

Siklus:
Sekilas:
Tidak dapat dipungkiri bahwa penetrasi teknologi yang merambat
begitu cepat
dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan berbagai aktivitas
kegiatan sehari-hari termasuk
juga untuk proses jual-beli. Pesatnya perkembangan pemanfaatan
teknologi informasi di tengah
masyarakat ini justru meraih windfall gain terutama di tengah
pandemi Covid-19 ini. Dengan
demikian, pemerintah mengeluarkan ketentuan terkait pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas pemanfaatan produk digital luar negeri lewat
Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (PMSE). Pentingnya kebijakan ini juga tercermin dengan
dijadikannya penerapan
PPN PMSE sebagai salah satu bentuk reformasi fiskal dalam
optimalisasi negara yang tertuang
dalam dokumen Kebijakan Ekonomi Makro Pokok-Pokok Kebijakan
Fiskal (KEM-PPKF) Tahun
2022. Di satu sisi penerapan PPN ini merupakan potensi dalam
meningkatkan penerimaan
negara. Namun disisi lain, kebijakan ini juga dihadapkan pada
tantangan untuk menciptakan
kesetaraan perlakuan perpajakan (level playing field) antara pelaku
usaha konvensional dan
ekonomi digital, baik dalam maupun luar negeri. Untuk itu tulisan ini
akan mengulas tentang
perkembangan, potensi, dan tantangan penerapan PPN PMSE
dalam optimalisasi peningkatan
penerimaan negara.
Aturan terkait PPN PMSE tersebut tertuang dalam Peraturan
Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 48/PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut,
Pemungutan, Dan
Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas
Pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean
Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang mulai efektif
berlaku sejak 1 Juli 2020.
Pada pelaksanaannya sejak 1 Juli 2020 hingga April 2021 terdapat
65 perusahaan yang
ditetapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai pemungut
PPN PMSE, dimana 6
diantaranya merupakan perusahaan yang berlokasi di Indonesia.
Adapun penerimaan PPN
PMSE yang diperoleh selama periode September hingga Desember
2020 ialah sebesar Rp0,731
triliun sementara itu pada periode Januari hingga April 2021 mulai
mengalami penin gkatan
sebesar Rp1,11 triliun. Tentunya angka tersebut masih jauh dari
target, dimana Kementerian
Keuangan sendiri sempat mengkaji bahwa PPN yang diperoleh dari
kegiatan PMSE ini sebesar
Rp10,4 triliun. Hal ini menunjukkan DJP mengalami berbagai
tantangan dan kendala dalam
mengoptimalkan penerimaan PPN tersebut. Apabila hal ini
dibiarkan terus menerus maka
kegiatan ekonomi digital ini justru menimbulkan versi baru shadow
economy.
Adapun beberapa tantangan ataupun permasalahan yang masih
dihadapi pemerintah
khususnya DJP dalam mengoptimalkan penerimaan PPN PMSE
yaitu; keterbatasan akses
memperoleh data menyebabkan Otoritas Pajak masih mengalami
kesulitan dalam
mengumpulkan informasi pelaku usaha PMSE, pengawasan dan
pengenaan sanksi yang masih
lemah dan aturan ini berpotensi menimbulkan Cost of Taxation
yang cukup besar. Strategi
optimalisasi PPN PMSE yang perlu dipertimbangkan pemerintah
diantaranya; pemerintah perlu
mempertimbangkan skema split payment dalam memungut PPN
pada kegiatan PMSE, sosialisasi
mengenai substansi dan administrasi pengenaan pajak atas PMSE
kepada seluruh pemangku
kepentingan. Selain itu, otoritas pajak perlu mengoptimalkan
penerimaan PPN pada pelaku usaha PMSE dalam negeri yang
didukung dengan perolehan akses data dan informasi terkait
transaksi PMSE.

Siklus:
Sekilas:
Program bantuan sosial (bansos) melalui Kementerian Sosial
dalam Program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dimulai sejak maret tahun 2020
untuk menyasar
masyarakat miskin dan rentan miskin yang terdampak covid-19.
Pada tahun 2020,
realisasi bansos mencapai Rp202,5 triliun atau setara 1,31 persen
terhadap PDB.
Peningkatan secara signifikan ini merupakan bentuk respons
Pemerintah melalui
program PEN untuk menekan dampak pandemi. Namun, Dalam
pelaksanaannya,
program bansos masih menghadapi berbagai tantangan yang
berpotensi menurunkan
efektivitas program. Tantangan utama pada program bansos adalah
masih besarnya
salah sasaran (targeting error), baik inclusion maupun exclusion
error. Tantangan
lainnya adalah perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
(DTKS) dan
mengupayakan integrasi bansos yang tersebar diberbagai
kementerian lembaga (K/L),
korupsi serta ketidaktepatan besaran manfaat.
