Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Indonesia berada diambang bonus demografi, namun di tengah kondisi
pandemi ini justru memperparah
kondisi ketenagakerjaan yang sudah hadir sejak lama. Sebelum pandemi
kualitas tenaga kerja Indonesia
dapat dibilang lemah karena dari jumlah angkatan kerja di Indonesia
pada Februari 2020 yang mencapai
137,91 juta orang, jumlah penduduk yang bekerja hanya sebanyak
131,03 juta orang. Struktur angkatan
kerja tersebut masih didominasi oleh masyarakat berpendidikan rendah
(SD ke bawah) yang menyebabkan
value/nilai mereka di mata industri pun lemah. Selain itu, jumlah
pengangguran terbuka pada Februari 2020
meskipun menurun dari periode sebelumnya yaitu mencapai 6,88 juta
orang, namun dari jumlah
pengangguran tersebut, lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) justru
menyumbang angka
pengangguran terbesar yakni 8,49 persen, disusul lulusan SMA sebesar
6,77 persen, diploma 6,76 persen,
universitas/perguruan tinggi sebesar 5,73 persen, SMP sebesar 5,02
persen, dan SD 2,98 persen.
Kemudian ketika Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi dan physical
distancing menjadi upaya
pencegahan penularannya, dunia usaha mengalami guncangan berat
yang mengakibatkan sebanyak
2.146.667 pekerja terdampak Covid-19 dengan rincian: 383.645 pekerja
di-PHK; 1.132.117 pekerja
dirumahkan; dan 630.905 pekerja informal kehilangan
pekerjaan/bangkrut. Sementara itu, hingga 22 April
2020 34.179 calon pekerja migran Indonesia gagal berangkat dan 465
peserta pemagangan dipulangkan.
Pemerintah dalam menyikapi hal ini, berupaya agar kondisi ekonomi
rakyat tidak terpuruk dengan
memberikan kebijakan tahun 2020 berupa: 1) stimulus ekonomi bagi
pelaku usaha terutama bagi
perusahaan yang berkomitmen tidak melakukan PHK bagi karyawannya
untuk mencegah meluasnya PHK
dan; 2) program yang meringankan 56 juta pekerja sektor formal
diantaranya insentif pajak, relaksasi
pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan, dan relaksasi pembayaran
pinjaman/kredit; 3) jaring pengaman
sosial pekerja sektor informal berupa bantuan sosial bagi pekerja informal
yang masuk kategori miskin dan
rentan miskin; 4) prioritas Kartu Pra Kerja bagi korban PHK; 5) masifikasi
program padat karya tunai melalui
program-program kementerian seperti Kementerian Desa PDTT,
Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), Kementerian BUMN dan kementerian
lainnya; dan 6) perlindungan
bagi pekerja migran baik yang sudah kembali ke Indonesia maupun yang
masih berada di luar negeri
melalui program seperti pengiriman paket sembako bagi pekerja migran
di Malaysia. Kebijakan tersebut
masih menjadi langkah utama di tahun 2021.
Demi menyongsong bonus demografi dan pemulihan ekonomi ke depan
pemerintah perlu juga melakukan
pemetaan di beberapa aspek ketenagakerjaan untuk memberikan
gambaran atas kondisi ketenagakerjaan
yang baru pasca pandemi Covid-19. Pemetaan tersebut antara lain:
pemetaan industri dan tenaga kerja
yang terdampak Covid-19; pemetaan jenis pekerjaan yang hilang dan
baru muncul akibat dinamika yang
terjadi selama pandemi; pemetaan peluang digitalisasi usaha untuk
perluasan kesempatan kerja; pemetaan
sektor industri prioritas pasca Covid-19. Selain pemetaan untuk
perencanaan ketenagakerjaan ke depan,
dengan adanya peluang digitalisasi di dalam pelatihan vokasi sehingga
mampu menghasilkan tenaga kerja
yang berpengetahuan dan terampil dalam waktu singkat dan masif jika
dimanfaatkan dengan baik dan
benar. Tentunya pelaksanaan pemetaan dan pelatihan vokasi di atas
memerlukan kolaborasi antara
pemerintah dengan berbagai pihak. Koordinasi antar kementerian
lembaga menjadi penting dalam
memastikan bahwa tenaga kerja yang hadir saat ini merupakan tenaga
kerja yang berkualitas terampil dan
kompeten.
