Siklus:
APBN-P
Sekilas:
Anggaran belanja subsidi energi pada 2015 mengalami penurunan yang
sangat signifikan, dari semula Rp341.810,4 miliar di 2014 menjadi
Rp137.824,0 miliar di APBNP 2015, terutama karena penurunan
anggaran subsidi BBM akibat perubahan kebijakan dan parameter
subsidi. Anggaran belanja subsidi BBM jenis tertentu, LPG tabung 3 kg
dan LGV mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari semula
Rp239.994,1 miliar pada realisasi tahun 2014 menjadi Rp64.674,8 miliar
dalam APBNP tahun 2015. Penurunan tersebut, terutama disebabkan
oleh kebijakan penghapusan subsidi untuk BBM jenis premium dan
kebijakan subsidi tetap untuk BBM jenis minyak solar sebesar
Rp1.000/liter. Anggaran belanja subsidi listrik juga mengalami
penurunan yang sangat signifikan, dari semula Rp101.816,3 miliar pada
realisasi tahun 2014 menjadi Rp73.149,2 miliar dalam APBNP tahun
2015. Penurunan anggaran subsidi listrik disebabkan berbagai kebijakan
penghematan dan pengendalian subsidi listrik yang dilakukan oleh
Pemerintah antara lain penyesuaian tarif tenaga listrik pada beberapa
golongan pelanggan.
Kebijakan pengalihan subsidi energi ke sektor lain yang lebih produktif,
dimaksudkan untuk memperluas ruang fiskal yang dimiliki oleh
pemerintah untuk mendukung berbagai program prioritas nasional.
Kenaikan ruang fiskal pemerintah sebesar Rp211,3 triliun dari
penghematan subsidi BBM pada APBNP tahun 2015 mendorong
peningkatan sektor infrastruktur dari sebesar Rp178 triliun di tahun
2014 menjadi sebesar Rp312 triliun di tahun 2016, demikian pula alokasi
anggaran kesehatan dari Rp68 triliun di tahun 2014 menjadi sebesar
Rp102 triliun di tahun 2016. Anggaran pendidikan yang lebih bersifat
mandatory spending juga meningkat. Di samping melakukan penajaman
terhadap target subsidi energi, pemerintah perlu mempertimbangkan
pula kompensasi kenaikan subsidi non energi yang sesungguhnya juga
sangat diperlukan bagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat kurang mampu.
Siklus:
APBN-P
Sekilas:
Pendapatan negara terbesar setelah pajak adalah sektor migas. Sektor
migas dalam kurun waktu 2010-2014 rata-rata memberikan kontribusi
sebesar 21,61% terhadap pendapatan negara. Namun, kondisi
perekonomian global tahun 2015 khususnya anjloknya harga minyak
mentah dunia memberikan dampak negatif terhadap sektor migas.
Dampak yang paling signifikan adalah ICP yang terus mengalami
penurunan, hal ini mengakibatkan penerimaan dari sektor migas baik
PNBP migas maupun PPh migas mengalami penurunan. Penurunan ICP ini
melemahkan daya tarik investor di sektor migas karena tingginya resiko
investasi di sektor migas. Sedangkan harga yang begitu murah. Kemudian
kondisi sumur eksploitasi dan eksplorasi setiap tahun terus mengalami
penurunan. Bahkan cadangan minyak dan gas semakin menipis.
Pemerintah perlu upaya membuat regulasi untuk mengatasi kondisi
tersebut, khususnya regulasi dalam sistem kontrak sangat mempengaruhi
daya tarik investor. Dengan kondisi penurunan ICP saat ini, sistem
kontrak yang relevan bagi investor yaitu Block basis. Sebaliknya, jika ICP
sudah tinggi kembali berkisar 100 usd per barel dan relatif stabil, maka
sistem yang relevan yaitu POD basis. Kemudian untuk mengurangi biaya
dalam operasional, pemerintah perlu mendorong Fasilitas Sharing antar
KKKS. Dengan meminimalisir biaya operasional akan membawa dampak
positif terhadap penerimaan migas yaitu Cost recovery bisa diminimalisir.