Pandemi virus corona atau Covid-19 mendesak hampir seluruh
negara di dunia
untuk mengambil kebijakan-kebijakan luar biasa dalam rangka
penyelamatan ekonomi
yang terdampak pandemic (automatic stabilizer). Seberapa bijak
pemerintah mengatasi
tantangan ekonomi saat ini dan jangka panjang yang disebabkan
oleh COVID-19 akan
menjadi faktor penentu penting bagi kemakmuran generasi saat ini
dan masa depan.
Pada akhirnya pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas
dampak jangka
pendek dan jangka panjang dari kebijakan yang diadopsi. Karena
prospek perjuangan
melawan pandemi dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut,
pemerintah
terutama yang berada di pasar negara berkembang perlu
mempertimbangkan
bagaimana menghadapi tantangan jangka panjang ini.
Agar kebijakan bansos lebih optimal dampaknya terhadap tujuan
pemulihan
ekonomi nasional, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah
diantaranya:
penyempurnaan baik di aspek, mekanisme ataupun skema
kebijakan. Harmonisasi data,
penyesuaian cakupan dan besaran manfaat, peningkatan ketepatan
waktu penyaluran,
dan penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan.
Mendorong program jaring
pengaman memenuhi tiga kriteria efektivitas stimulus fiskal, yakni
timely (tepat waktu
karena dapat implementasinya segera, tanpa ada time lag); targeted
(menyasar pada
targetnya, kelompok miskin dan rentan,); dan temporary (berlaku
temporer karena
akan selesai seiring dengan pulihnya ekonomi). Percepatan
pemutakhiran DTKS agar
penetapan sasaran bansos sesuai fokus pada masyarakat dengan
penghasilan 40 persen
terendah dalam pemulihan ekonomi nasional dan meminimimalkan
exclusion maupun
inclusion error pada program-program yang sifatnya sementara
sekalipun. Mekanisme
pengawasan bantuan sosial yang lebih komprehensif agar tidak
terjadi lagi korupsi
ataupun inefisiensi lainnya.

Siklus:
Sekilas:
Realisasi produksi beras pada tahun 2020 tidak mencapai target,
yakni hanya
34,99 juta ton. Lebih mirisnya lagi, produksi tersebut juga
mengalami penurunan dari
tahun 2018 yang sebesar 37,90 juta ton. Penurunan tersebut tidak
lain karena produksi
padi mengalami penurunan dari 59,20 juta ton tahun 2018 menjadi
54,65 juta ton tahun
2020. Turunnya produksi ini disebabkan oleh turunnya luas panen
dan produktivitas
komoditas padi. Produktivitas ini juga merupakan salah satu faktor
yang sangat
memengaruhi tingkat kesejahteraan petani, khususnya tanaman
pangan. NTPP tahun
2020 juga mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018, dari
102,96 tahun 2018
menjadi 101,03 tahun 2020. Dalam kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok
kebijakan fiskal tahun 2022, NTP ditargetkan dikisaran 102-104, di
mana target
tersebut juga merupakan target dari NTPP. Untuk mencapai target
tersebut, maka
perlunya meningkatkan produktivitas padi nasional.
Terdapat beberapa persoalan yang dihadapi dalam meningkatkan
produksi padi.
Permasalahan dalam faktor luas panen, di mana mengalami
penurunan disebabkan oleh
masih lemahnya implementasi UU No. 41 Tahun 2009 tentang
Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) dan alih komoditi. Sedangkan produktivitas
disebabkan SDM yang
didominasi pendidikan dasar, produksi benih varietas unggul jauh
lebih rendah dari
kebutuhan dan produktivitas hasil penelitian produksi benih varietas
unggul tahun
2020 sedikit lebih rendah dari 2019, masih kurang akuratnya
pendataan RDKK, serta
bantuan alsintan masih terfokus pada pra panen. Karena itu, upaya
yang perlu
dilakukan oleh pemerintah dalam memperhatikan faktor luas panen,
yaitu pertama,
penetapan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW
oleh pemerintah
daerah (pemda) harus menjadi salah satu syarat dalam pemberian
Dana Insentif Daerah
(DID). Kedua, bagi petani yang ikut PLP2B diberikan bantuan alat
mesin pertanian pra
panen dan pasca panen. Selain itu, pemerintah dalam peningkatan
produktivitas
pertanian perlu mengupayakan pertama, perlu peningkatan kualitas
pendidikan non
formal khusus pendidikan peningkatan produktivitas dengan
peranan penyuluh dan
Perguruan Tinggi. Kedua, meningkatkan kapasitas produksi dan
biaya untuk penelitian
benih varietas unggul. Ketiga, terkait dengan faktor pupuk,
pemerintah perlu
memperbaiki sistem RDKK dengan berbasis identitas penduduk dan
perlunya
peningkatan tenaga survei atas lahan yang diajukan harus kurang
dari 2 ha. Keempat,
pemberian bantuan alsintan pasca panen bagi kelompok yang
sudah mendapatkan
alsintan pra panen, sehingga alsitannya lengkap dari pra panen
sampai pasca panen.