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Pandemic Covid-19 di tahun 2020, telah mengancam berbagai kinerja
indicator
kesejahteraan rakyat yang pada awal tahun 2020 mencatat kinerja yang
baik. Dalam
periode tahun 2015-2019, Tingkat kemiskinan mencapai 9,22 pada
September 2019,
menurun dari 11,13 persen pada September 2015. Artinya dalam kurun
waktu yang sama
pemerintah telah mengentaskan 3,7 juta orang (atau 1,91 persen) dari
kemiskinan dari
28,5 juta (2015) menjadi 24,8 juta (2019). Angka gini rasio yang
menggambarkan tingkat
ketimpangan dan memiliki hubungan erat dengan tingkat kemiskinan juga
menunjukkan
trend penurunan yang positif. Rasio gini dalam periode 2015-2019
mengalami perbaikan
yaitu dari 0,402 di September 2015 menjadi 0,380 di September 2019
atau menurun
sebesar 0,022 basis poin. Hal yang sama juga terjadi pada Indeks
Pembangunan Manusia
(IPM) yang telah mengalami peningkatan dari 70,18 di tahun 2016
menjadi 71,92 di
tahun 2019. Posisi ini mengantarkan Indonesia masuk sebagai negara
dengan kategori
IPM tinggi. Ketiga komponen penyusun IPM mengalami kenaikan yaitu,
pertama,
pengeluaran per kapita penduduk telah meningkat dari Rp10,42 juta di
tahun 2016
menjadi Rp11,3 juta di tahun 2019. Kedua, umur harapan hidup (UHH)
saat lahir telah
meningkat dari 70,90 tahun di tahun 2016 menjadi 71,34 tahun di tahun
2019. Selain itu,
di periode yang sama, harapan lama sekolah (HLS) telah meningkat dari
12,72 tahun di
tahun 2016 menjadi 12,95 tahun di tahun 2019.1
Perbaikan indikator kesejahteraan rakyat tersebut tidak lepas dari
berbagai
program perlindungan sosial yang telah diluncurkan pemerintah selama
ini. Berkaca
pada krisis ekonomi 1998, pemerintah juga memperluas dan
memperkenalkan berbagai
program perlindungan social untuk mengatasi dampak pandemic covid-
19. Urgensi data
terpadu kesejahteraan rakyat yang terverifikasi dan valid menjadi
kebutuhan utama
dalam menghadapi kondisi darurat ini.
Di tahun 2021, pemerintah akan melaksanakan Reformasi Perlindungan
Sosial
melalui 1) transformasi data menuju registrasi social dan memperluas
cakupan DTKS
kepada 60 penduduk Indonesia; 2) transformasi digitalisasi penyaluran
bantuan; 3)
integrase program bansos yang memiliki karakterisktik yang sama; 4)
mendorong JPS
sebagai komponen automatic stabilizer kebijakan stimulus dalam
menghadapi gejolak
ekonomi; dan 5) mendorong efektifitas program Jaminan Sosial.
Sebagai bagian dari upaya mendorong pemerintah untuk memberikan
perlindungan sosial secara menyeluruh, tulisan ini berupaya memberi
catatan penting
atas berbagai tahapan reformasi perlindungan sosial tersebut, serta
memberikan
rekomendasi dalam mendukung efektifitasnya.
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengharapkan
pemerintah daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam
keuangan daerah. Namun seiring dengan diterapkannya Kebijakan
otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 dan
kebijakan desentralisasi fiskal sejak 2004, kemandirian daerah belum
dapat terwujud sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya
derajat desentralisasi fiskal pemerintahan kabupaten/kota di Indonesia.
Hasil analisis yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota,
diperoleh bahwa rata-rata proporsi PAD terhadap total penerimaan
daerah pada tahun 2018 sebesar 11,81 persen. Jika dilihat dari rasio
pola hubungan dan tingkat kemampuan/ kemandirian suatu daerah,
maka dapat diartikan bahwa pemerintah kabupaten/ kota di Indonesia
memiliki pola hubungan yang instruktif. Hal ini dapat dikatakan bahwa
pemerintah daerah lebih banyak mendapatkan pengarahan dan
petunjuk dari pemerintah pusat, sehingga tingkat kemandiriannya
sangat kurang. Tingginya tingkat ketergantungan kepada pemerintah
pusat dapat mengindikasikan ketidakmampuan daerah dalam
melaksanakan urusan otonominya.
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2021, pemerintah berencana
mendorong pemerintah daerah dapat melakukan terobosan dalam
mencari sumber pembiayaan yang di luar APBN/APBD melalui
pemanfaatan pembiayaan kreatif. Selain itu, pembangunan
infrastruktur di daerah diharapkan juga bisa dilakukan melalui
mekanisme kerja sama antar daerah, serta dukungan TKDD untuk
pelaksanaan pembiayaan kreatif melalui skema pembiayaan
terintegrasi. Dengan skema tersebut, pembiayaan kreatif diharapkan
dapat menjadi solusi akan keterbatasan APBD. Kebijakan ini
merupakan salah satu poin dalam arah kebijakan TKDD di tahun 2021
dalam rangka mendukung “Percepatan Pemulihan Ekonomi dan
Penguatan Reformasi”.
