Siklus:
Sekilas:
Sampai triwulan I tahun 2017, kondisi fundamental makroekonomi
Indonesia terus membaik. Ditengah ketidakpastian perekonomian global,
kinerja perekonomian Indonesia masih cukup stabil. Kondisi ini dapat
dilihat dari adanya perbaikan peringkat utang Indonesia menjadi layak
investasi dari beberapa lembaga pemeringkat utang internasional,
seperti Moody’s yang memberikan perikat BBB, Fitch Ratings dengan
peringkat BBB-, Japan Credit Rating Agency dengan peringkat BBB-,
Rating & Investment dengan peringkat BBB- serta S&P Global dengan
peringkat utang jangka panjang BBB- dan peringkat utang jangka
pendek AAA. Alasan kenaikan peringkat utang dari lembaga
internasional ini dikarenakan berkurangnya resiko fiskal seiring
kebijakan anggaran oemerintah yang lebih realistis sehingga membatasi
kemungkinan pemburukan defisit ke depan. Selain itu, pemerintah juga
dinilai telah merumuskan kebijakan yang efektif dalam mendukung
keuangan pemerintah yang berkesinambungan dan pertumbuhan
ekonomi yang berimbang. Namun, dibandingkan dengan Malaysia dan
Singapura, peringkat utang Indonesia masih di bawah kedua negara
tersebut, sehingga Indonesia harus lebih giat lagi dalam mejaga
kestabilan makroekonominya.
Dari sisi penerimaan negara, perolehan data program tax amnesty serta
pengelolaam pengeluaran fiskal saat ini lebih terkendali. Bank sentral
juga turut andil dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dengan
mengurangi dampak dari gejolak ekonoi dan keuangan kepada stabilitas
makro ekonomi. Namun, tantangan dari eksternal seperti, dinamika
ekonomi negara maju, normalisasi kebijakan moneter di Amerika
Serikat dan Eropa, perkembangan ekonomi di Tiongkok, faktor geo-
politik serta keamanan regional dan dunia masih harus diwaspadai dan
diantisipasi pengaruhnya terhadap volatilitas nilai tukar Rupiah.
Penguatan fungsi alokasi terus dilakukan pemerintah dengan
memperbaiki alokasi anggaran agar lebih tepat sasaran untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis produktivitas, mendukung
program prioritas, memperkuat modal dasar yaitu sumberdaya manusia,
dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkualitas dan berkelanjutan.
Pengawasan terhadap kesesuaian antara anggaran dan program
prioritas harus senantiasa ditingkatkan sehingga tujuan yang telah
dicantumkan dalam nawacita dapat tercapai. Tingkat kemiskinan dan
pengangguran telah berhasil diturunkan, namun masih terdapat lebih
dari 27 juta yang berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu,
kesenjangan baik pendapatan maupun antarwilayah serta berbagai
permasalahan sosial lain masih menjadi tantangan pemerintah untuk
diselesaikan.
Selain keselarasan antara visi dan anggaran, pemerintah juga
seyogyanya melakukan penyelarasan peraturan perundang-undangan
antarsektor sehingga tidak lagi ditemukan peraturan yang saling
tumpang tindih atau malah menghambat terciptanya iklim investasi yang
kondusif. Perbaikan kondisi makroekonomi saat ini harus senantiasa
dijaga dan ditingkatkan sehingga mampu menjadi modal dasar untuk
meningkatkan investasi di Indonesia, sehingga investasi dapat menjadi
motor tambahan penggerak pertumbuhan ekonomi selain konsumsi
agregat yang selama ini masih menjadi primadona.
Siklus:
Sekilas:
Sebagaimana yang telah diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
diselenggarakan otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia salah
satunya melalui desentralisasi fiskal yang memiliki konsekuensi terhadap
perubahan pengelolaan fiskal. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, mengatur pembagian kewenangan, tugas dan
tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah.
Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal melahirkan
transfer ke daerah. Transfer ke daerah ini bertujuan diantaranya untuk
lebih mendekatkan akses daerah terhadap pembangunan, kesejahteraan
masyarakat di daerah akan lebih merata, hingga ketimpangan vertikal
maupun horizontal dapat dipersempit. Peningkatan alokasi dana transfer
daerah dan dana desa merupakan wujud dari komitmen pemerintah
untuk mengurangi gap yang ada. Berdasarkan inilah, buku ini menjadi
suatu hal yang penting untuk dapat memberikan sedikit informasi
mengenai pengembangan dana ke transfer dan dana desa.
