Analisis APBN

Outlook Penerimaan Perpajakan dan PNBP 2021 / September 2020

Siklus: APBN Induk

Sekilas:
Pendapatan negara masih didominasi oleh penerimaan perpajakan dengan kontribusi sekitar 75 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan kontribusi rata-rata sekitar 25 persen. Rasio Pajak terhadap Product Domestic Bruto (PDB) atau tax ratio tahun 2014- 2019 sekitar 10-14 persen sedangkan rata-rata rasio PNBP tahun 2014-2019 sebesar 2,63 persen. Pada tahun 2020, pemerintah telah merevisi target penerimaan pajak dan PNBP yang diprediksi meleset dari target akibat pandemi Covid-19. Pemerintah dalam merespon tantangan ekonomi dan kesehatan akibat pandemi Covid-19 telah menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang Nomor 2 tahun 2020. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah kemudian melakukan perubahan postur APBN TA 2020 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 selanjutnya dilakukan penyesuaian kembali terhadap perubahan postur APBN TA 2020 dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 72 Tahun 2020. Dalam Perpres tersebut terjadi perubahan target penerimaan pajak dan PNBP tahun 2020. Outlook penerimaan perpajakan tahun 2021 berdasarkan data Kemenkeu diproyeksikan dalam kisaran 8,25 – 8,63 persen terhadap PDB, sedangkan outlook PNBP tahun 2021 diproyeksikan dalam kisaran 1,6-2,3 persen terhadap PDB dengan memerhatikan perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya akibat dampak Covid-19 dan masih melemahnya harga komoditas utama dunia. Tantangan meningkatkan penerimaan perpajakan tahun 2021 yaitu tantangan untuk meningkatkan tax ratio ditengah pemulihan ekonomi nasional yang tidak mudah, perlambatan pertumbuhan sektor-sektor pajak yang memiliki kontribusi tinggi pada penerimaan perpajakan, pertumbuhan kelas menengah yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita Indonesia yang memengaruhi penerimaan pajak. Disisi lain, tantangan penerimaan PNBP tahun 2021 yaitu perkembangan ekonomi dunia dan kondisi geopolitik yang berpengaruh terhadap harga minyak, gas, dan minerba, kecenderungan penurunan produksi migas (lifting migas) disebabkan tidak ada penemuan cadangan baru, PNBP Sebagian besar masih menggantungkan pada penerimaan dari SDA, belum optimalnya penerimaan PNBP Non SDA, terkait dengan aspek compliance wajib bayar PNBP dalam memenuhi kewajibannya secara tepat jumlah dan waktu serta dari sisi pengawasan masih perlu diperkuat, dan permasalahan idle asset yang perlu dioptimalkan sehingga dapat menjadi salah satu sumber PNBP. Optimalisasi penerimaan negara yang berasal dari pajak dan PNBP di tahun 2021 pada masa pemulihan pandemi Covid-19 pemerintah dapat melakukan upaya kebijakan baru yang extraordinary menyesuaikan kondisi luar biasa saat ini seperti penyederhanaan administrasi bagi stakeholder yang terdampak covid-19, penyederhanaan bantuan untuk pihak terdampak covid-19, evaluasi rutin guna penyesuaian kebijakan, perlu penyesuaian pola sosialisasi insentif fiskal pada pelaku usaha yang terdampak covid-19, perbaikan kebijakan yang tepat sasaran, efisien, dan terukur baik dari sisi demand maupun sisi supply, menyelesaikan regulasi turunan UU Nomor 9 tahun 2018 tentang PNBP, penggalian potensi baru dengan perubahan formula perhitungan terhadap jenis dan tarif yang sudah ada, mengintensifkan kewajiban instansi pengelolaan PNBP (IP-PNBP) dalam melakukan verifikasi dan monitoring PNBP, peningkatan kualitas pengawasan PNBP melalui pengembangan sistem pengawasan terintegrasi maupun pengawasan yang dilakukan melalui K/L bersama Aparat Pengawas Pemerintah (APIP), optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan kerjasama antar lembaga terkait dalam pengelolaan PNBP serta menyusun skema pemanfaatan aset khususnya dengan tepat sehingga menjadi sumber penerimaan PNBP.




