Analisis APBN

Jalan Berliku Menuju Pengembangan Energi Baru dan Tebarukan (EBT) yang Optimal / Maret 2017

Siklus: APBN-P

Sekilas:
Untuk mengatasi ancaman defisit energi di masa depan dan dampak lingkungan emisi, pengembangan energi baru dan terbarukan (renewable energy/EBT) di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Apalagi, potensi yang dimiliki oleh Indonesia ini sangat berlimpah. Sayangnya, dari sekian banyak potensi tersebut pemanfaatan EBT secara keseluruhan di Indonesia masih relatif kecil Sebenarnya Indonesia telah memiliki blueprint energy mix yang berfokus pada pengurangan penggunaan energi fosil sebagai energi nasional utama dan perlahan beralih ke EBT. Namun dilihat dari hasil capaian yang diperoleh, terlihat masih cukup jauh untuk mampu menggapai target yang telah ditetapkan tersebut. Banyak kebijakan yang telah dibuat pemerintah baik dalam segi regulasi, maupun Insentif demi menarik investor dalam mengembangan EBT, namun setelah dikeluarkannya Permen ES DM Nomor 12 Tahun 2017, pemerintah belum kembali memfasilitasi dengan insentif lainnya seperti pemberian bunga, pinjaman rendah, hingga pembebasan pajak untuk dana investasi. Dalam pengembangan EBT, masih dihadapkan pada kendala tantangan seperti biaya produksi energi terbarukan relatif lebih tinggi, skema bisnis dan insentif belum optimal, terbatasnya penyimpanan EBT, jenis pembangkit EBT masih berskala kecil, tersebar, dan sistem interkoneksi masih terbatas, perbedaan persepsi antara Pemerintah dan DPR mengenai terminologi subsidi, inovasi teknologi dan kapasitas sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi masih terbatas. Untuk itu diperlukan upaya dan terobosan serta dukungan dari semua pihak, sebagai modal dasar pembangunan untuk mengembangkan potensi EBT demi keberlangsungan energi kedepannya.




Belanja Modal Infrastruktur: Serapan dan Permasalahan / Juli 2017

Siklus: Lapsem

Sekilas:
Rata-rata penyerapan anggaran masih tergolong rendah di awal tahun dan cenderung menumpuk pada akhir tahun. Tercatat di tahun 2017, realisasi belanja modal hingga semester I tahun 2017 baru terserap sebesar Rp47,48 triliun atau setara dengan 23,7 persen dari alokasi anggaran belanja modal yang ditetapkan dalam APBN tahun 2017 sebesar Rp200,3 triliun. Kementerian PUPR yang mendapatkan alokasi belanja modal terbesar pun, hanya mampu menyerap Rp23,32 triliun atau setara 29,49 persen dari pagu yang ditetapkan sebesar Rp79,09 triliun. Padahal belanja modal sendiri dalam perekonomian adalah sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan infrastruktur. Permasalahan yang kerap terjadi dalam proses penyerapan pelaksanaan anggaran belanja modal/infrastruktur seperti dalam proses perencanaan, pembebasan lahan, proses penerbitan Loan Agreement, keterbatasan kemampuan SDM dan proses perizinan akan berdampak pada melambatnya proses pembangunan infrastruktur. Untuk itu, perlu upaya pemerintah dalam memastikan perencanaan dan pembangunan harus sejalan antara Pemerintah Pusat dengan daerah, pembentukan badan khusus lintas sektoral bidang infrastruktur perlu dipertimbangkan untuk menjamin kelancaran koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur, mengoptimalisasi SDM, serta melakukan sosialisasi dan pendekatan sosial kultural kepada masyarakat mengenai rencana pembangunan infrastruktur. Dengan upaya tersebut diharapkan penyerapan anggaran akan menjadi lebih cepat dan terserap secara proporsional sehingga belanja pemerintah dapat lebih berkualitas dan mempercepat akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi




Perkembangan Kondisi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Indonesia Semester I / Juli 2017