Tulisan ini akan membahas kemandirian daerah kemandirian
daerah serta pembiayaan kreatif secara menyeluruh berserta tantangan
yang dihadapi daerah. Selanjutnya tulisan ini juga akan meberikan
catatan berupa rekomendasi apa saja yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah melalui
pembiayaan kreatif
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Realisasi investasi pada triwulan II 2020 yaitu sebesar Rp191,9 triliun,
mengalami
penurunan sebesar 8,9 persen dari triwulan I 2020 (Rp210,7 triliun) atau
turun 4,3
persen dari triwulan II 2019 (Rp200,5 triliun). Penurunan ini merupakan
tekanan yang
berat sebagai akibat adanya pandemi Covid-19. Dalam menarik minat dan
mempermudah peluang masuknya investasi serta mengurangi
kekhawatiran dari
rendahnya tingkat kepercayaan investor terhadap Indonesia akibat
pandemi. Untuk
itu perbaikan kemudahan berusaha menjadi awalan yang baik untuk
perbaikan usaha
dan investasi tersebut. Iklim investasi yang baik diyakini dapat terjadi
ketika kepastian
dan kemudahan berusaha terwujud sebagai bagian dari upaya penciptaan
iklim usaha
yang kondusif.
Namun, dalam pelaksanaannya permasalahan atas kondisi kemudahan
berusaha di
Indonesia kerap menyelimuti dan menjadi penghambat peningkatan
investasi di
daerah terlebih di tengah adanya pandemi dan sebagai upaya pemulihan
ekonomi
daerah kedepan. Dimana beberapa permasalahan tersebut antara lain,
regulasi yang
belum sepenuhnya mendukung, belum memadainya SDM yang kompeten
maupun
sarana dan prasarana yang berkualitas untuk pelayanan perizinan
investasi dan bisnis,
serta belum termanfaatkan dengan optimal standarisasi pelayanan
perizinan yang
terintegrasi melalui Online Single Submission (OSS) system.
Untuk itu ke depan peran serta dari berbagai stakeholder terkait sangat
diperlukan.
Penguatan transfer ke daerah dari pemerintah pusat sangat penting
mengingat
sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan investasi daerah untuk
proses
pemulihan ekonomi. Pemerintah daerah yang merupakan salah satu kunci
pelaksanaan kemudahan berusaha untuk mendorong investasi dan
perekonomian
daerah pun perlu meningkatkan kesiapan dan kemampuannya dalam
menciptakan
iklim yang kondusif dan pelayanan pendukung dalam investasi di daerah
Siklus:
Pembicaraan Pendahuluan
Sekilas:
Optimisme peningkatan ekonomi global di
tahun 2020 berubah setelah mewabahnya
corona virus disease- 19 (Covid-19) sejak
awal tahun ini. Dalam kurun waktu 5 bulan,
secara global penderita Covid-19 sudah
mencapai lebih dari 5.400.000 jiwa dengan
total meninggal melebihi 340.000 jiwa.
Episentrum persebaran Covid-19 yang
awalnya di Tiongkok bergeser ke Amerika
Serikat dan Eropa. Adapun 10 negara yang
saat ini mengalami kasus terbesar yaitu
Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Spanyol,
Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Turki, dan
Iran. Amerika Serikat kini mengalami
kondisi terparah akibat Covid-19 ini dimana
kasus yang positif sudah mencapai lebih dari
1.600.000 jiwa atau 30 persen kasus Covid-19
secara global. Sementara itu, Tiongkok kini
mulai memulih dan posisinya turun ke posisi
14. [Worldmeter, Data Per 24 Mei 2020]
Hingga memasuki kuartal II Tahun 2020,
kondisi global semakin diselimuti
ketidakpastian. IMF menyatakan bahwa saat
ini dunia mengalami krisis yang tidak biasa,
belum pernah dalam sejarah IMF
menyaksikan perekonomian global
mengalami stagnansi seperti ini (WEF, 2020).
Stagnansi tersebut tercermin pada Global
Purchasing Managers Index (PMI) yang
tercatat sangat rendah di bulan April 2020 ini
dibawah 40 (Gambar 1). Hal ini menunjukkan
pesimisnya pelaku bisnis terhadap prospek
ekonomi, yang menandakan berbagai sektor
ekonomi mengalami kontraksi.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635