Harga Minyak dan Komoditas Unggulan Indonesia: Perkembangan dan Determinannya / September 2020

Siklus: APBN Induk

Sekilas:
Anjloknya harga minyak mentah dunia juga berdampak pada harga minyak mentah Indonesia dan komoditas unggulan Indonesia yaitu batu bara dan minyak kelapa sawit. Kemudian pada awal tahun 2020 harga mengalami penurunan kembali yang diakibatkan dari dampak virus corona. Penurunan terjadi karena demand terhadap komoditas tersebut juga turun. Turunya harga minyak akan berdampak pada proyek-proyek migas ke depannya. Bahkan saat ini sudah banyak perusahaan migas seperti Shell, Eni, Premier Oil, Total, Conoco Philips, sudah mengumumkan secara terbuka soal pemangkasan belanja modal mereka di skala global. Tentunya pemangkasan belanja ini akan berdampak juga ke proyek yang berada di Indonesia. Seperti proyek Merakes dikelola oleh Eni East Sepinggan Ltd yang mestinya onstream tahun ini terancam mundur. Sedangkan pada sektor batu bara selain harga minyak yang rendah, dampak oversuplly produksi batu bara dunia juga menjadi salah faktor anjloknya harga batu bara. Kondisi tersebut sama halnya dengan harga minyak kelapa sawit yang rendah diakibatkan juga oleh oversuplly. Selain oversuplly, harga minyak sawit juga dipengauhi oleh kebijakan India meningkatkan pajak impor sawit, perang dagang antara China dan Amerika, dan kebijakan Uni Eropa melarang penggunaan sawit. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi beberapa permasalahan yang telah dibahas di atas, diantaranya pertama, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan ekplorasi minyak khususnya 12 proyek lagi onstream. Kedua, pemerintah perlu mengambil langkah dengan memaksimalkan pasar dalam negeri untuk menyerap minyak kelapa sawit (CPO) dengan mempercepat pengembangan program B30, B50 maupun B100 (biodiesel). Namun pemerintah juga harus meningkatkan kualitasnya untuk dapat memperluas penggunaan biodiesel dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga dapat mengembangkan kapasitas hilirisasi CPO menjadi biodiesel untuk ekspor sehingga akan membuat nilai tambah untuk ekspor CPO. Ketiga, pemerintah harus segera menetapkan praturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari UU No 3 Tahun 2020 untuk mempercepat kegiatan hilirisasi




Prospek Perekonomian Indonesia dan Catatan Kritis RAPBN 2021 / September 2020

Siklus: APBN Induk

Sekilas:
Ketidakpastian global akibat pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dalam waktu singkat telah melumpuhkan perekonomian berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Akibat pandemi ini, pada triwulan II tahun 2020 perekonomian nasional sangat tertekan sehingga pertumbuhan terkontrakasi sebesar negatif 5,32 persen. Untuk mendongkrak pertumbuhan tersebut, maka pemerintah pada bulan Mei tahun 2020 menetapkan Program Pemulihan Ekonomi dengan anggaran sebesar Rp695,2 triliun. Berdasarkan stimulus tersebut dan faktor eksternal yang membaik, maka pertumbuhan perekonomian domestik tahun 2021 diprediksi pada kisaran 3,46-5,03 persen dengan asumsi inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar USD terjaga pada kisaran masing-masing 2,88 persen dan Rp15.130 per USD. Terkait berbagai fokus kebijakan yang tertuang dalam NK RAPBN 2021, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pemerintah, yakni mengutamakan perbaikan dan pemutakhiran DTKS dan basis data UMKM sebelum tahun anggaran 2021 berjalan, pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan tetap konsisten berdimensi mengurangi ketimpangan antarwilayah, rencana integrasi subsidi energi dengan bansos tidak dilakukan terburuburu, menunda ekstensifikasi barang kena cukai, fokus penguatan pariwisata diarahkan pada peningkatan perjalanan wisatawan nusantara, pentingnya penguatan kelembagaan petani dan nelayan dalam arah kebijakan pembangunan ketahanan pangan, meletakkan petani dan nelayan sebagai subjek kebijakan dengan penguatan prinsip participatory serta penguatan sinergi pusat dan daerah




