Analisis APBN

Kebijakan dan Pengalihan Pengelolaan Subsidi Energi yang Tepat Sasaran / Maret 2016

Siklus: APBN-P

Sekilas:
Anggaran belanja subsidi energi pada 2015 mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari semula Rp341.810,4 miliar di 2014 menjadi Rp137.824,0 miliar di APBNP 2015, terutama karena penurunan anggaran subsidi BBM akibat perubahan kebijakan dan parameter subsidi. Anggaran belanja subsidi BBM jenis tertentu, LPG tabung 3 kg dan LGV mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari semula Rp239.994,1 miliar pada realisasi tahun 2014 menjadi Rp64.674,8 miliar dalam APBNP tahun 2015. Penurunan tersebut, terutama disebabkan oleh kebijakan penghapusan subsidi untuk BBM jenis premium dan kebijakan subsidi tetap untuk BBM jenis minyak solar sebesar Rp1.000/liter. Anggaran belanja subsidi listrik juga mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari semula Rp101.816,3 miliar pada realisasi tahun 2014 menjadi Rp73.149,2 miliar dalam APBNP tahun 2015. Penurunan anggaran subsidi listrik disebabkan berbagai kebijakan penghematan dan pengendalian subsidi listrik yang dilakukan oleh Pemerintah antara lain penyesuaian tarif tenaga listrik pada beberapa golongan pelanggan. Kebijakan pengalihan subsidi energi ke sektor lain yang lebih produktif, dimaksudkan untuk memperluas ruang fiskal yang dimiliki oleh pemerintah untuk mendukung berbagai program prioritas nasional. Kenaikan ruang fiskal pemerintah sebesar Rp211,3 triliun dari penghematan subsidi BBM pada APBNP tahun 2015 mendorong peningkatan sektor infrastruktur dari sebesar Rp178 triliun di tahun 2014 menjadi sebesar Rp312 triliun di tahun 2016, demikian pula alokasi anggaran kesehatan dari Rp68 triliun di tahun 2014 menjadi sebesar Rp102 triliun di tahun 2016. Anggaran pendidikan yang lebih bersifat mandatory spending juga meningkat. Di samping melakukan penajaman terhadap target subsidi energi, pemerintah perlu mempertimbangkan pula kompensasi kenaikan subsidi non energi yang sesungguhnya juga sangat diperlukan bagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kurang mampu.




Target Penerimaan Migas Harus Realistis / Maret 2016

Siklus: APBN-P

Sekilas:
Pendapatan negara terbesar setelah pajak adalah sektor migas. Sektor migas dalam kurun waktu 2010-2014 rata-rata memberikan kontribusi sebesar 21,61% terhadap pendapatan negara. Namun, kondisi perekonomian global tahun 2015 khususnya anjloknya harga minyak mentah dunia memberikan dampak negatif terhadap sektor migas. Dampak yang paling signifikan adalah ICP yang terus mengalami penurunan, hal ini mengakibatkan penerimaan dari sektor migas baik PNBP migas maupun PPh migas mengalami penurunan. Penurunan ICP ini melemahkan daya tarik investor di sektor migas karena tingginya resiko investasi di sektor migas. Sedangkan harga yang begitu murah. Kemudian kondisi sumur eksploitasi dan eksplorasi setiap tahun terus mengalami penurunan. Bahkan cadangan minyak dan gas semakin menipis. Pemerintah perlu upaya membuat regulasi untuk mengatasi kondisi tersebut, khususnya regulasi dalam sistem kontrak sangat mempengaruhi daya tarik investor. Dengan kondisi penurunan ICP saat ini, sistem kontrak yang relevan bagi investor yaitu Block basis. Sebaliknya, jika ICP sudah tinggi kembali berkisar 100 usd per barel dan relatif stabil, maka sistem yang relevan yaitu POD basis. Kemudian untuk mengurangi biaya dalam operasional, pemerintah perlu mendorong Fasilitas Sharing antar KKKS. Dengan meminimalisir biaya operasional akan membawa dampak positif terhadap penerimaan migas yaitu Cost recovery bisa diminimalisir. Selain itu, target penerimaan migas dalam APBN 2016 perlu direvisi dengan kondisi terkini, karena pada kuartal pertama 2016 deviasi target ICP sudah berkisar 15-20 usd per barel. Penulis mengestimasi target yang realistis untuk penerimaan migas 2016 yaitu sebesar Rp99,83 triliun dengan PNBP sebesar Rp62,16 triliun dan PPh sebesar Rp37,67 triliun. Artinya ada penurunan target sebesar Rp20,23 triliun dari target APBN 2016.




