Analisis APBN

Tantangan Transformasi Subsidi Energi / Juli 2021

Siklus: Lapsem

Sekilas:
Pelaksanaan reformasi subsidi energi berdasarkan permasalahan saat ini, diantaranya analisis data Susenas 2019 yang mengindikasikan subsidi non-targeted menimbulkan kebocoran manfaat karena kedua bentuk subsidi tersebut banyak dinikmati oleh masyarakat mampu (inclusion error). Berdasarkan evaluasi terhadap outcome subsidi energi menunjukkan bahwa subsidi energi saat ini tidak tepat sasaran sehingga belum efektif berkontribusi dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan. Karena faktor yang memengaruhi alokasi subsdi energi di Indonesia berupa faktor yang volatile-nya cukup tinggi dan di luar kendali pemerintah, diantaranya harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP), nilai tukar Rupiah, dan harga komoditi batubara. Selain itu, sejak tahun 2016, Pemerintah belum melakukan adjustment terhadap harga sehingga meningkatkan kewajiban kompensasi apabila harga keekonomian naik. Transformasi subsidi energi tahun 2022 akan menggunakan sistem basis orang yang termasuk ke dalam 40 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan terbawah. Data tersebut akan terintegrasi dengan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang juga digunakan sebagai basis data program perlinsos. Adapun upaya retargeting sasaran penerima manfaat yang nantinya akan diberikan berdasarkan status sosio-ekonomi dan status pekerjaan masyarakat. Status sosio- ekonomi dimana masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah dengan batasan pendapatan tersebut. Sedangkan berdasarkan status pekerjaan, subsidi energi, khususnya bahan bakar gas (Liquefied Petrloeum Gas/LPG) tabung 3 Kg ditargetkan untuk usaha mikro, petani kecil, dan nelayan kecil namun hanya yang tergolong dalam status sosio-ekonomi. Selain melalui retargeting, jenis transaksi untuk penyalurannya, khususnya untuk pembelian LPG akan dilakukan dengan skema nontunai dengan beberapa pilihan alternatif instrumen seperti kartu, biometric dan e-voucher. Tantangan yang dihadapi Pemerintah dalam transformasi energi, diantaranya: validitas data penerima subsidi baik untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG 3 Kg, dan listrik; volatilitas parameter subsidi seperti ICP dan nilai tukar sangat rentan berpengaruh pada harga keekonomian jenis subsidi BBM serta LPG; mekanisme penyesuaian harga jual yang belum diberlakukan; rencana distribusi subsidi LPG akan menerapkan skema tertutup; dan meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap distribusi subsidi. Rekomendasi untuk menghadapi tantangan yang dihadapi, antara lain: memastikan DTKS yang yang telah diverifikasi pemerintah kabupaten/kota berkualitas baik; menerapkan skema tariff adjustment pada pelanggan nonsubsidi untuk mengurangi beban kompensasi yang dibayarkan pemerintah; mendorong pelaksanaan mekanisme penyesuaian harga jual dengan sistem harga keekonomian untuk subsidi JBM dan JBKP; memiliki perencanaan yang matang terhadap skema baru; dan penggunaan teknologi dan koordinasi antara pusat dan daerah dalam mengawasi pendistribusian subsidi.




OPTIMALISASI PENERAPAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PADA KEGIATAN PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK (PMSE) / Juni 2021