Ketentuan perencanaan hingga evaluasi transfer ke daerah dan dana
desa telah disesuaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
50/PMK.07/2017 yang merupakan penggantian dari Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.07/2016 tentang
Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa.
Siklus:
Sekilas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, secara jelas
menengaskan bahwa negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan
umum. Artinya, negara yang diwakilkan oleh Pemerintah harus terus
melakukan proses pembangunan dari masa ke masa dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan
peningkatan kesejahteraan bagi hampir 256 juta jiwa penduduk
Indonesia, sudah pasti membutuhkan sumber pendanaan yang cukup
besar. Pendanaan yang sangat besar tersebut sudah pasti tidak dapat
dipenuhi sepenuhnya oleh pemerintah melalui keuangan negara. Peran
swasta dan entitas masyarakat sangat dibutuhkan.
Ditengah perlambatan ekonomi yang masih terus berlanjut hingga saat
ini, mengharapkan peran swasta dalam konteks pendanaan
pembangunan juga dirasa sulit. Padahal percepatan peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia sudah menjadi sebuah keharusan
agar tidak semakin tertinggal dengan bangsa-bangsa lain. Mau tidak
mau, suka tidak suka, peran pendanaan yang bersumber dari APBN
harus dioptimalkan dan diperkuat untuk memastikan proses
pembangunan terus berjalan dan berkesinambungan. Bahkan tidak
hanya berjalan saja, proses pembangunan juga harus mampu
mendorong akselerasi percepatan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Akan tetapi, berkaca pada kondisi keuangan negara hingga
saat ini yang kapasitasnya masih rendah, rasanya menjadi sulit
mengharapkan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
signifikan dapat terjadi dalam waktu dekat. Banyak tantangan dan
permasalahan yang dihadapi terkait keuangan negara kita. Mulai dari
masih terbatas dan rendahnya sumber-sumber penerimaan negara,
hingga pada efektifitas dan efisiensi penggunan anggaran negara yang
harus terus ditingkatkan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Berangkat dari pemikiran bahwa peran pendanaan
pembangunan yang bersumber dari APBN harus dioptimalkan dan
diperkuat serta masih banyaknya tantangan dan permasalahan terkait
kondisi keuangan negara itulah, buku ini kami susun dan terbitkan. Buku
ini akan mengupas beberapa isu-isu strategis terkait Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dapat dijadikan referensi
para perumus kebijakan dalam mengoptimalkan dan memperkuat peran
APBN dalam proses pembangunan di Indonesia.
Siklus:
Sekilas:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI ) selaku pihak
yang mewakili kepentingan daerah dalam pembangunan berhak dan
memiliki tanggung jawab mengajukan dan membuat gagasan sesuai
dengan aspirasi di daerah pemilihan guna merealisasikan janji-janjinya.
DPR RI berkewajiban menyerap, menghimpun serta menindaklanjuti
aspirasi konstituen sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap
daerah pemilihannya. Dalam keterbasan sistem penganggaran dan
besarnya tuntutan masyarakat atas peran Anggota DPR RI maka
Anggota DPR RI harus mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi
tuntutan konstituen sehingga ongkos politik menjadi mahal dan
berpotensi menjadi kolusi, korupsi dan nepotisme KKN. Dalam
prakteknya keterlibatan anggota parlemen untuk memperjuangkan
suatu proyek pembangunan dikenal dengan earmark dan fork barel,
seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Praktek pork barel juga terjadi
di India, Filipina dan Republik Kenya. Untuk itu di Indonesia, perlu
diciptakan model pembiayaan pembangunan daerah pemilihan sehingga
dikenal dengan UP2DP sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan Undang Alternatif
Kebijakan Untuk Merealisasikan Aspirasi Pembangunan Daerah
Pemilihan Dalam Mekanisme Penganggaran Undang No.42 Tahun 2014.
