Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Mengatasi kesenjangan pembangunan antar daerah atau antar wilayah
merupakan agenda lama yang belum terselesaikan, terutama sejak
diberlakukannya era desentralisasi di Indonesia. Kesenjangan antar
wilayah atau antara daerah tersebut dapat terlihat dari berbagai indikator
hasil pembangunan yang dijelaskan oleh berbagai ukuran, seperti indeks
Williamson, PDRB Per kapita atau rasio kontribusi PDRB antar
daerah/regional terhadap perekonomian nasional. Indeks Williamson dan
kontribusi PDRB antar daerah di Indonesia menunjukkan ketimpangan
pembangunan antar daerah masih sangat lebar.
Ketimpangan hasil pembangunan tersebut, tidak dapat dilepaskan dari
berbagai ketimpangan modal fisik (physical capital) dan sumber daya
manusia (human capital) yang dimiliki oleh setiap wilayah atau daerah
untuk menggerakkan perekonomian daerahnya. Untuk konteks Indonesia,
ketimpangan infrastruktur adalah salah satu penyebab ketimpangan
pembangunan antar daerah.
Dalam 2 (dua) tahun terakhir, pemerintah telah menjadikan percepatan
pembangunan infrastruktur dan pembangunan infrastruktur untuk
mengurangi kesenjangan sebagai salah satu agenda prioritas. Hal ini
terlihat dari dokumen RPJMN, RKP dan alokasi anggaran infrastruktur
yang bersumber dari APBN.
Agar perencanaan pembangunan infrastruktur tersebut akan memberikan
dampak yang optimal, maka pemerintah perlu melakukan pemetaan yang
jelas terhadap kebutuhan dan kondisi infrastruktur di tiap daerah. Hasil
pemetaan tersebut dapat dijadikan dasar untuk memutuskan jenis
infrastruktur apa yang prioritas disediakan di setiap daerah. Selain itu,
pembangunan infrastruktur sebaiknya sejalan dengan potensi dan daya
saing yang dimiliki tiap-tiap daerah.
Perencanaan pembagunan infrastrukur dengan pendekatan rekayasa nilai
tambah perlu dilakukan pemerintah. Hal ini dapat mengurangi total biaya
yang dikeluarkan dan memberikan potensi keuntungan yang lebih besar,
sehingga pihak swasta pun berminat ikut terlibat dan berinvestasi di
sektor infrastruktur.
Pembentukan badan khusus yang menangani perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan infrastruktur perlu dipertimbangkan
pemerintah dalam mempercepat koordinasi dan pelaksanaan
pembangunan. Jika dibentuk, badan khusus tersebut beranggotakan
seluruh stakeholder yang berkepentingan terhadap pembangunan
infrastruktur, seperti lintas kementerian, pemerintah daerah, pihak
swasta, akademisi dan lain sebagainya.
Terakhir, sinergitas antara pembangunan infrastruktur yang dilakukan
oleh pemerintah dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan
pemerintah daerah (sesuai dengan kewenangannya) perlu di perkuat agar
mampu memberikan dampak yang optimal.
Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Pajak merupakan penerimaan negara yang terbesar sehingga Pemerintah
dari tahun ke tahun
terus berupaya agar penerimaan pajak mencapai target yang telah
ditetapkan, namun
pencapian target tersebut masih sulit dicapai karena berbagai faktor.
Pada tahun 2015
penurunan yang cukup drastis dari PPh migas karena dampak dari
turunnya harga minyak
mentah dunia. Selain itu juga perlambatan ekonomi selama 2015 juga
mempengaruhi
penerimaan perpajakan, sedangkan program-program pemerintah 2015
dan tahun ke
depannya untuk infrstruktur membutuhkan dana yang besar. Berbabagai
upaya pemerintah
lakukan diantaranya pengampunan pajak nasional atau tax amnesty yang
sedang
diperjuangkan oleh pemerintah sebagai upaya mengenjot penerimaan
pajak. Namun hal ini
kurang bersinergi dengan langkah penegakan hukum perpajakan. Artinya
pemerintah
perlunya melakuka upaya yang lain dengan menggali lagi potensi
penerimaan pajak. Adapun
beberapa potensi pajak yang perlu digali, diantaranya regulasi pajak
terhadap transaksi
finansial perlu dilakukan, pemutakhiran basis data perpajakan, sosialisasi
perpajakan, pajak
e-commerce, dan pertukaran informasi dan data perbankan.
Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Realisasi kontribusi SDA Migas terhadap PNBP dari periode 2011-2014
adalah rata-rata sebesar
57 persen namun di tahun 2015 dan 2016 ini diturunkan menjadi sebesar
29 persen.
Sebaliknya penerimaan SDA non migas terhadap PNBP mengalami
peningkatan. Kondisi ini
menjadi indikasi bahwa penerimaan migas bukan lagi menjadi primadona
dalam penerimaan
negara Sebaliknya, sektor non migas harus mendapatkan perhatian lebih
oleh pemerintah
mengingat sumber daya alam non migas ini relatif mudah diperbaharui
dan ketersediaan di
bumi Indonesia masih sangatlah besar. Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) bersumber dari
Sumber Daya Alam (SDA) non migas terdiri dari kegiatan di sektor
pertambangan mineral dan
batubara, kehutanan, perikanan dan pertambangan panas bumi.
Dari keempat sektor tersebut, pertambangan mineral dan batubara
memberikan kontribusi
terbesar yaitu 88 persen dari total PNBP pada APBN 2016, diikuti oleh
sektor kehutanan,
pertambangan panas bumi dan perikanan. Terdapat permasalahan krusial
dalam pengelolaan
PNBP ini yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 yang menjadi
payung hukum
pelaksanaan PNBP dirasa sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Disamping itu banyak
terdapat permasalahan-permasalahan dari tiap sektor yang perlu
diselesaikan. Di sektor
pertambangan minerba terdapat beberapa rekomendasi dari KPK maupun
BPK yang belum
ditindaklanjuti, Selain itu masih banyak perusahaan tambah yang belum
berstatus clean and
clear (CnC). Dalam sektor kehutanan, terdapat ketidaksesuaian
pencatatan hasil produksi kayu
dengan yang terjadi di lapangan, sehingga mengakibatkan terjadi
kerugian negara akibat PNBP
kehutanan yang tidak dipungut. Sektor perikanan, terdapat
ketidaksesuaian dalam penentuan
formula penghitungan PNBP sektor perikanan. Saat ini hanya sekitar 0,19
persen dari total nilai
perikanan tangkap yang disumbangkan kepada PNBP. Sedangkan disektor
pertambangan panas
bumi masih belum dimanfaatkan secara maksimal dari potensinya yang
sangat tinggi yaitu dari
total cadangan energi 28.910 MW, namun energi yang sudah terpasang
hanya 1.402 MW.
Salah Satu hal penting yang saat ini perlu diperhatikan untuk lebih
mengoptimalkan kinerja
PNBP ialah revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP.
Ditiap sektor perlu
adanya perbaikan baik disisi perencanaan, pelaksanaan hingga
pengawasan. Serta penegakkan
hukum harus dilaksanakan lebih tegas bagi pihak-pihak yang
menyelewengkan penerimaan
negara dari tiap sektor tersebut.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635