Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo telah
menargetkan
pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 Megawatt dengan target
7.000 Megawatt
setiap tahunnya. Target ini merupakan salah satu unsur pendukung untuk
tercapainya
pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada tahun 2019. Saat ini
pemenuhan energi listrik
masih didominasi oleh energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi)
sebesar 94 persen dan
sisanya EBT (Panas Bumi, Air, Surya, Angin, Bioenergi, dan Laut) sebesar
6 persen.
Ketergantungan tersebut perlu segera dialihkan ke EBT, karena sumber
daya energi fosil akan
habis. Sedangkan EBT bersal dari bumi sendiri yang tidak akan habis
ketersediannya. Potensi
EBT masih sangat potensial yaitu sebesar 443.200 Megawatt. Namun
potensi tersebut baru
termanfaatkan sebesar 15,35 persen atau sebesar 8.211,28 Megawatt.
Dari beberapa jenis
sumber daya EBT, energi Panas Bumi merupakan sumber daya yang
stabil ketersediannya.
Sedangkan sumber lainnya cenderung tidak stabil ketersediannya. Namun
perkembangan Panas
Bumi masih lambat.
Faktor lambatnya perkembangan Panas Bumi dipicu oleh Levelized Cost of
Electricity (LCOE)
pengembangan energi masih tinggi dibandingkan dengan regulasi harga
beli listrik terbaru. Hal
ini membuat proyek pembangunan PLTP belum dapat maksimal untuk
tahap komersial. Selain
itu, regulasi pendukung pengembangan Panas Bumi masih belum optimal.
Regulasi yang
dimaksud yaitu izin pembebasan lahan, penetapan harga keekonomian
serta sebaran kapasitas
terpasang belum merata. Eksplorasi dan upaya pemanfaatan Panas Bumi
belakangan semakin
meningkat yang ditunjukkan oleh tren positif pada investasi Panas Bumi.
Perkembangan
investasi Panas Bumi di Indonesia sejak tahun 2011 – 2015 mengalami
peningkatan yang cukup
tinggi. Tercatat pada tahun 2011, investasi di sektor Panas B
umi mencapai 261 Juta USD dan terus meningkat hingga tahun 2015
mencapai 877 juta USD
atau mengalami peningkatan hingga 350 persen.
Pengembangan Panas Bumi masih mungkin dipercepat dengan berbagai
dukungan antara lain
yaitu pertama regulasi yang terintegrasi antara Pemerintah pusat dan
daerah serta regulasi
antara kementerian yang bisa saling bersinergi dalam mendukung
kegiatan eksplorasi
khususnya pembebasan lahan, sehingga Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP)
yang akan dilelang
sudah dalam kondisi “siap digunakan” (antara lain kepastian hukum
terkait dengan penggunaan
lahan yang jelas dan terukur). Kedua, kepastian pembelian pada saat
tender yang antara lain
tertuang dalam standar PPA dan diregulasi di dalam peraturan. Selain itu,
harga listrik PLTP
juga harus memenuhi keekonomian proyek dan ditetapkan oleh
Pemerintah (sliding scale Feedin
Tariff). Jika harga PLTP sepenuhnya diserahkan kepada PLN (business to
business) dengan
pengembang, maka kesepakatan harga keekonomian sulit ditemukan,
karena secara bisnis PLN
akan berusaha membeli dengan biaya pokok pembangkit yang paling
murah (PLTU). Ketiga,
Panas Bumi merupakan harapan masa depan bagi listrik Indonesia yang
masih sangat
membutuhkan intensif untuk percepatan realisasinya. Karena itu, Panas
Bumi saat ini
hendaknya diperlakukan sebagai pendorong roda perekonomian, bukan
dijadikan sumber
pendapatan terlebih dahulu.
Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Percepatan pembangunan daerah tertinggal (DT) merupakan perwujudan
dari dimensi pemerataan dan kewilayahan yang tersalin khusus pada
Nawacita ketiga, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Dengan memegang amanah Nawacita tersebut, dalam RPJMN 2015-2019,
terdapat tiga indikator utama yang menjadi sasaran dalam
mengembangkan daerah tertinggal, yaitu indikator pertumbuhan
ekonomi, persentase penurunan penduduk miskin, dan peningkatan IPM.
Pada tahun 2015, pencapaian ketiga indikator tersebut tidak
menggembirakan, masing-masing indikator realisasinya di bawah target
yang telah ditetapkan. Fenomena yang terjadi di lapangan terkait daerah
tertinggal adalah tingkat kemiskinan di daerah tertinggal (19,36 persen)
masih lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan nasional 11,66 persen
di tahun 2015. Dari data tahun 2014, juga ditemukan bahwa tingkat
pendapatan daerah tertinggal juga masih jauh ketinggalan yaitu Rp 5,5
juta dibandingkan tingkat pendapatan nasional sebesar Rp 41,8 juta.
Kondisi sebaliknya justru terjadi jika melihat data tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran daerah tertinggal (5,4 persen) justru lebih sedikit
jika dibandingkan tingkat pengangguran nasional (7,2 persen).
Upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal berfokus kepada
empat kegiatan prioritas. Apabila diurutkan maka kegiatan prioritas paling
utama ialah kegiatan pemenuhan pelayanan dasar publik, lalu
peningkatan aksesibilitas/konektifitas di daerah, pengembangan ekonomi
lokal, serta yang terakhir terkait peningkatan kapasitas sumber daya
manusia maupun IPTEK. Disebabkan karena adanya keterbatasan
anggaran, maka intervensi kegiatan terhadap lokus lokasi harus ditangani
secara bertahap agar memiliki dampak lebih signifikan. Besaran anggaran
yang diperuntukkan bagi daerah tertinggal sendiri tidaklah sedikit.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendes PDTT) sebagai kementerian teknis yang menjadi koordinator
dalam pembangunan daerah tertinggal memperoleh alokasi anggaran
agar bersinergi dan berkoordinasi dengan kementerian lainnya untuk
mensukseskan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain
belanja pemerintah pusat melalui belanja kementerian/lembaga, belanja
Transfer ke Daerah seperti Dana Alokasi Khusus dan Dana Desa juga
dialokasikan demi pembangunan daerah tertinggal.
Besarnya dana yang dialokasikan bagi daerah tertinggal serta strategi
yang matang dalam RPJMN 2015-2019 belum sepenuhnya menunjukkan
bahwa pembangunan daerah tertinggal merupakan fokus pemerintah
terbukti dari tidak tercapainya target dalam RPJMN 2015-2019 di tahun
2015. Pemerintah masih perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama
yang kompak antar kementerian/lembaga pemerintah pusat dan daerah.
Integrasi program kegiatan di tingkat pusat dan daerah juga diperlukan
karena pembangunan daerah tertinggal harus mempertimbangkan
keterkaitan dengan daerah lainnya serta dengan pusat pertumbuhan agar
pembangunan lebih efektif dan efisien serta tidak menciptakan
ketimpangan. Pengawasan baik dari pihak legislatif maupun eksekutif dan
pendampingan dalam pemanfaatan dana yang dialokasikan bagi daerah
tertinggal juga diperlukan demi efisiensi dan efektivitas pemanfaatan
sumber daya. Selain itu, diperlukan juga pembangunan kapasitas atau
pemberdayaan masyarakat desa/miskin yang kuat agar semua pihak
termasuk masyarakat miskin mampu menangkap peluang yang hadir
seiring dengan kehadiran infrastruktur yang memadai di daerahnya. Salah
satu upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kerjasama
dengan wirausaha sosial atau praktisi sosial lain melalui skema Public-
Social Partnership (PSP). PSP dapat diintegrasikan dalam dana desa
dengan penggeraknya adalah para wirausaha/praktisi sosial mengingat
merekalah yang lebih memahami kebutuhan lokal masing-masing daerah.
Siklus:
Pertanggungjawaban/P2APBN
Sekilas:
BPK RI telah memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian atas LKPP
2015. Hasil Pemeriksaan BPK RI memuat 14 permasalahan terkait
kelemahan Sistem Pengendalian Internal dan 8 temuan Kepatuhan
Terhadap Peraturan Perundang-Undangan. Jumlah Kementerian Lembaga
yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian sebanyak 56 KL,
sebanyak 26 KL memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian dan
sebanyak 4 KL Tidak Memberikan Pendapat. Permasalahan yang
mempengaruhi opini LKPP diantaranya: penerapan Standar Akuntansi
Pemerintah berbasis akrual belum didukung dengan kebijakan akuntansi
tepat, dan Piutang Pajak Macet, Piutang Bukan Pajak dan Koreksi
langsung mengurangi Ekuitas tidak didukung dokumen sumber yang
memadai dan tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar,
Persediaan belum dapat dijelaskan dengan memadai, pencatatan dan
penyajian catatan dan fisik Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak akurat.
Siklus:
Pertanggungjawaban/P2APBN
Sekilas:
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan atas
LKPP Tahun 2015 yang meliputi LKKL, LKBUN, dan Laporan Keuangan
Bagian Anggaran BUN (LK BABUN). LKPP Tahun 2015 merupakan LKPP
yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berbasis
akrual sesuai dengan Lampiran I Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada tahun
tersebut terdapat 85 KL yang menjadi obyek pemeriksaan BPK, dimana
56 diantaranya memeperoleh opini audit wajar tanpa pengecualian atas
laporan keuangannya, sedangkan sisanya memeperoleh opini wajar
dengan pengecualian (26 K/L) dan opini tidak memberikan pendapat (4
K/L). Selain audit atas laporan keuangan, BPK juga melakukan
pemantauan atas beberapa rekomendasi yang telah diberikan sejak tahun
2007 hingga 2014. Dari 218 rekomendasi tersebut, baru 61 rekomendasi
yang telah selesai ditindaklanjuti oleh Pemerintah.
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Pembentukan holding BUMN di beberapa sektor (sektor energi,
infrastruktur jalan tol,
pertambangan, perumahan, dan jasa keuangan) yang dicanangkan
Pemerintah saat
ini, merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan Pemerintah
dalam rangka
meningkatkan daya saing; efisiensi dan efektivitas usaha yang bermuara
pada
peningkatan kinerja perusahaan dan kesejahteraan karyawan; serta
memperkuat
kemampuan pendanaan (leverage). Sayangnya rencana pembentukan
holding
BUMN ini oleh Pemerintah masih belum dibuat rencana jangka panjang
atau cetak
biru pembentukan holding yang jelas, terutama dari sisi perundang-
undangan. Selain
itu kesiapan oleh manajemen, penentuan metode restrukturisasi yang
tepat, strategi
dari pengalaman holding BUMN yang pernah terbentuk, maupun studi
komparasi di
negara lain amat dibutuhkan agar perwujudan pembentukan holding
BUMN dapat
terbentuk sesuai dengan harapan, yang nantinya dapat mendukung
perekonomian
Indonesia dengan tetap menjaga kepentingan rakyat pada umumnya.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635