Evaluasi Indikator Sasaran Pembangunan dalam UU APBN / September 2020

Siklus: APBN Induk

Sekilas:
Sejak 2011, proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) di parlemen mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut adalah kesepakatan DPR RI bersama pemerintah untuk memasukkan beberapa indikator yang dijadikan ukuran pencapaian sasaran pembangunan yang berkualitas sebagai salah satu norma dalam UU APBN, dimana hal ini tidak pernah diatur dalam UU APBN tahuntahun sebelumnya. Secara kumulatif, ada delapan indikator sasaran pembangunan yang ditetapkan sebagai target yang harus dicapai oleh pemerintah dalam UU APBN 2011-2020. Namun, tidak semua indikator tersebut ditetapkan secara konsisten dalam APBN setiap tahunnya. Dari sisi realisasi, dapat dikatakan bahwa tidak semua target indikator yang ditetapkan dapat terpenuhi setiap tahunya. Meskipun demikian, mayoritas pencapaiannya mengalami tren yang terus membaik dari tahun ke tahun atau dengan kata lain tren kesejahteraan masyarakat terus membaik. Namun, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, agar perwujudan peningkatan kesejahteraan lebih nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bukan peningkatan yang sifatnya relatif semu. Pertama, angka kemiskinan yang menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp440.538 per kapita per bulan pada 2019 belum sepenuhnya dapat dijadikan ukuran yang mencerminkan kemiskinan yang sesungguhnya. Kedua, angka kemiskinan di perdesaan masih tinggi dan penurunannya relatif lambat. Ketiga, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan masih relatif tinggi. Keempat, profil kemiskinan provinsi yang berada di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih memprihatinkan. Kelima, struktur ketenagakerjaan nasional masih didominasi oleh pekerja informal. Keenam, masih tingginya persentase pekerja tidak penuh. Terakhir, indeks pembangunan manusia provinsi di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih terpaut cukup jauh dengan angka nasional dan provinsi lain. Penetapan berbagai indikator sasaran pembangunan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran pencapaian kemakmuran rakyat yang diamanahkan konstitusi. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah amanah konstitusi tidak hanya sebatas mewujudkan kemakmuran rakyat semata. Tetapi, yang diamanahkan oleh konstitusi adalah kemakmuran rakyat yang diikuti dengan terwujudnya keadilan sosial. Dalam UU APBN, penerapan prinsip keadilan atau pemerataan sebagai ukuran keberhasilan pengelolaan APBN yang sesuai dengan amanah konstitusi telah dilakukan, yakni melalui penetapan koefisien gini. Namun, penetapan koefisien gini tersebut belumlah mencerminkan pemerataan secara wilayah sebagaimana prinsip keadilan yang diamahkan oleh konstitusi. Koefisien gini hanyalah ukuran ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan antar individu. Artinya, koefisien gini belum dapat dijadikan ukuran pemerataan antarwilayah. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan indikator yang mampu menggambarkan perbaikan ketimpangan antarwilayah atau daerah dalam UU APBN di masa mendatang. Urgensi adanya indikator yang mampu mengukur ketimpangan wilayah antardaerah juga didasarkan pada persoalan klasik yang masih menjadi isu utama pembangunan nasional. Persoalan klasik tersebut adalah ketimpangan antar wilayah yang belum mengalami perbaikan yang signifikan.