Anggaran Belanja Modal Infrastruktur: Jika Serapan Lambat, Infrastruktur Terhambat / Juli 2016

Siklus: Lapsem

Sekilas:
Rata-rata penyerapan anggaran sangat rendah di awal tahun. Di tahun 2016, realisasi belanja modal hingga semester I tahun 2016 baru terserap sebesar 22 persen atau setara dengan Rp44,38 triliun dari alokasi anggaran belanja modal yang ditetapkan dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp201,6 triliun. Belanja modal sendiri dalam perekonomian adalah sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan infrastruktur. Permasalahan yang kerap terjadi dalam proses penyerapan pelaksanaan anggaran belanja modal/infrastruktur seperti dalam proses perencanaan, pembebasan lahan, proses penerbitan Loan Agreement, keterbatasan kemampuan SDM dan proses perizinan akan berdampak pada melambatnya proses pembangunan infrastruktur. Untuk itu, perlu upaya pemerintah untuk memastikan perencanaan dan pembangunan harus sejalan antara Pemerintah Pusat dengan daerah, pembentukan badan khusus lintas sektoral bidang infarstruktur perlu dipertimbangkan untuk menjamin kelancaran koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur, mengoptimalisasi SDM, serta melakukan sosialisasi dan pendekatan sosial kultural kepada masyarakat mengenai rencana pembangunan infrastruktur. Dengan upaya tersebut diharapkan penyerapan anggaran akan menjadi lebih cepat sehingga belanja pemerintah dapat lebih berkualitas dan mempercepat akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi




Kinerja Penyerapan APBN / Juli 2016

Siklus: Lapsem

Sekilas:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapa dilihat sebagai suatu neraca yang memuat bagaimana penerimaan negara dikumpulkan dan bagaiman pengeluaran itu dialokasikan serta di distribusikan. Semenjak masa reformasi, Indonesia menerapkan kebijakan defisit anggaran. Dengan penerapan kebijakan defisit anggaran ini, diharapkan perekonomian nasional mengalami pertumbuhan secara signifikan. Namun selama sepuluh tahun terakhir, setiap akhir tahun anggaran selalu terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). SILPA ini terjadi karena realisasi belanja tidak mencapai target yang diharapkan. Selain itu sumber pembiayaan anggaran sebagian besar berasal dari hutang. Sehingga adanya SILPA di akhir tahun anggaran mengharuskan pemerintah untuk membayar bunga hutang di tahun anggaran berikutnya, namun dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan defisit anggaran tidak dapat tercapai secara maksimal. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan anggaran. Realisasi penerimaan negara memiliki kecenderungan stabil dan landai di awal tahun dan meningkat secara signifikan menjelang akhir tahun. Hal ini terjadi karena adanya usaha keras dari lembaga terkait untuk mencapai target penerimaan negara. Pola realisasi seperti ini dapat mengindikasikan kurangnya manajemen yang baik dalam mencapai target penerimaan negara, mengingat realisasi pada bulan tertentu lebih besar dari bulan yang lainnya saat ada instruksi dan/atau pengawasan khusus dari pejabat terkait. Target realisasi penerimaan negara di akhir tahun anggaran 2016 akan sangat bergantung pada keberhasilan tax amnesty. Hal ini dikarenakan kinerja penerimaan pajak yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini diperparah dengan penerimaan negara yang berasal dari PNBP yang juga berpotensi tidak tercapai di akhir tahun anggaran 2016. Hal ini dikarenakan masih rendahnya harga komoditas Gas dan Minyak Bumi, yang berakibat pada rendahnya penerimaan PNBP SDA Migas. Sedangkan realisasi belanja di akhir tahun 2016 diperkirakan bisa meningkat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya percepatan belanja khususnya belanja barang dan belanja modal. Tingginya realisasi belanja di awal tahun 2016 diharapkan dapat mengurangi penumpukan belanja di akhir tahun anggaran. Ketidakefisienan anggaran yang terjadi hampir disetiap tahun dapat diminimalisir dengan melakukan perencanaan yang lebih baik. Dalam proses perencanaan anggaran harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran dan kemampuan dalam melakukan realisasi program. Dengan menyusun anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, diharapkan deviasai anggaran dapat diminimalisir, sehingga anggaran yang disusun lebih efisien. APBN-P merupakan saran untuk menyesuaikan anggaran pada tahun anggaran berjalan dengan kemampuan merealisasikan anggaran. Namun masih besarnya deviasi yang terjadi di beberapa tahun terakhir mengindikasikan kurang efektifnya proses yang dilakukan dalam APBN-P.




