Siklus:
Sekilas:
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengharapkan
pemerintah daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam
keuangan daerah. Namun seiring dengan diterapkannya Kebijakan
otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 dan
kebijakan desentralisasi fiskal sejak 2004, kemandirian daerah belum
dapat terwujud sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya
derajat desentralisasi fiskal pemerintahan kabupaten/kota di Indonesia.
Hasil analisis yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota,
diperoleh bahwa rata-rata proporsi PAD terhadap total penerimaan
daerah pada tahun 2018 sebesar 11,81 persen. Jika dilihat dari rasio
pola hubungan dan tingkat kemampuan/ kemandirian suatu daerah,
maka dapat diartikan bahwa pemerintah kabupaten/ kota di Indonesia
memiliki pola hubungan yang instruktif. Hal ini dapat dikatakan bahwa
pemerintah daerah lebih banyak mendapatkan pengarahan dan
petunjuk dari pemerintah pusat, sehingga tingkat kemandiriannya
sangat kurang. Tingginya tingkat ketergantungan kepada pemerintah
pusat dapat mengindikasikan ketidakmampuan daerah dalam
melaksanakan urusan otonominya.
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2021, pemerintah berencana
mendorong pemerintah daerah dapat melakukan terobosan dalam
mencari sumber pembiayaan yang di luar APBN/APBD melalui
pemanfaatan pembiayaan kreatif. Selain itu, pembangunan
infrastruktur di daerah diharapkan juga bisa dilakukan melalui
mekanisme kerja sama antar daerah, serta dukungan TKDD untuk
pelaksanaan pembiayaan kreatif melalui skema pembiayaan
terintegrasi. Dengan skema tersebut, pembiayaan kreatif diharapkan
dapat menjadi solusi akan keterbatasan APBD. Kebijakan ini
merupakan salah satu poin dalam arah kebijakan TKDD di tahun 2021
dalam rangka mendukung “Percepatan Pemulihan Ekonomi dan
Penguatan Reformasi”.
Tulisan ini akan membahas kemandirian daerah kemandirian
daerah serta pembiayaan kreatif secara menyeluruh berserta tantangan
yang dihadapi daerah. Selanjutnya tulisan ini juga akan meberikan
catatan berupa rekomendasi apa saja yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah melalui
pembiayaan kreatif
Siklus:
Sekilas:
Pendapatan negara masih didominasi oleh penerimaan perpajakan
dengan kontribusi sekitar 75
persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan kontribusi
rata-rata sekitar 25 persen. Rasio
Pajak terhadap Product Domestic Bruto (PDB) atau tax ratio tahun 2014-
2019 sekitar 10-14 persen
sedangkan rata-rata rasio PNBP tahun 2014-2019 sebesar 2,63 persen.
Pada tahun 2020, pemerintah
telah merevisi target penerimaan pajak dan PNBP yang diprediksi meleset
dari target akibat pandemi
Covid-19. Pemerintah dalam merespon tantangan ekonomi dan kesehatan
akibat pandemi Covid-19 telah
menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian ditetapkan
sebagai Undang-undang Nomor 2
tahun 2020. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah kemudian melakukan
perubahan postur APBN TA 2020
melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 selanjutnya
dilakukan penyesuaian kembali
terhadap perubahan postur APBN TA 2020 dengan dikeluarkannya
Perpres Nomor 72 Tahun 2020. Dalam
Perpres tersebut terjadi perubahan target penerimaan pajak dan PNBP
tahun 2020.
Outlook penerimaan perpajakan tahun 2021 berdasarkan data Kemenkeu
diproyeksikan dalam
kisaran 8,25 – 8,63 persen terhadap PDB, sedangkan outlook PNBP tahun
2021 diproyeksikan dalam
kisaran 1,6-2,3 persen terhadap PDB dengan memerhatikan
perekonomian Indonesia belum pulih
sepenuhnya akibat dampak Covid-19 dan masih melemahnya harga
komoditas utama dunia. Tantangan
meningkatkan penerimaan perpajakan tahun 2021 yaitu tantangan untuk
meningkatkan tax ratio
ditengah pemulihan ekonomi nasional yang tidak mudah, perlambatan
pertumbuhan sektor-sektor pajak
yang memiliki kontribusi tinggi pada penerimaan perpajakan,
pertumbuhan kelas menengah yang
semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita
Indonesia yang memengaruhi
penerimaan pajak. Disisi lain, tantangan penerimaan PNBP tahun 2021
yaitu perkembangan ekonomi
dunia dan kondisi geopolitik yang berpengaruh terhadap harga minyak,
gas, dan minerba, kecenderungan
penurunan produksi migas (lifting migas) disebabkan tidak ada penemuan
cadangan baru, PNBP Sebagian
besar masih menggantungkan pada penerimaan dari SDA, belum
optimalnya penerimaan PNBP Non SDA,
terkait dengan aspek compliance wajib bayar PNBP dalam memenuhi
kewajibannya secara tepat jumlah
dan waktu serta dari sisi pengawasan masih perlu diperkuat, dan
permasalahan idle asset yang perlu
dioptimalkan sehingga dapat menjadi salah satu sumber PNBP.
