dana insentif dan santunan
kematian bagi tenaga kesehatan ini, terdapat beberapa pemerintah provinsi yang
terlambat menyalurkan dana kepada tenaga kesehatan serta penyaluran dana
insentif yang tidak tepat jumlah. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah provinsi
menunggu kejelasan atas acuan pencairan dana yang diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan. Acuan pencairan dana berupa petunjuk teknis yang
dirangkum dalam keputusan Menteri Kesehatan mengalami perubahan dalam
waktu yang relatif berdekatan dan belum sinergis dengan peraturan dari
kementerian lain, sehingga terdapat tumpang tindih peraturan dan terjadi
misinterpretasi oleh pemerintah daerah. Pihak Kementerian Kesehatan juga tidak
menegaskan perihal pelaporan penyaluran dana untuk insentif dan santunan
kematian ini, sehingga proses monitoring dan evaluasi (monev) tidak berjalan.
Penulis:
Sekilas:
Kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi listrik melalui PT PLN
(Persero) membawa konsekuensi kinerja keuangan PT PLN. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif asosiatif. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan data-data kuantitatif, yaitu laporan
keuangan PT PLN (Persero) tahun 2010-2020. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan dokumentasi. Pada
penelitian ini, analisis data menggunakan koefisien korelasi rank spearman untuk
menguji hubungan rasio tunai, rasio solvabilitas, rasio rentabilitas, dan rasio
likuiditas dengan subsidi listrik..
Hasil yang diperoleh bahwa kinerja keuangan PT PLN (Persero) sangat
tergantung dari subsidi pemerintah. Hal ini disebabkan oleh biaya produksi listrik
(Biaya Pokok Penyediaan/BPP) di Indonesia selalu lebih tinggi daripada harga jual
listrik rata-rata. Hasil uji korelasi rank spearman menunjukkan terdapat hubungan
rasio tunai dan rasio solvabilitas dengan subsidi listrik. Hasil uji korelasi rank
spearman juga menunjukkan tidak terdapat hubungan rasio rentabilitas dan rasio
likuiditas dengan subsidi listrik. Pemberian subsidi listrik pun juga masih terdapat
permasalahan, yaitu ketidakhematan BPP dan ketidaktepatan sasaran subsidi
listrik.
Penulis:
Sekilas:
Kecukupan nutrisi telah disadari memainkan peranan yang sangat penting
bagi tingkat kesehatan masyarakat dan pembangunan ekonomi secara umum.
Namun, tingkat konsumsi pangan masyarakat di Indonesia, terutama kelompok
masyarakat miskin, dinilai masih belum cukup baik dan masih harus terus
ditingkatkan. Di sisi lain, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diluncurkan
pertama kali pada tahun 2005 sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM
diharapkan mampu menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin yang
terdampak. Melihat salah satu ekspektasi dari program BLT tersebut, penelitian ini
kemudian bertujuan untuk melihat efek status penerimaan BLT terhadap tingkat
konsumsi pangan rumah tangga di Indonesia. Variabel konsumsi pangan sendiri
akan diukur dengan berbagai indikator tingkat konsumsi pangan yang berfokus
pada konsumsi karbohidrat (berupa beras) serta protein (berupa daging ayam dan
daging sapi). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indonesian Family
Life Survey (IFLS) gelombang 4 (2007) yang memiliki data status penerimaan
program BLT, kuantitas konsumsi berbagai jenis pangan, dan juga berbagai
karakteristik sosioekonomi rumah tangga yang relevan terhadap penelitian ini.
Hasil estimasi menunjukkan adanya perbedaan tingkat konsumsi beras yang
signifikan antara rumah tangga penerima manfaat BLT dan rumah tangga non-
penerima. Di sisi lain, perbedaan tersebut tidak terlihat pada tingkat konsumsi
protein, baik untuk daging ayam maupun daging sapi. Hasil estimasi ini kemudian
mengimplikasikan adanya dampak positif dari program BLT bagi peningkatan
konsumsi pangan rumah tangga penerima manfaat BLT, khususnya untuk jenis
pangan pokok beras.
Penulis:
Sekilas:
Dukungan APBN terhadap sektor pertanian meliputi belanja pemerintah
pusat dan transfer ke daerah, serta Kementerian Pertanian sebagai leading sector
pertanian. Namun, masih terdapat persoalan terhadap pelaksanaan dukungan
APBN terhadap sektor pertanian, meliputi belanja pemerintah pusat terutama
terhadap subsidi pupuk serta transfer ke daerah (DAK). Tujuan penelitian ini yaitu
menganalisis dukungan APBN untuk sektor pertanian meliputi belanja pemerintah
pusat terutama terhadap subsidi pupuk serta transfer ke daerah (DAK).
Sedangkan, data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari laman
Kementerian Pertanian, Nota Keuangan APBN, serta lembaga yang terkait sektor
pertanian. Metode analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif yang
mendeskripsikan data-data dari informasi yang diperoleh.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa permasalahan yaitu sistem
distribusi pupuk, regulasi dan teknis DAK Irigasi, sosialiasi dan administrasi DAK
Pertanian, luas tanam dan produktivitas yang menurun, impor beras,
ketergantungan impor produk segar hortikultura, penurunan luas tanam komoditas
unggulan perkebunan, distribusi alsintan masih fokus pada prapanen dan tidak
tepat sasaran, kapasitas produksi benih varietas unggul yang mengalami
penurunan, rendahnya tingkat pendidikan petani dan keterbatasan jumlah serta
kualitas penyuluh pertanian di lapangan, serta realisasi kegiatan Badan
Ketahanan Pangan yang belum optimal terutama di daerah. Oleh karena itu, upaya
yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu meningkatkan penyediaan data
kebutuhan pupuk yang tepat, regulasi harus tepat waktu, menjaga luas tanam,
impor selektif, meningkatkan produksi hortikultura, dan menjaga stabilitas harga
komoditas.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635