Kelima, menyederhanakan proses administrasi dalam peminjaman
alsintan dari
Brigade alsintan, serta komponen biaya angkut perlu dialokasi dari
pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat.

Siklus:
Sekilas:
Sejak 2011, proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (UU APBN) di parlemen mengalami perubahan yang
signifikan. Perubahan
tersebut adalah kesepakatan DPR RI bersama pemerintah untuk
memasukkan beberapa
indikator yang dijadikan ukuran pencapaian sasaran pembangunan yang
berkualitas sebagai
salah satu norma dalam UU APBN, dimana hal ini tidak pernah diatur
dalam UU APBN tahuntahun sebelumnya. Secara kumulatif, ada delapan
indikator sasaran pembangunan yang
ditetapkan sebagai target yang harus dicapai oleh pemerintah dalam UU
APBN 2011-2020.
Namun, tidak semua indikator tersebut ditetapkan secara konsisten dalam
APBN setiap
tahunnya.
Dari sisi realisasi, dapat dikatakan bahwa tidak semua target indikator
yang ditetapkan
dapat terpenuhi setiap tahunya. Meskipun demikian, mayoritas
pencapaiannya mengalami tren
yang terus membaik dari tahun ke tahun atau dengan kata lain tren
kesejahteraan masyarakat
terus membaik. Namun, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian
pemerintah, agar
perwujudan peningkatan kesejahteraan lebih nyata dirasakan oleh
masyarakat Indonesia, bukan
peningkatan yang sifatnya relatif semu. Pertama, angka kemiskinan yang
menggunakan garis
kemiskinan sebesar Rp440.538 per kapita per bulan pada 2019 belum
sepenuhnya dapat
dijadikan ukuran yang mencerminkan kemiskinan yang sesungguhnya.
Kedua, angka kemiskinan
di perdesaan masih tinggi dan penurunannya relatif lambat. Ketiga,
indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan di perdesaan masih relatif tinggi. Keempat, profil
kemiskinan provinsi
yang berada di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih
memprihatinkan. Kelima,
struktur ketenagakerjaan nasional masih didominasi oleh pekerja
informal. Keenam, masih
tingginya persentase pekerja tidak penuh. Terakhir, indeks pembangunan
manusia provinsi di
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih terpaut cukup jauh
dengan angka nasional dan
provinsi lain.
Penetapan berbagai indikator sasaran pembangunan tersebut dapat
dijadikan sebagai
ukuran pencapaian kemakmuran rakyat yang diamanahkan konstitusi.
Namun, yang perlu
menjadi catatan adalah amanah konstitusi tidak hanya sebatas
mewujudkan kemakmuran rakyat
semata. Tetapi, yang diamanahkan oleh konstitusi adalah kemakmuran
rakyat yang diikuti
dengan terwujudnya keadilan sosial. Dalam UU APBN, penerapan prinsip
keadilan atau
pemerataan sebagai ukuran keberhasilan pengelolaan APBN yang sesuai
dengan amanah
konstitusi telah dilakukan, yakni melalui penetapan koefisien gini. Namun,
penetapan koefisien
gini tersebut belumlah mencerminkan pemerataan secara wilayah
sebagaimana prinsip keadilan
yang diamahkan oleh konstitusi. Koefisien gini hanyalah ukuran
ketimpangan atau
ketidakmerataan pendapatan antar individu. Artinya, koefisien gini belum
dapat dijadikan
ukuran pemerataan antarwilayah. Oleh karena itu, perlu adanya
penambahan indikator yang
mampu menggambarkan perbaikan ketimpangan antarwilayah atau
daerah dalam UU APBN di
masa mendatang. Urgensi adanya indikator yang mampu mengukur
ketimpangan wilayah
antardaerah juga didasarkan pada persoalan klasik yang masih menjadi
isu utama pembangunan
nasional. Persoalan klasik tersebut adalah ketimpangan antar wilayah
yang belum mengalami
perbaikan yang signifikan.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635