Sekilas:
Tahun 2020 menjadi tahun pertama
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,
sekaligus menjadi RPJM tahapan terakhir
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(2005-2025). Meskipun klaim pemerintah
terhadap beberapa indikator kesejahteraan
rakyat mengalami perbaikan sebagai hasil
dari RPJM sebelumnya, kinerja APBN di
tahun 2020 dihadapkan pada berbagai
tantangan untuk dapat tumbuh lebih baik
dari tahun-tahun sebelumnya. Gaung
perlambatan dan ketidakpastian ekonomi
global masih membayangi perekonomian
domestik. Di sisi lain, peningkatan daya saing
ekonomi menjadi salah satu isu penting untuk
dapat meminimalisir dampak perlambatan
ekonomi global. Berbagai insentif perpajakan
yang ditujukan bagi dunia usaha dan stimulus
belanja untuk meningkatkan daya beli
masyarakat pada akhirnya bermuara pada
upaya pemerintah untuk mengelola kualitas
belanja negara dengan lebih baik.
Sekilas:
BI mencatat aliran modal asing melalui investasi langsung yang
masuk ke Indonesia pada periode 2014-2019 sebesar USD106,945
juta. Dengan nilai transaksi berjalan yang selalu tercatat negatif
maka Penanaman Modal Asing (PMA) berperan penting dalam
menjaga nilai NPI agar tetap surplus. Pertumbuhan realisasi PMA
cenderung fluktuatif pada periode 2014-2019 dengan adanya
lonjakan yang terjadi di tahun 2017. Di tahun 2020 ini, berbagai
negara dihantam pandemi Covid-19 yang sangat memukul
perekonomian global dan mengancam resesi di beberapa
negara, seperti RR Tiongkok, Singapura dan Jepang. Dimana
ketiga negara tersebut merupakan investor terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu Indonesia perlu memperkuat hubungan investasi
dengan beberapa negara lainnya. Adapun beberapa negara
potensial yang memiliki ketahanan ekonomi yang kuat saat ini
dan telah menjalin hubungan investasi dengan Indonesia yaitu
Belanda, British Virginia Islands, Australia dan Korea Selatan.
Dalam menarik minat investor tentunya ada beberapa hal yang
perlu dibenahi seperti perijinan, kepastian hukum dan stabilitas
politik dan keamanan. Dengan segera diberlakukannya UU
Omnibuslaw Cipta Karya dan Perpajakan dapat memberikan
angin segar untuk kemudahan berinvestasi di Indonesia.
Sekilas:
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(TKDD) telah menjadi salah satu
instrumen pendanaan bagi programprogram percepatan pembangunan
dan
pencapaian sasaran prioritas nasional
yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Anggaran TKDD selama tahun 2015-
2019 cenderung meningkat dengan ratarata pertumbuhan mencapai 6,9
persen
per tahun. Peningkatan TKDD dalam
beberapa tahun terakhir mampu
memperbaiki tingkat kesenjangan yang
masih relatif tinggi. Pada tahun 2015,
rasio gini mencapai 0,402 turun menjadi
0,380 pada tahun 2019 serta Indeks
Williamson kesenjangan fiskal antar
daerah pada tahun 2015 sebesar 0,726
turun menjadi 0,597 pada tahun 2018
(BPS, 2019, 2020).
Secara umum, TKDD diarahkan
untuk mendukung perbaikan kualitas
layanan dasar publik di daerah,
akselerasi daya saing, dan mendorong
belanja produktif yang dapat
meningkatkan aset daerah. Pengelolaan
TKDD pada tahun 2020 memiliki
beberapa tantangan dalam upaya
peningkatan kualitas desentralisasi
fiskal, antara lain pemenuhan
pelaksanaan mandatory spending oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) yang belum
optimal dan peningkatan alokasi TKKD
setiap tahun yang belum diikuti upaya
perbaikan pengelolaan TKDD oleh
Pemda (Kemenkeu 2019).
Tantangan lainnya datang dari
terjadinya pandemi wabah Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) yang
memberikan dampak perekonomian
secara drastis dalam waktu yang cepat di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Dana
TKDD yang termasuk dalam komponen
APBN turut merasakan penyesuaian
anggaran dan difokuskan untuk
penanganan COVID-19. Hal tersebut
akan berdampak pada perubahan postur
anggaran TKDD.