Kemiskinan dan Disparitas Pendapatan: Masalah dan Tantangan / Mei 2016

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Salah satu masalah dalam perekonomian nasional adalah tidak meratanya distribusi pendapatan penduduk Indonesia. Hal tersebut tampak dari makin meningkatnya indeks gini Indonesia. Sebagaimana diketahui, indeks gini mengukur distribusi pendapatan suatu negara. Besarnya indeks gini antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Indeks gini sama dengan 0 (nol) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata sempurna, sementara indeks gini sama dengan 1 (satu) menunjukkan distribusi pendapatan sama sekali tidak merata. Indeks gini Indonesia dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2014 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 besarnya indeks gini adalah 0,35, maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 0,37, dan kembali meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2011, tahun 2014 meningkat sebesar 0,413. Sedangkan Desember tahun 2015 besarnya indeks gini turun menjadi 0,408 sesuai dengan target di APBN-P 2015. Meningkatnya indeks gini ternyata diikuti dengan menurunnya tingkat kemiskinan di tahun 2011. Hingga 2014, tingkat kemiskinan menurun meskipun lambat penurunannya. Kondisi tersebut menunjukkan pemerintah belum memfokuskan perhatiannya terhadap kesenjangan pendapatan yang terjadi di masyarakat, meskipun beberapa program kemiskinan telah dirasa berhasil menurunkan angka kemiskinan. Kementerian PPN/Bappenas menyatakan bahwa salah satu langkah yang ditempuh untuk menekan kesenjangan adalah mengalokasikan dana desa yang tahun depan mencapai Rp46 triliun. Dana desa diharapkan dapat memberikan efek pengurangan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja untuk membangun infrastruktur dasar di pedesaan sehingga konektivitas antar daerah semakin lebih baik yang nantinya berdampak pada pengurangan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan. Pemerintah juga memperbesar alokasi dana transfer ke daerah sekaligus memperbaiki mekanisme penyerapan dana alokasi khusus (DAK) demi menunjang dana desa. Pemerintah juga berupaya menggerakkan sektor usaha masyarakat menengah ke bawah dengan memberikan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) yang mencapai Rp10,5 triliun. bunga pinjaman KUR tahun 2015 sebesar 12 persen pada tahun 2016 turun hingga 9 persen. Perbaikan daya beli masyarakat miskin yang tergerus inflasi bahan makanan akan didorong dengan pemberian beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang lebih besar sekaligus peningkatan kualitas beras. Pemerintah juga mengalokasi dana Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 persen masyarakat termiskin dari jumlah orang miskin yang ada di Indonesia.




← Sebelumnya 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Selanjutnya →