Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Pendapatan negara masih didominasi oleh penerimaan perpajakan
dengan kontribusi sekitar 75
persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan kontribusi
rata-rata sekitar 25 persen. Rasio
Pajak terhadap Product Domestic Bruto (PDB) atau tax ratio tahun 2014-
2019 sekitar 10-14 persen
sedangkan rata-rata rasio PNBP tahun 2014-2019 sebesar 2,63 persen.
Pada tahun 2020, pemerintah
telah merevisi target penerimaan pajak dan PNBP yang diprediksi meleset
dari target akibat pandemi
Covid-19. Pemerintah dalam merespon tantangan ekonomi dan kesehatan
akibat pandemi Covid-19 telah
menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian ditetapkan
sebagai Undang-undang Nomor 2
tahun 2020. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah kemudian melakukan
perubahan postur APBN TA 2020
melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 selanjutnya
dilakukan penyesuaian kembali
terhadap perubahan postur APBN TA 2020 dengan dikeluarkannya
Perpres Nomor 72 Tahun 2020. Dalam
Perpres tersebut terjadi perubahan target penerimaan pajak dan PNBP
tahun 2020.
Outlook penerimaan perpajakan tahun 2021 berdasarkan data Kemenkeu
diproyeksikan dalam
kisaran 8,25 – 8,63 persen terhadap PDB, sedangkan outlook PNBP tahun
2021 diproyeksikan dalam
kisaran 1,6-2,3 persen terhadap PDB dengan memerhatikan
perekonomian Indonesia belum pulih
sepenuhnya akibat dampak Covid-19 dan masih melemahnya harga
komoditas utama dunia. Tantangan
meningkatkan penerimaan perpajakan tahun 2021 yaitu tantangan untuk
meningkatkan tax ratio
ditengah pemulihan ekonomi nasional yang tidak mudah, perlambatan
pertumbuhan sektor-sektor pajak
yang memiliki kontribusi tinggi pada penerimaan perpajakan,
pertumbuhan kelas menengah yang
semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita
Indonesia yang memengaruhi
penerimaan pajak. Disisi lain, tantangan penerimaan PNBP tahun 2021
yaitu perkembangan ekonomi
dunia dan kondisi geopolitik yang berpengaruh terhadap harga minyak,
gas, dan minerba, kecenderungan
penurunan produksi migas (lifting migas) disebabkan tidak ada penemuan
cadangan baru, PNBP Sebagian
besar masih menggantungkan pada penerimaan dari SDA, belum
optimalnya penerimaan PNBP Non SDA,
terkait dengan aspek compliance wajib bayar PNBP dalam memenuhi
kewajibannya secara tepat jumlah
dan waktu serta dari sisi pengawasan masih perlu diperkuat, dan
permasalahan idle asset yang perlu
dioptimalkan sehingga dapat menjadi salah satu sumber PNBP.
Optimalisasi penerimaan negara yang berasal dari pajak dan PNBP di
tahun 2021 pada masa
pemulihan pandemi Covid-19 pemerintah dapat melakukan upaya
kebijakan baru yang extraordinary
menyesuaikan kondisi luar biasa saat ini seperti penyederhanaan
administrasi bagi stakeholder yang
terdampak covid-19, penyederhanaan bantuan untuk pihak terdampak
covid-19, evaluasi rutin guna
penyesuaian kebijakan, perlu penyesuaian pola sosialisasi insentif fiskal
pada pelaku usaha yang
terdampak covid-19, perbaikan kebijakan yang tepat sasaran, efisien, dan
terukur baik dari sisi demand
maupun sisi supply, menyelesaikan regulasi turunan UU Nomor 9 tahun
2018 tentang PNBP, penggalian
potensi baru dengan perubahan formula perhitungan terhadap jenis dan
tarif yang sudah ada,
mengintensifkan kewajiban instansi pengelolaan PNBP (IP-PNBP) dalam
melakukan verifikasi dan
monitoring PNBP, peningkatan kualitas pengawasan PNBP melalui
pengembangan sistem pengawasan
terintegrasi maupun pengawasan yang dilakukan melalui K/L bersama
Aparat Pengawas Pemerintah
(APIP), optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan kerjasama antar
lembaga terkait dalam
pengelolaan PNBP serta menyusun skema pemanfaatan aset khususnya
dengan tepat sehingga menjadi
sumber penerimaan PNBP.