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Tidak dapat dipungkiri bahwa penetrasi teknologi yang merambat begitu cepat dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan berbagai aktivitas kegiatan sehari-hari termasuk juga untuk proses jual-beli. Pesatnya perkembangan pemanfaatan teknologi informasi di tengah masyarakat ini justru meraih windfall gain terutama di tengah pandemi Covid-19 ini. Dengan demikian, pemerintah mengeluarkan ketentuan terkait pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan produk digital luar negeri lewat Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pentingnya kebijakan ini juga tercermin dengan dijadikannya penerapan PPN PMSE sebagai salah satu bentuk reformasi fiskal dalam optimalisasi negara yang tertuang dalam dokumen Kebijakan Ekonomi Makro Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2022. Di satu sisi penerapan PPN ini merupakan potensi dalam meningkatkan penerimaan negara. Namun disisi lain, kebijakan ini juga dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan ekonomi digital, baik dalam maupun luar negeri. Untuk itu tulisan ini akan mengulas tentang perkembangan, potensi, dan tantangan penerapan PPN PMSE dalam optimalisasi peningkatan penerimaan negara. Aturan terkait PPN PMSE tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 2020. Pada pelaksanaannya sejak 1 Juli 2020 hingga April 2021 terdapat 65 perusahaan yang ditetapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai pemungut PPN PMSE, dimana 6 diantaranya merupakan perusahaan yang berlokasi di Indonesia. Adapun penerimaan PPN PMSE yang diperoleh selama periode September hingga Desember 2020 ialah sebesar Rp0,731 triliun sementara itu pada periode Januari hingga April 2021 mulai mengalami penin gkatan sebesar Rp1,11 triliun. Tentunya angka tersebut masih jauh dari target, dimana Kementerian Keuangan sendiri sempat mengkaji bahwa PPN yang diperoleh dari kegiatan PMSE ini sebesar Rp10,4 triliun. Hal ini menunjukkan DJP mengalami berbagai tantangan dan kendala dalam mengoptimalkan penerimaan PPN tersebut. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus maka kegiatan ekonomi digital ini justru menimbulkan versi baru shadow economy. Adapun beberapa tantangan ataupun permasalahan yang masih dihadapi pemerintah khususnya DJP dalam mengoptimalkan penerimaan PPN PMSE yaitu; keterbatasan akses memperoleh data menyebabkan Otoritas Pajak masih mengalami kesulitan dalam mengumpulkan informasi pelaku usaha PMSE, pengawasan dan pengenaan sanksi yang masih lemah dan aturan ini berpotensi menimbulkan Cost of Taxation yang cukup besar. Strategi optimalisasi PPN PMSE yang perlu dipertimbangkan pemerintah diantaranya; pemerintah perlu mempertimbangkan skema split payment dalam memungut PPN pada kegiatan PMSE, sosialisasi mengenai substansi dan administrasi pengenaan pajak atas PMSE kepada seluruh pemangku kepentingan. Selain itu, otoritas pajak perlu mengoptimalkan penerimaan PPN pada pelaku usaha PMSE dalam negeri yang didukung dengan perolehan akses data dan informasi terkait transaksi PMSE.




Tinjauan Kritis Produksi Padi Nasional / Juni 2021

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Realisasi produksi beras pada tahun 2020 tidak mencapai target, yakni hanya 34,99 juta ton. Lebih mirisnya lagi, produksi tersebut juga mengalami penurunan dari tahun 2018 yang sebesar 37,90 juta ton. Penurunan tersebut tidak lain karena produksi padi mengalami penurunan dari 59,20 juta ton tahun 2018 menjadi 54,65 juta ton tahun 2020. Turunnya produksi ini disebabkan oleh turunnya luas panen dan produktivitas komoditas padi. Produktivitas ini juga merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi tingkat kesejahteraan petani, khususnya tanaman pangan. NTPP tahun 2020 juga mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018, dari 102,96 tahun 2018 menjadi 101,03 tahun 2020. Dalam kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2022, NTP ditargetkan dikisaran 102-104, di mana target tersebut juga merupakan target dari NTPP. Untuk mencapai target tersebut, maka perlunya meningkatkan produktivitas padi nasional. Terdapat beberapa persoalan yang dihadapi dalam meningkatkan produksi padi. Permasalahan dalam faktor luas panen, di mana mengalami penurunan disebabkan oleh masih lemahnya implementasi UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan alih komoditi. Sedangkan produktivitas disebabkan SDM yang didominasi pendidikan dasar, produksi benih varietas unggul jauh lebih rendah dari kebutuhan dan produktivitas hasil penelitian produksi benih varietas unggul tahun 2020 sedikit lebih rendah dari 2019, masih kurang akuratnya pendataan RDKK, serta bantuan alsintan masih terfokus pada pra panen. Karena itu, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam memperhatikan faktor luas panen, yaitu pertama, penetapan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW oleh pemerintah daerah (pemda) harus menjadi salah satu syarat dalam pemberian Dana Insentif Daerah (DID). Kedua, bagi petani yang ikut PLP2B diberikan bantuan alat mesin pertanian pra panen dan pasca panen. Selain itu, pemerintah dalam peningkatan produktivitas pertanian perlu mengupayakan pertama, perlu peningkatan kualitas pendidikan non formal khusus pendidikan peningkatan produktivitas dengan peranan penyuluh dan Perguruan Tinggi. Kedua, meningkatkan kapasitas produksi dan biaya untuk penelitian benih varietas unggul. Ketiga, terkait dengan faktor pupuk, pemerintah perlu memperbaiki sistem RDKK dengan berbasis identitas penduduk dan perlunya peningkatan tenaga survei atas lahan yang diajukan harus kurang dari 2 ha. Keempat, pemberian bantuan alsintan pasca panen bagi kelompok yang sudah mendapatkan alsintan pra panen, sehingga alsitannya lengkap dari pra panen sampai pasca panen. Kelima, menyederhanakan proses administrasi dalam peminjaman alsintan dari Brigade alsintan, serta komponen biaya angkut perlu dialokasi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.