Siklus: Lapsem

Sekilas:
Perbaikan perekonomian global pada semester I 2017 masih belum cukup untuk mengembalikan kondisi perekonomian menjadi lebih tinggi lagi pertumbuhannya. Kondisi ini juga masih rentan terjadi pelemahan karena masih terdapat beberapa kawasan yang bersitegang sehingga akan mempengaruhi makro ekonomi dunia. Membaiknya perekonomian di Amerika Serikat, kawasan Eropa, Tiongkok, dan Jepang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat di sisi lain akan mempengaruhi penguatan USD terhadap mata uang lain termasuk Rupiah. Apabila apresiasi USD terus terjadi dan semakin tinggi nilainya akan berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah. Selain itu, inflasi juga akan meningkat, terutama untuk produk yang menggunakan bahan pokok impor yang berdenominasi USD. Peningkatan harga bahan baku otomatis akan berpengaruh pada peningkatan harga jual barang tersebut di dalam negeri. Hal ini akan menyebabkan inflasi akan meningkat. Perbaikan kondisi perekonomian Amerikat Serikat juga akan berpengaruh pada capital outflow yang terjadi di Indonesia terutama dari pasar finansial. Investor akan lebih memilih berinvestasi di Amerika Serikat meskipun di Indonesia memiliki nilai riil keuntungan yang lebih tinggi sedikit. Hal yang menjadi pertimbangan para investor tersebut adalah mata uang USD akan cenderung menguat, sedangkan Rupiah masih masuk kategori soft currency yang memiliki kecenderungan melemah. Dari sisi ICP, masih dipengaruhi oleh harga komoditi global. Selama belum ada perbaikan mengenai pembatasan kuota minyak OPEC terhadap negara anggotanya serta kesepakatan OPEC dengan negara di luar anggotanya, maka kecenderungan over supply masih akan terus berlangsung. Hal ini tentu akan mempengaruhi harga ICP menjadi menurun. Harga minyak dunia yang masih rendah berpengaruh pada produksi minyak dalam negeri. Semakin rendah harga jual, maka perusahaan minyak cenderung membatasi produksinya karena antara harga jual dan biaya produksi tidak sebanding. Begitu pula yang terjadi pada Lifting gas bumi. Pemerintah dituntut untuk terus berinovasi di dalam menentukan kebijakan yang mampu membangun iklim investasi dalam negeri lebih kondusif. Dari peraturan perundang-undangan, penegakkan hukumnya, hingga kemudahan lain sehingga mampu menarik investor asing maupun dalam negeri meningkatkan investasinya. Selain itu, koordinasi antar pihak yang berwenang untuk menjaga kestabilan ekonomi maupun politik juga harus lebih ditingkatkan, sehingga mampu memberikan kepastian bisnis di dalam negeri.




Harga Pangan Terjangkau, Ketahanan Pangan Aman / Mei 2017

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Kesinambungan dan sinergitas berbagai kebijakan ketahanan pangan tentunya sangat diperlukan untuk menjamin kemudahan akses masyarakat terhadap bahan pangan, bukan hanya dari sisi ketersediaannya namun juga dari sisi keterjangkauan harga pangan. Keterjangkauan pangan berkaitan erat dengan harga pangan. Harga pangan yang terlalu tinggi akan menyulitkan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizinya. Harga pangan yang tidak terjangkau dipengaruhi oleh berbagai faktor, beberapa di antaranya adalah kurangnya produktivitas pangan dan panjangnya rantai distribusi pangan. Produksi pangan sulit ditingkatkan akibat banyaknya konversi lahan pertanian, alat pertanian masih tradisional, dan rusaknya jaringan irigasi. Selain itu, rantai distribusi pangan dari petani ke konsumen masih terlalu panjang, akibatnya harga yang ada di pasaran menjadi tinggi dan tidak berdaya saing. Kurangnya produksi pangan domestik mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan impor pangan demi mencukupi kebutuhan pangan. Padahal, impor pangan sangat bergantung pada fluktuasi harga pangan global dan akhirnya akan mempengaruhi harga pangan domestik. Selain itu, impor pangan juga merupakan ancaman untuk produk pangan dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa harga pangan domestik lebih mahal dari harga pangan global. Jika impor terus dilakukan, dalam jangka panjang Indonesia akan sulit terlepas dari ketergantungan impor. Beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga keterjangkauan harga pangan adalah dengan meningkatkan produktivitas pangan dan memotong rantai pasok pangan. Peningkatan produktivitas pangan dapat dilakukan antara lain efektivitas dan efisiensi implementasi redistribusi lahan, modernisasi mesin penggilingan dan alat pertanian lain, peningkatan kualitas konstruksi jaringan irigasi. Rantai pasok pangan dapat dipangkas dengan cara mengoptimalkan Toko Tani Indonesia (TTI) dan pembentukan BUMDes. BUMDes dapat dimanfaatkan untuk menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. Dengan adanya BUMDes diharapkan masyarakat desa bisa memajukan desanya masing-masing. Dari desa untuk desa.