Kinerja Badan Layanan Umum (BLU) dan Tantangan BLU Tahun 2021 / September 2020

Siklus: APBN Induk

Sekilas:
Badan layanan umum (BLU) sebuah agen yang otonom bagian dari K/L, tidak mencari keuntungan, mendapatkan sumber dana dari Rupiah Murni (RM) APBN dan pendapatan BLU, serta memiliki SDM berupa PNS dan Non PNS, kekayaan negara tidak dipisahkan, dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU. Perkembangan satker BLU terus bertambah sejak awal pembentukannya pada tahun 2005, hingga triwulan 1 tahun 2020, jumlah satker BLU mencapai 243 yang terdiri atas 105 BLU rumpun kesehatan, 100 BLU rumpun pendidikan, 10 BLU rumpun pengelola dana, 5 BLU pengelola kawasan, dan 23 BLU barang/jasa lainnya. Pertumbuhan pendapatan BLU secara rata-rata tumbuh sebesar 21 persen per tahun, lebih besar dari rata-rata pertumbuhan PNBP nasional sebesar 6 persen per tahunnya. Peningkatan realisasi pendapatan BLU juga disebabkan oleh pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BLU sejak tahun 2005 yang memberikan dampak positif bagi kinerja keuangan dan layanan BLU. Dalam 10 tahun terakhir, rasio kontribusi pendapatan BLU secara rata-rata sebesar 9,7 persen dari pendapatan PNBP nasional. Masih kecilnya kontribusi pendapatan BLU terhadap PNBP nasional disebabkan oleh BLU dapat menggunakan penerimaan mereka sendiri tanpa perlu menyetornya ke kas umum Negara. Oleh karena itu, pengelolaan kas BLU akan lebih transparan dan lebih tidak beresiko apabila sumber dana yang dimiliki dikelola oleh perbendaharaan tanpa memengaruhi otonomi pengoperasian BLU. Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada satker BLU baik dari sisi rasio pendapatan PNBP terhadap biaya operasional (POBO) yaitu 78 persen BLU rumpun kesehatan, 46 persen BLU rumpun pendidikan, dan 47 persen BLU rumpun lainnya. Oleh karena itu, guna mengoptimalkan PNBP BLU perlu meningkatkan kinerja baik dari aspek keuangan maupun non keuangan. Berdasarkan analisa kinerja keuangan BLU perlu memerhatikan penggunaan biaya operasional agar lebih efektif, meningkatkan rasio kemandirian dengan cara meningkatkan pendapatan PNBP agar pagu RM semakin berkurang, BLU perlu mengoptimalkan asetnya, meningkatkan efisiensi khususnya pada BLU kesehatan dengan pengelolaan piutang pelayanan agar pembayaran klaim jangan terlambat, meningkatkan efisiensi khususnya BLU pendidikanmenghitung tarif layanan BLU menggunakan biaya langsung dan biaya tidak langsung sehingga mengurangi pagu RM serta meningkatkan efektivitas BLU dengan cara mengukur kegiatan agar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan. Peningkatan kinerja non keuangan BLU guna meningkatkan PNBP BLU yaitu pada BLU rumpun kesehatan dan pendidikan sudah baik, namun perlu meningkatkan indeks kepuasan masyarakat, BLU program BPI dan program RISPRO perlu meningkatkan hasil monitoring, evaluasi, dan pemantauan tindak lanjut atas layanan beasiswa yang optimal. Begitupula, kinerja non keuangan BLU PIP perlu tata kelola dan penetapan target yang jelas dalam menyalurkan pinjamannya. Pada tahun 2021, upaya peningkatan kinerja PNBP BLU dimasa pemulihan ekonomi pertama melalui pemanfaatan idle fund melalui investasi kas, BLU dapat melakukan pemindahan dana antar BLU dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 dengan menggunakan pemindahan dana kas sesuai Kepdirjen Nomor Kep-145/PB/2020 mengenai SOP Pemindahan dana antar BLU. Kedua, modernisasi pemanfaatan IT sistem administrasi untuk meningkatkan PNBP BLU




← Sebelumnya 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Selanjutnya →