Optimalisasi penerimaan negara yang berasal dari pajak dan PNBP di
tahun 2021 pada masa
pemulihan pandemi Covid-19 pemerintah dapat melakukan upaya
kebijakan baru yang extraordinary
menyesuaikan kondisi luar biasa saat ini seperti penyederhanaan
administrasi bagi stakeholder yang
terdampak covid-19, penyederhanaan bantuan untuk pihak terdampak
covid-19, evaluasi rutin guna
penyesuaian kebijakan, perlu penyesuaian pola sosialisasi insentif fiskal
pada pelaku usaha yang
terdampak covid-19, perbaikan kebijakan yang tepat sasaran, efisien, dan
terukur baik dari sisi demand
maupun sisi supply, menyelesaikan regulasi turunan UU Nomor 9 tahun
2018 tentang PNBP, penggalian
potensi baru dengan perubahan formula perhitungan terhadap jenis dan
tarif yang sudah ada,
mengintensifkan kewajiban instansi pengelolaan PNBP (IP-PNBP) dalam
melakukan verifikasi dan
monitoring PNBP, peningkatan kualitas pengawasan PNBP melalui
pengembangan sistem pengawasan
terintegrasi maupun pengawasan yang dilakukan melalui K/L bersama
Aparat Pengawas Pemerintah
(APIP), optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan kerjasama antar
lembaga terkait dalam
pengelolaan PNBP serta menyusun skema pemanfaatan aset khususnya
dengan tepat sehingga menjadi
sumber penerimaan PNBP.
Siklus:
Sekilas:
Realisasi investasi pada triwulan II 2020 yaitu sebesar Rp191,9 triliun,
mengalami
penurunan sebesar 8,9 persen dari triwulan I 2020 (Rp210,7 triliun) atau
turun 4,3
persen dari triwulan II 2019 (Rp200,5 triliun). Penurunan ini merupakan
tekanan yang
berat sebagai akibat adanya pandemi Covid-19. Dalam menarik minat dan
mempermudah peluang masuknya investasi serta mengurangi
kekhawatiran dari
rendahnya tingkat kepercayaan investor terhadap Indonesia akibat
pandemi. Untuk
itu perbaikan kemudahan berusaha menjadi awalan yang baik untuk
perbaikan usaha
dan investasi tersebut. Iklim investasi yang baik diyakini dapat terjadi
ketika kepastian
dan kemudahan berusaha terwujud sebagai bagian dari upaya penciptaan
iklim usaha
yang kondusif.
Namun, dalam pelaksanaannya permasalahan atas kondisi kemudahan
berusaha di
Indonesia kerap menyelimuti dan menjadi penghambat peningkatan
investasi di
daerah terlebih di tengah adanya pandemi dan sebagai upaya pemulihan
ekonomi
daerah kedepan. Dimana beberapa permasalahan tersebut antara lain,
regulasi yang
belum sepenuhnya mendukung, belum memadainya SDM yang kompeten
maupun
sarana dan prasarana yang berkualitas untuk pelayanan perizinan
investasi dan bisnis,
serta belum termanfaatkan dengan optimal standarisasi pelayanan
perizinan yang
terintegrasi melalui Online Single Submission (OSS) system.
Untuk itu ke depan peran serta dari berbagai stakeholder terkait sangat
diperlukan.
Penguatan transfer ke daerah dari pemerintah pusat sangat penting
mengingat
sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan investasi daerah untuk
proses
pemulihan ekonomi. Pemerintah daerah yang merupakan salah satu kunci
pelaksanaan kemudahan berusaha untuk mendorong investasi dan
perekonomian
daerah pun perlu meningkatkan kesiapan dan kemampuannya dalam
menciptakan
iklim yang kondusif dan pelayanan pendukung dalam investasi di daerah
Siklus:
Sekilas:
Ketidakpastian global akibat
pandemi Corona Virus Disease-19
(Covid-19) dalam waktu singkat
telah melumpuhkan
perekonomian berbagai negara,
tidak terkecuali Indonesia.
Akibat pandemi ini, pada
triwulan II tahun 2020
perekonomian nasional sangat
tertekan sehingga pertumbuhan
terkontrakasi sebesar negatif 5,32
persen. Untuk mendongkrak
pertumbuhan tersebut, maka
pemerintah pada bulan Mei
tahun 2020 menetapkan Program
Pemulihan Ekonomi dengan
anggaran sebesar Rp695,2 triliun.