Sekilas:
Dalam APBN 2020, Pemerintah bersama
DPR RI menetapkan asumsi pertumbuhan
ekonomi sebesar 5,3 persen, inflasi 3,1
persen, suku bunga SPN 3 bulan 5,4 persen,
nilai tukar rupiah Rp14.400/USD, ICP 63
USD per barel, lifting minyak 755 ribu barel
per hari, dan lifting gas 1.191 ribu rabel
setara minyak per hari. Penetapan asumsiasumsi tersebut ditetapkan
berdasarkan
proyeksi dan perkembangan capaian ekonomi
domestik dan global di 2019 dan 2020,
sebelum terjadinya pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19).
Saat ini, terdapat lebih dari 200 negara yang terpapar dan terdampak
virus Covid-19. Akibatnya, perekonomian global
mendapat tekanan yang sangat besar, bahkan saat ini (hingga artikel ini
dirilis) sudah berada di ambang resesi, tak
terkecuali Indonesia. Lantas, bagaimana dengan asumsi makroekonomi
yang sudah ditetapkan tersebut di sepanjang
2020?. Tulisan ini akan mencoba mengulas hal tersebut.
Sekilas:
Di awal 2020, dunia dikejutkan dengan
ditemukannya virus baru yang disebut
Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19.
Kasus pertama ditemukan di Provinsi Hubei,
Tiongkok. Pada saat virus masih hanya
terkonsentrasi di daratan Tiongkok, ekonomi
dunia sudah dihadapkan pada meningkatnya
ketidakpastian ekonomi global, mengingat
kontribusi Tiongkok saat ini sebesar 12,81
persen pada rantai pasokan barang dunia.
Saat ini, Covid-19 telah menyebar di lebih 200
negara. Penyebaran Covid-19 di luar daratan
Tiongkok tersebut menciptakan ketidakpastian ekonomi global yang
makin membuncah, akibatnya ekonomi global sudah
di ambang resesi.
Terganggunya rantai pasok global, permintaan dunia yang terkoreksi ke
bawah, tertekannya nilai tukar di berbagai
negara serta melemahnya keyakinan pelaku global merupakan dampak
luar biasa yang disebabkan oleh penyebaran
virus ini. Alhasil, beberapa lembaga megoreksi tajam pertumbuhan
ekonomi dunia 2020. The Economist Intelligence Unit
(EIU) memperoyeksi pertumbuhan dunia 2020 terkontraksi tajam sebesar
minus 2,2 persen, dikoreksi sangat tajam
dibandingkan proyeksi sebelum pandemi sebesar 2,3 persen2. Senada
dengan EIU, International Monetary Fund (IMF)
juga memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2020 akan terkontraksi
tajam hingga minus 3 persen, jauh dari angka
proyeksi sebelumnya yang mencapai 3 persen3
.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang terkontraksi tajam tersebut, juga akan
memberikan tekanan yang luar biasa bagi
perekonomian Indonesia. The Economist Intelligence Unit memprediksi
ekonomi Indonesia 2020 hanya mampu bertumbuh
1 persen dan Asian Development Bank memprediksi sebesar 2,5 persen.
Sedangkan Bank Dunia memprediksi ekonomi
Indonesia dapat mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni minus 3,5
persen hingga 2,1 persen. Relatif sama dengan
Bank Dunia, pemerintah juga memprediksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia 2020 dengan skenario terburuk dapat
mencapai minus 0,4 persen dan skenario optimis mencapai 2,3 persen .
Skenario optimis tersebut dapat terwujud dengan
harapan titik puncak efek pandemi Covid-19 ini berakhir di kuartal kedua,
dan ekonomi pada kuartal ketiga sudah mulai
recovery hingga kuartal keempat. Artinya, proyeksi optimis tersebut
sangat bergantung pada titik puncak pandemi Covid-
19. Kinerja perekonomian nasional yang diprediksi terkontraksi tajam di
sepanjang 2020, akan berimbas pada turunnya
penerimaan negara yang sangat signifikan juga.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635