Peningkatan Daya Saing Indonesia Melalui Perbaikan Iklim Investasi / Mei 2017

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018 yang diangkat ialah “memacu investasi dan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan”. Tema ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam meningkatkan investasi di Indonesia. Sesuai RPJMN 2015-2019, target investasi pada tahun 2018 sebesar Rp863 triliun dengan tingkat pertumbuhan 27,1 persen. Keseriusan Pemerintah dalam meningkatkan investasi juga terlihat dari dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi, diantaranya berisi deregulasi, debirokratisasi serta penegakan hukum dan kepastian usaha dan pengurusan izin investasi 3 jam. Tindak lanjut dari paket kebijakan ini ialah dibentuknya kelompok kerja (pokja) untuk mempercepat pelaksanaan paket kebijakan serta dilaksanakan reformasi pelayanan oleh BKPM dengan membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Namun pelaksanaan berbagai program kemudahan investasi belum menghasilkan prestasi yang baik dilihat dari indikator daya saing oleh World Economic Forum, logistic performance index dan Ease of Doing Business (EoDB) index. Dimana daya saing Indonesia mengalami penurunan. Berdasarkan laporan Bank Dunia dalam Logistic Performance Index and Its Indicators, Indonesia menduduki peringkat 63 dari 160 negara dari periode sebelumnya di posisi 53. Begitu juga daya saing Indonesia pada periode 2016-2017 turun menjadi 41 dari sebelumnya 37. Selain itu Indeks Tendensi Bisnis (ITB) juga mengalami penurunan sepanjang tahun 2016 hingga triwulan 1 2017. Sementara itu, KADIN menyampaikan bahwa pengusaha saat ini masih mengeluhkan bahwa perbaikan regulasi prinsip yang telah diberlakukan di BKPM dan tracking terhadap proses perizinan, dikembalikan kepada Kementerian sektor terkait. Sementara itu, Kementerian/Lembaga dari sektor terkait belum melakukan harmonisasi kebijakan atau dengan kata lain, BKPM baru sebatas reminder. Selain itu, layanan yang diberikan melalui Kemudahan Investasi Langsung Konstruksi (KLIK) yang merupakan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum berjalan baik karena kenyataannya komitmen pemerintah daerah di masing-masing daerah belum sejalan. Adapun permasalahan lain yang menghambat investasi diantaranya regulasi yang tumpang tindih, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum disahkan, lamanya penerbitan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), rendahnya kualitas tenaga kerja terampil dan jumlah wirausaha, serta pembatasan tarif tenaga listrik yang kurang menguntungkan investor. Rekomendasi dalam hambatan investasi ini ialah perlunya penerapan tata kelola pemerintah yang baik di pusat dan daerah, harmonisasi regulasi yang tumpang tindih dan diperlukan kebijakan pro investasi, reformasi pelayanan di tingkat pusat dan daerah melalui peningkatan kualitas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan penyediaan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan.




Thomas.L - Sel, 07 Nopember 2017 at 16:26
Mohon dijelaskan bagaimana penerapan perbaikan iklim investasi di Luar Negeri. Bagaimana peran paket kebijakan ekonomi dalam perbaikan iklim investasi?

← Sebelumnya 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Selanjutnya →