Tantangan Bantuan Sosial sebagai bagian Extraordinary Policy Responses dalam Pemulihan Ekonomi Nasional / Juni 2021

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Program bantuan sosial (bansos) melalui Kementerian Sosial dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dimulai sejak maret tahun 2020 untuk menyasar masyarakat miskin dan rentan miskin yang terdampak covid-19. Pada tahun 2020, realisasi bansos mencapai Rp202,5 triliun atau setara 1,31 persen terhadap PDB. Peningkatan secara signifikan ini merupakan bentuk respons Pemerintah melalui program PEN untuk menekan dampak pandemi. Namun, Dalam pelaksanaannya, program bansos masih menghadapi berbagai tantangan yang berpotensi menurunkan efektivitas program. Tantangan utama pada program bansos adalah masih besarnya salah sasaran (targeting error), baik inclusion maupun exclusion error. Tantangan lainnya adalah perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan mengupayakan integrasi bansos yang tersebar diberbagai kementerian lembaga (K/L), korupsi serta ketidaktepatan besaran manfaat. Pandemi virus corona atau Covid-19 mendesak hampir seluruh negara di dunia untuk mengambil kebijakan-kebijakan luar biasa dalam rangka penyelamatan ekonomi yang terdampak pandemic (automatic stabilizer). Seberapa bijak pemerintah mengatasi tantangan ekonomi saat ini dan jangka panjang yang disebabkan oleh COVID-19 akan menjadi faktor penentu penting bagi kemakmuran generasi saat ini dan masa depan. Pada akhirnya pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas dampak jangka pendek dan jangka panjang dari kebijakan yang diadopsi. Karena prospek perjuangan melawan pandemi dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut, pemerintah terutama yang berada di pasar negara berkembang perlu mempertimbangkan bagaimana menghadapi tantangan jangka panjang ini. Agar kebijakan bansos lebih optimal dampaknya terhadap tujuan pemulihan ekonomi nasional, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah diantaranya: penyempurnaan baik di aspek, mekanisme ataupun skema kebijakan. Harmonisasi data, penyesuaian cakupan dan besaran manfaat, peningkatan ketepatan waktu penyaluran, dan penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan. Mendorong program jaring pengaman memenuhi tiga kriteria efektivitas stimulus fiskal, yakni timely (tepat waktu karena dapat implementasinya segera, tanpa ada time lag); targeted (menyasar pada targetnya, kelompok miskin dan rentan,); dan temporary (berlaku temporer karena akan selesai seiring dengan pulihnya ekonomi). Percepatan pemutakhiran DTKS agar penetapan sasaran bansos sesuai fokus pada masyarakat dengan penghasilan 40 persen terendah dalam pemulihan ekonomi nasional dan meminimimalkan exclusion maupun inclusion error pada program-program yang sifatnya sementara sekalipun. Mekanisme pengawasan bantuan sosial yang lebih komprehensif agar tidak terjadi lagi korupsi ataupun inefisiensi lainnya.




DAK FISIK BIDANG KESEHATAN DALAM MENDUKUNG TARGET PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANAK / Juni 2021

Siklus: Pembicaraan Pendahuluan

Sekilas:
Pembangunan kesehatan merupakan investasi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi menjadi indikator derajat kesehatan dan keberhasilan penyelenggaraan pembangunan Kesehatan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 sudah menempatkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi indikator derajat kesehatan dan keberhasilan penyelenggaraan pembangunan Kesehatan. Selanjutnya AKI dan AKB selalu menjadi target dan sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), termasuk dalam RPJMN V (2020-2024). Kemudian diperkuat dalam Rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022 yang menempatkan AKI dan AKB dalam sasaran sistem kesehatan nasional 2022. Ini menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan ibu dan anak yang ditunjukkan oleh indikator AKI dan AKB masih menjadi perhatian pemerintah. Berdasarkan hasil prediksi hingga 2030, jika tanpa adanya kebijakan extra ordinary maka nilai AKI dan AKB masih di atas target SDGs 2030. Selanjutnya dengan menggunakan uji beda rata-rata, diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada perubahan nilai AKI pada provinsi penerima DAK fisik penugasan dengan provinsi yang tidak menerima DAK fisik penugasan. Kemudian hasil grafik kuadran menunjukkan masih banyak daerah yang berada pada kuadran II dimana daerah dengan AKI dan AKB rendah memperoleh prioritas anggaran. Sebaliknya, ada daerah yang memiliki AKI dan AKB tinggi namun tidak memperoleh prioritas anggaran. Pemerintah perlu memberikan target penurunan AKI dan AKB kepada daerah untuk mendorong peningkatan peran pemerintah daerah. Selain itu, Pemerintah perlu memberikan prioritas bagi daerah-daerah yang masih memiliki nilai AKI dan AKB yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Hal tersebut guna mempercepat penurunan AKI dan AKB.




← Sebelumnya 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Selanjutnya →