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Anjloknya harga minyak mentah dunia juga berdampak pada harga
minyak mentah Indonesia dan komoditas unggulan Indonesia yaitu batu
bara
dan minyak kelapa sawit. Kemudian pada awal tahun 2020 harga
mengalami
penurunan kembali yang diakibatkan dari dampak virus corona.
Penurunan
terjadi karena demand terhadap komoditas tersebut juga turun.
Turunya harga minyak akan berdampak pada proyek-proyek migas ke
depannya. Bahkan saat ini sudah banyak perusahaan migas seperti Shell,
Eni, Premier Oil, Total, Conoco Philips, sudah mengumumkan secara
terbuka
soal pemangkasan belanja modal mereka di skala global. Tentunya
pemangkasan belanja ini akan berdampak juga ke proyek yang berada di
Indonesia. Seperti proyek Merakes dikelola oleh Eni East Sepinggan Ltd
yang
mestinya onstream tahun ini terancam mundur. Sedangkan pada sektor
batu
bara selain harga minyak yang rendah, dampak oversuplly produksi batu
bara
dunia juga menjadi salah faktor anjloknya harga batu bara. Kondisi
tersebut
sama halnya dengan harga minyak kelapa sawit yang rendah diakibatkan
juga
oleh oversuplly. Selain oversuplly, harga minyak sawit juga dipengauhi
oleh
kebijakan India meningkatkan pajak impor sawit, perang dagang antara
China
dan Amerika, dan kebijakan Uni Eropa melarang penggunaan sawit.
Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk
mengantisipasi beberapa permasalahan yang telah dibahas di atas,
diantaranya pertama, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi
perusahaan ekplorasi minyak khususnya 12 proyek lagi onstream. Kedua,
pemerintah perlu mengambil langkah dengan memaksimalkan pasar
dalam
negeri untuk menyerap minyak kelapa sawit (CPO) dengan mempercepat
pengembangan program B30, B50 maupun B100 (biodiesel). Namun
pemerintah juga harus meningkatkan kualitasnya untuk dapat
memperluas
penggunaan biodiesel dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga dapat
mengembangkan kapasitas hilirisasi CPO menjadi biodiesel untuk ekspor
sehingga akan membuat nilai tambah untuk ekspor CPO. Ketiga,
pemerintah
harus segera menetapkan praturan pemerintah (PP) sebagai aturan
turunan
dari UU No 3 Tahun 2020 untuk mempercepat kegiatan hilirisasi
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Ketidakpastian global akibat
pandemi Corona Virus Disease-19
(Covid-19) dalam waktu singkat
telah melumpuhkan
perekonomian berbagai negara,
tidak terkecuali Indonesia.
Akibat pandemi ini, pada
triwulan II tahun 2020
perekonomian nasional sangat
tertekan sehingga pertumbuhan
terkontrakasi sebesar negatif 5,32
persen. Untuk mendongkrak
pertumbuhan tersebut, maka
pemerintah pada bulan Mei
tahun 2020 menetapkan Program
Pemulihan Ekonomi dengan
anggaran sebesar Rp695,2 triliun.
Berdasarkan stimulus tersebut
dan faktor eksternal yang
membaik, maka pertumbuhan
perekonomian domestik tahun
2021 diprediksi pada kisaran
3,46-5,03 persen dengan asumsi
inflasi dan nilai tukar rupiah
terhadap dolar USD terjaga pada
kisaran masing-masing 2,88
persen dan Rp15.130 per USD.