Berdasarkan stimulus tersebut
dan faktor eksternal yang
membaik, maka pertumbuhan
perekonomian domestik tahun
2021 diprediksi pada kisaran
3,46-5,03 persen dengan asumsi
inflasi dan nilai tukar rupiah
terhadap dolar USD terjaga pada
kisaran masing-masing 2,88
persen dan Rp15.130 per USD.
Terkait berbagai fokus kebijakan
yang tertuang dalam NK
RAPBN 2021, ada beberapa
catatan yang perlu menjadi
perhatian pemerintah, yakni
mengutamakan perbaikan dan
pemutakhiran DTKS dan basis
data UMKM sebelum tahun
anggaran 2021 berjalan,
pembangunan di bidang kesehatan
dan pendidikan tetap konsisten
berdimensi mengurangi
ketimpangan antarwilayah, rencana
integrasi subsidi energi dengan
bansos tidak dilakukan terburuburu, menunda ekstensifikasi
barang kena cukai, fokus penguatan
pariwisata diarahkan pada
peningkatan perjalanan wisatawan
nusantara, pentingnya penguatan
kelembagaan petani dan nelayan
dalam arah kebijakan pembangunan
ketahanan pangan, meletakkan
petani dan nelayan sebagai subjek
kebijakan dengan penguatan
prinsip participatory serta penguatan
sinergi pusat dan daerah
Siklus:
Sekilas:
Pandemic Covid-19 di tahun 2020, telah mengancam berbagai kinerja
indicator
kesejahteraan rakyat yang pada awal tahun 2020 mencatat kinerja yang
baik. Dalam
periode tahun 2015-2019, Tingkat kemiskinan mencapai 9,22 pada
September 2019,
menurun dari 11,13 persen pada September 2015. Artinya dalam kurun
waktu yang sama
pemerintah telah mengentaskan 3,7 juta orang (atau 1,91 persen) dari
kemiskinan dari
28,5 juta (2015) menjadi 24,8 juta (2019). Angka gini rasio yang
menggambarkan tingkat
ketimpangan dan memiliki hubungan erat dengan tingkat kemiskinan juga
menunjukkan
trend penurunan yang positif. Rasio gini dalam periode 2015-2019
mengalami perbaikan
yaitu dari 0,402 di September 2015 menjadi 0,380 di September 2019
atau menurun
sebesar 0,022 basis poin. Hal yang sama juga terjadi pada Indeks
Pembangunan Manusia
(IPM) yang telah mengalami peningkatan dari 70,18 di tahun 2016
menjadi 71,92 di
tahun 2019. Posisi ini mengantarkan Indonesia masuk sebagai negara
dengan kategori
IPM tinggi. Ketiga komponen penyusun IPM mengalami kenaikan yaitu,
pertama,
pengeluaran per kapita penduduk telah meningkat dari Rp10,42 juta di
tahun 2016
menjadi Rp11,3 juta di tahun 2019. Kedua, umur harapan hidup (UHH)
saat lahir telah
meningkat dari 70,90 tahun di tahun 2016 menjadi 71,34 tahun di tahun
2019. Selain itu,
di periode yang sama, harapan lama sekolah (HLS) telah meningkat dari
12,72 tahun di
tahun 2016 menjadi 12,95 tahun di tahun 2019.1
Perbaikan indikator kesejahteraan rakyat tersebut tidak lepas dari
berbagai
program perlindungan sosial yang telah diluncurkan pemerintah selama
ini. Berkaca
pada krisis ekonomi 1998, pemerintah juga memperluas dan
memperkenalkan berbagai
program perlindungan social untuk mengatasi dampak pandemic covid-
19. Urgensi data
terpadu kesejahteraan rakyat yang terverifikasi dan valid menjadi
kebutuhan utama
dalam menghadapi kondisi darurat ini.
Di tahun 2021, pemerintah akan melaksanakan Reformasi Perlindungan
Sosial
melalui 1) transformasi data menuju registrasi social dan memperluas
cakupan DTKS
kepada 60 penduduk Indonesia; 2) transformasi digitalisasi penyaluran
bantuan; 3)
integrase program bansos yang memiliki karakterisktik yang sama; 4)
mendorong JPS
sebagai komponen automatic stabilizer kebijakan stimulus dalam
menghadapi gejolak
ekonomi; dan 5) mendorong efektifitas program Jaminan Sosial.
Sebagai bagian dari upaya mendorong pemerintah untuk memberikan
perlindungan sosial secara menyeluruh, tulisan ini berupaya memberi
catatan penting
atas berbagai tahapan reformasi perlindungan sosial tersebut, serta
memberikan
rekomendasi dalam mendukung efektifitasnya.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635