Dalam perkembangan usaha-usaha untuk merealisasikan UP2DP sudah
berjalan, tetapi masih tertahan di pemerintah. Dalam Program
Pembangunan Daerah Pemilihan harus ditempatkan pada konteks bahwa
pengelolaan anggaran menjadi tugas eksekutif. Namun untuk
memberikan keseimbangan peran, maka DPR berkedudukan sebagai
pengusul dan pemerintah meriviu usulan. Adapun alokasi anggaran
dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan dalam pembahasan sesuai
dengan formula yang ditentukan.
Siklus:
Sekilas:
Saat ini, masih terdapat dominasi pengelolaan keuangan negara oleh
eksekutif, yang ditandai dengan segala pengaturan pengelolaan
keuangan negara diatur oleh pemerintah. Hal ini yang menyebabkan
adanya ketergantungan lembaga legislatif dan yudikatif terhadap
eksekutif. Tentu saja ini menyebabkan bargaining position kedua
lembaga tersebut menjadi lemah
ketika berhadapan dengan pemerintah. Karena itu independensi kedua
lembaga menjadi penting untuk
menerapkan kesimbangan peranan dalam ketatanegaraan dan kerangka
menciptakan check and balances. Independensi anggaran menjadi
penting bagi parlemen, dan ini menjadi bagian dari Otonomi Parlemen.
Dalam dua dekade terakhir ini, Otonomi Parlemen sudah menjadi isu
penting bagi
perkembangan studi-studi keparlemenan di dunia. Formalisasi atas
otonomi parlemen (autonomy of parliament) telah
dilakukan oleh Association of Secretaries General of Parliaments
(ASGP) pada tahun 1998 melalui hasil studi yang telah disetujui
di Moskow dan dipublikasikan dalam the Constitutional and
Parliamentary Information. Untuk melihat lebih jauh bagaimana
penerapan Otonomi Parlemen maka perlu melakukan analisis lebih
lanjut. Permasalahan yang akan dikaji lebih mendalam adalah:
Bagaimana konsepsi tentang Otonomi Parlemen? Bagaimana
implementasi Otonomi Anggaran Parlemen? Bagaimana kontrol
atas pelaksanaan Otonomi Anggaran Parlemen?
Dari pembahasan maka Otonomi Parlemen sudah menjadi bagian dari
usaha penguatan parlemen dan menjadi agenda bagi parlemen-
parlemen di dunia internasional. Secara empirik Otonomi Parlemen
memiliki perbedaan-perbedaan. Bagi Indonesia, Otonomi Parlemen
menjadi suatu keniscayaan.
Di DPR RI sendiri Otonomi Parlemen baru menyentuh aspek kekuasaan
parlemen, sedangkan pada aspek anggaran. Saat ini Otonomi Anggaran
bagi DPR RI belum ada. Tatakelola masih dipegang oleh pemerintah,
mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya.
6. Untuk mencapai Otonomi Anggaran di ketiga lembaga
pemegang kekuasaan negara (kehusnya DPR RI) masih
membutuhkan proses dan itu dimulai dengan menyusun
roadmap regulasi yang ada, yaitu: Perubahan terhadap UU
No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;
Perubahan terhadap UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Perubahan dalam UU tersebut berkaitan dengan
penjabaran lebih lanjut Otonomi Anggaran DPR RI; untuk
menjamin pelaksanaan pengelolaan Otonomi Anggaran DPR RI
perlu perubahan terhadap UU No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara; dan, terakhir untuk menjamin
pertanggungjawaban pengelolaan otonomi anggaran perlu
perubahan terhadap UU No.15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara. Selain pelaksanaan teknis perencanaan hingga
pertanggungjawaban pengelolaan Anggaran DPR RI, maka hal penting
lain yang harus dipersiapkan adalah sistem atau mekanisme
pengawasan pelaksanaan keuangan negara yang akuntabel dan
transparan. Dalam jangka pendek ini, konsekuensi lain dari Otonomi
Anggaran adalah merubah format tampilan neraca APBN (overall).
Pengaturan yang jelas dan objektif perlu diketengahkan untuk
menghindari politisasi atas Anggaran DPR RI. Dalam kerangka Otonomi
Anggaran maka perlu dibarengi dengan otonomi kepegawaiannya. Hal
ini menjadi penting karena Setjen DPR RI berkedudukan sebagai
pelaksana administrasi dan keuangan DPR RI.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635