Terkait berbagai fokus kebijakan
yang tertuang dalam NK
RAPBN 2021, ada beberapa
catatan yang perlu menjadi
perhatian pemerintah, yakni
mengutamakan perbaikan dan
pemutakhiran DTKS dan basis
data UMKM sebelum tahun
anggaran 2021 berjalan,
pembangunan di bidang kesehatan
dan pendidikan tetap konsisten
berdimensi mengurangi
ketimpangan antarwilayah, rencana
integrasi subsidi energi dengan
bansos tidak dilakukan terburuburu, menunda ekstensifikasi
barang kena cukai, fokus penguatan
pariwisata diarahkan pada
peningkatan perjalanan wisatawan
nusantara, pentingnya penguatan
kelembagaan petani dan nelayan
dalam arah kebijakan pembangunan
ketahanan pangan, meletakkan
petani dan nelayan sebagai subjek
kebijakan dengan penguatan
prinsip participatory serta penguatan
sinergi pusat dan daerah
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Sejak 2011, proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (UU APBN) di parlemen mengalami perubahan yang
signifikan. Perubahan
tersebut adalah kesepakatan DPR RI bersama pemerintah untuk
memasukkan beberapa
indikator yang dijadikan ukuran pencapaian sasaran pembangunan yang
berkualitas sebagai
salah satu norma dalam UU APBN, dimana hal ini tidak pernah diatur
dalam UU APBN tahuntahun sebelumnya. Secara kumulatif, ada delapan
indikator sasaran pembangunan yang
ditetapkan sebagai target yang harus dicapai oleh pemerintah dalam UU
APBN 2011-2020.
Namun, tidak semua indikator tersebut ditetapkan secara konsisten dalam
APBN setiap
tahunnya.
Dari sisi realisasi, dapat dikatakan bahwa tidak semua target indikator
yang ditetapkan
dapat terpenuhi setiap tahunya. Meskipun demikian, mayoritas
pencapaiannya mengalami tren
yang terus membaik dari tahun ke tahun atau dengan kata lain tren
kesejahteraan masyarakat
terus membaik. Namun, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian
pemerintah, agar
perwujudan peningkatan kesejahteraan lebih nyata dirasakan oleh
masyarakat Indonesia, bukan
peningkatan yang sifatnya relatif semu. Pertama, angka kemiskinan yang
menggunakan garis
kemiskinan sebesar Rp440.538 per kapita per bulan pada 2019 belum
sepenuhnya dapat
dijadikan ukuran yang mencerminkan kemiskinan yang sesungguhnya.
Kedua, angka kemiskinan
di perdesaan masih tinggi dan penurunannya relatif lambat. Ketiga,
indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan di perdesaan masih relatif tinggi. Keempat, profil
kemiskinan provinsi
yang berada di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih
memprihatinkan. Kelima,
struktur ketenagakerjaan nasional masih didominasi oleh pekerja
informal. Keenam, masih
tingginya persentase pekerja tidak penuh. Terakhir, indeks pembangunan
manusia provinsi di
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih terpaut cukup jauh
dengan angka nasional dan
provinsi lain.
Penetapan berbagai indikator sasaran pembangunan tersebut dapat
dijadikan sebagai
ukuran pencapaian kemakmuran rakyat yang diamanahkan konstitusi.
Namun, yang perlu
menjadi catatan adalah amanah konstitusi tidak hanya sebatas
mewujudkan kemakmuran rakyat
semata. Tetapi, yang diamanahkan oleh konstitusi adalah kemakmuran
rakyat yang diikuti
dengan terwujudnya keadilan sosial. Dalam UU APBN, penerapan prinsip
keadilan atau
pemerataan sebagai ukuran keberhasilan pengelolaan APBN yang sesuai
dengan amanah
konstitusi telah dilakukan, yakni melalui penetapan koefisien gini. Namun,
penetapan koefisien
gini tersebut belumlah mencerminkan pemerataan secara wilayah
sebagaimana prinsip keadilan
yang diamahkan oleh konstitusi. Koefisien gini hanyalah ukuran
ketimpangan atau
ketidakmerataan pendapatan antar individu. Artinya, koefisien gini belum
dapat dijadikan
ukuran pemerataan antarwilayah. Oleh karena itu, perlu adanya
penambahan indikator yang
mampu menggambarkan perbaikan ketimpangan antarwilayah atau
daerah dalam UU APBN di
masa mendatang. Urgensi adanya indikator yang mampu mengukur
ketimpangan wilayah
antardaerah juga didasarkan pada persoalan klasik yang masih menjadi
isu utama pembangunan
nasional. Persoalan klasik tersebut adalah ketimpangan antar wilayah
yang belum mengalami
perbaikan yang signifikan.