Selain itu, target penerimaan migas dalam APBN 2016 perlu direvisi
dengan kondisi terkini, karena pada kuartal pertama 2016 deviasi target
ICP sudah berkisar 15-20 usd per barel. Penulis mengestimasi target yang
realistis untuk penerimaan migas 2016 yaitu sebesar Rp99,83 triliun
dengan PNBP sebesar Rp62,16 triliun dan PPh sebesar Rp37,67 triliun.
Artinya ada penurunan target sebesar Rp20,23 triliun dari target APBN
2016.
Siklus:
Lapsem
Sekilas:
Rata-rata penyerapan anggaran sangat rendah di awal tahun. Di tahun
2016, realisasi belanja modal hingga semester I tahun 2016 baru terserap
sebesar 22 persen atau setara dengan Rp44,38 triliun dari alokasi
anggaran belanja modal yang ditetapkan dalam APBN tahun 2016 sebesar
Rp201,6 triliun. Belanja modal sendiri dalam perekonomian adalah
sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan
infrastruktur. Permasalahan yang kerap terjadi dalam proses penyerapan
pelaksanaan anggaran belanja modal/infrastruktur seperti dalam proses
perencanaan, pembebasan lahan, proses penerbitan Loan Agreement,
keterbatasan kemampuan SDM dan proses perizinan akan berdampak
pada melambatnya proses pembangunan infrastruktur. Untuk itu, perlu
upaya pemerintah untuk memastikan perencanaan dan pembangunan
harus sejalan antara Pemerintah Pusat dengan daerah, pembentukan
badan khusus lintas sektoral bidang infarstruktur perlu dipertimbangkan
untuk menjamin kelancaran koordinasi perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur, mengoptimalisasi SDM, serta melakukan
sosialisasi dan pendekatan sosial kultural kepada masyarakat mengenai
rencana pembangunan infrastruktur. Dengan upaya tersebut diharapkan
penyerapan anggaran akan menjadi lebih cepat sehingga belanja
pemerintah dapat lebih berkualitas dan mempercepat akselerasi
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Siklus:
Lapsem
Sekilas:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapa dilihat sebagai suatu
neraca yang memuat bagaimana penerimaan negara dikumpulkan dan
bagaiman pengeluaran itu dialokasikan serta di distribusikan. Semenjak
masa reformasi, Indonesia menerapkan kebijakan defisit anggaran.
Dengan penerapan kebijakan defisit anggaran ini, diharapkan
perekonomian nasional mengalami pertumbuhan secara signifikan.
Namun selama sepuluh tahun terakhir, setiap akhir tahun anggaran selalu
terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). SILPA ini terjadi
karena realisasi belanja tidak mencapai target yang diharapkan. Selain itu
sumber pembiayaan anggaran sebagian besar berasal dari hutang.
Sehingga adanya SILPA di akhir tahun anggaran mengharuskan
pemerintah untuk membayar bunga hutang di tahun anggaran
berikutnya, namun dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan defisit
anggaran tidak dapat tercapai secara maksimal. Hal ini menimbulkan
ketidakefisienan anggaran.
Realisasi penerimaan negara memiliki kecenderungan stabil dan landai di
awal tahun dan meningkat secara signifikan menjelang akhir tahun. Hal
ini terjadi karena adanya usaha keras dari lembaga terkait untuk
mencapai target penerimaan negara. Pola realisasi seperti ini dapat
mengindikasikan kurangnya manajemen yang baik dalam mencapai target
penerimaan negara, mengingat realisasi pada bulan tertentu lebih besar
dari bulan yang lainnya saat ada instruksi dan/atau pengawasan khusus
dari pejabat terkait. Target realisasi penerimaan negara di akhir tahun
anggaran 2016 akan sangat bergantung pada keberhasilan tax amnesty.
Hal ini dikarenakan kinerja penerimaan pajak yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Hal
ini diperparah dengan penerimaan negara yang berasal dari PNBP yang
juga berpotensi tidak tercapai di akhir tahun anggaran 2016. Hal ini
dikarenakan masih rendahnya harga komoditas Gas dan Minyak Bumi,
yang berakibat pada rendahnya penerimaan PNBP SDA Migas.