Siklus:
APBN Induk
Sekilas:
Badan layanan umum (BLU) sebuah agen yang otonom bagian dari K/L,
tidak mencari keuntungan,
mendapatkan sumber dana dari Rupiah Murni (RM) APBN dan
pendapatan BLU, serta memiliki SDM
berupa PNS dan Non PNS, kekayaan negara tidak dipisahkan, dikelola dan
dimanfaatkan sepenuhnya
untuk menyelenggarakan kegiatan BLU. Perkembangan satker BLU terus
bertambah sejak awal
pembentukannya pada tahun 2005, hingga triwulan 1 tahun 2020, jumlah
satker BLU mencapai 243 yang
terdiri atas 105 BLU rumpun kesehatan, 100 BLU rumpun pendidikan, 10
BLU rumpun pengelola dana, 5
BLU pengelola kawasan, dan 23 BLU barang/jasa lainnya.
Pertumbuhan pendapatan BLU secara rata-rata tumbuh sebesar 21
persen per tahun, lebih besar dari
rata-rata pertumbuhan PNBP nasional sebesar 6 persen per tahunnya.
Peningkatan realisasi pendapatan
BLU juga disebabkan oleh pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN)
pada BLU sejak tahun 2005 yang
memberikan dampak positif bagi kinerja keuangan dan layanan BLU.
Dalam 10 tahun terakhir, rasio
kontribusi pendapatan BLU secara rata-rata sebesar 9,7 persen dari
pendapatan PNBP nasional. Masih
kecilnya kontribusi pendapatan BLU terhadap PNBP nasional disebabkan
oleh BLU dapat menggunakan
penerimaan mereka sendiri tanpa perlu menyetornya ke kas umum
Negara. Oleh karena itu, pengelolaan
kas BLU akan lebih transparan dan lebih tidak beresiko apabila sumber
dana yang dimiliki dikelola oleh
perbendaharaan tanpa memengaruhi otonomi pengoperasian BLU.
Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada satker BLU baik dari
sisi rasio pendapatan PNBP
terhadap biaya operasional (POBO) yaitu 78 persen BLU rumpun
kesehatan, 46 persen BLU rumpun
pendidikan, dan 47 persen BLU rumpun lainnya. Oleh karena itu, guna
mengoptimalkan PNBP BLU perlu
meningkatkan kinerja baik dari aspek keuangan maupun non keuangan.
Berdasarkan analisa kinerja
keuangan BLU perlu memerhatikan penggunaan biaya operasional agar
lebih efektif, meningkatkan rasio
kemandirian dengan cara meningkatkan pendapatan PNBP agar pagu RM
semakin berkurang, BLU perlu
mengoptimalkan asetnya, meningkatkan efisiensi khususnya pada BLU
kesehatan dengan pengelolaan
piutang pelayanan agar pembayaran klaim jangan terlambat,
meningkatkan efisiensi khususnya BLU
pendidikanmenghitung tarif layanan BLU menggunakan biaya langsung
dan biaya tidak langsung sehingga
mengurangi pagu RM serta meningkatkan efektivitas BLU dengan cara
mengukur kegiatan agar sesuai
dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan. Peningkatan kinerja non
keuangan BLU guna meningkatkan
PNBP BLU yaitu pada BLU rumpun kesehatan dan pendidikan sudah baik,
namun perlu meningkatkan
indeks kepuasan masyarakat, BLU program BPI dan program RISPRO
perlu meningkatkan hasil
monitoring, evaluasi, dan pemantauan tindak lanjut atas layanan
beasiswa yang optimal. Begitupula,
kinerja non keuangan BLU PIP perlu tata kelola dan penetapan target
yang jelas dalam menyalurkan
pinjamannya.
Pada tahun 2021, upaya peningkatan kinerja PNBP BLU dimasa pemulihan
ekonomi pertama melalui
pemanfaatan idle fund melalui investasi kas, BLU dapat melakukan
pemindahan dana antar BLU dalam
rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 dengan menggunakan
pemindahan dana kas sesuai
Kepdirjen Nomor Kep-145/PB/2020 mengenai SOP Pemindahan dana
antar BLU. Kedua, modernisasi
pemanfaatan IT sistem administrasi untuk meningkatkan PNBP BLU
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635