Sedangkan realisasi belanja di akhir tahun 2016 diperkirakan bisa
meningkat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
terjadi karena adanya percepatan belanja khususnya belanja barang dan
belanja modal. Tingginya realisasi belanja di awal tahun 2016 diharapkan
dapat mengurangi penumpukan belanja di akhir tahun anggaran.
Ketidakefisienan anggaran yang terjadi hampir disetiap tahun dapat
diminimalisir dengan melakukan perencanaan yang lebih baik. Dalam
proses perencanaan anggaran harus disesuaikan dengan kebutuhan
anggaran dan kemampuan dalam melakukan realisasi program. Dengan
menyusun anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan,
diharapkan deviasai anggaran dapat diminimalisir, sehingga anggaran
yang disusun lebih efisien.
APBN-P merupakan saran untuk menyesuaikan anggaran pada tahun
anggaran berjalan dengan kemampuan merealisasikan anggaran. Namun
masih besarnya deviasi yang terjadi di beberapa tahun terakhir
mengindikasikan kurang efektifnya proses yang dilakukan dalam APBN-P.
Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Salah satu masalah dalam perekonomian nasional adalah tidak meratanya
distribusi pendapatan penduduk Indonesia. Hal tersebut tampak dari
makin meningkatnya indeks gini Indonesia. Sebagaimana diketahui,
indeks gini mengukur distribusi pendapatan suatu negara. Besarnya
indeks gini antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Indeks gini sama dengan 0
(nol) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata sempurna,
sementara indeks gini sama dengan 1 (satu) menunjukkan distribusi
pendapatan sama sekali tidak merata.
Indeks gini Indonesia dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2014
mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 besarnya indeks gini adalah
0,35, maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 0,37, dan kembali
meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2011, tahun 2014 meningkat sebesar
0,413. Sedangkan Desember tahun 2015 besarnya indeks gini turun
menjadi 0,408 sesuai dengan target di APBN-P 2015.
Meningkatnya indeks gini ternyata diikuti dengan menurunnya tingkat
kemiskinan di tahun 2011. Hingga 2014, tingkat kemiskinan menurun
meskipun lambat penurunannya. Kondisi tersebut menunjukkan
pemerintah belum memfokuskan perhatiannya terhadap kesenjangan
pendapatan yang terjadi di masyarakat, meskipun beberapa program
kemiskinan telah dirasa berhasil menurunkan angka kemiskinan.
Kementerian PPN/Bappenas menyatakan bahwa salah satu langkah yang
ditempuh untuk menekan kesenjangan adalah mengalokasikan dana desa
yang tahun depan mencapai Rp46 triliun. Dana desa diharapkan dapat
memberikan efek pengurangan kemiskinan dan menciptakan lapangan
kerja untuk membangun infrastruktur dasar di pedesaan sehingga
konektivitas antar daerah semakin lebih baik yang nantinya berdampak
pada pengurangan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan.
Pemerintah juga memperbesar alokasi dana transfer ke daerah sekaligus
memperbaiki mekanisme penyerapan dana alokasi khusus (DAK) demi
menunjang dana desa. Pemerintah juga berupaya menggerakkan sektor
usaha masyarakat menengah ke bawah dengan memberikan subsidi
bunga kredit usaha rakyat (KUR) yang mencapai Rp10,5 triliun. bunga
pinjaman KUR tahun 2015 sebesar 12 persen pada tahun 2016 turun
hingga 9 persen. Perbaikan daya beli masyarakat miskin yang tergerus
inflasi bahan makanan akan didorong dengan pemberian beras untuk
masyarakat miskin (raskin) yang lebih besar sekaligus peningkatan
kualitas beras. Pemerintah juga mengalokasi dana Program Keluarga
Harapan (PKH) untuk 10 persen masyarakat termiskin dari jumlah orang
miskin yang ada di Indonesia.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635