Sekilas APBN

Sistem Neraca Komoditas Nasional Masih Bermasalah, Pelaku Usaha Kena Imbasnya / Februari 2023

Sekilas:
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2022 tentang Neraca Komoditas untuk menyediakan data dan informasi yang memuat situasi konsumsi dan produksi komoditas terkait ekspor dan impor di Indonesia. Neraca komoditas ini disediakan melalui suatu sistem terintegrasi berupa Sistem Nasional Neraca Komoditas (SiNas-NK). Sistem ini pada dasarnya bertujuan untuk mendukung penyederhanaan dan transparansi perizinan ekspor dan impor, menyediakan data yang akurat dan komprehensif, memberikan kemudahan dan kepastian usaha, serta mendorong penyerapan komoditas. Akan tetapi, alih- alih memudahkan, pelaksanaan sistem neraca komoditas ini malah menyulitkan para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan sistem yang belum dapat berjalan dengan efektif, bahkan menghambat kegiatan produksi komoditas tertentu. Pada tahun 2022, pemerintah telah menetapkan 24 komoditas yang penerbitan Persetujuan Ekspor (PE) dan Persetujuan Impornya (PI) telah dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas, di mana penetapan ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap I telah ditetapkan 5 komoditas di tahun 2021 dan 19 komoditas pada tahap II di tahun 2022 dari total 56 komoditas yang wajib ditetapkan penerbitan PE dan PI-nya dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2022). Namun pada pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha di beberapa industri, di mana pelaku usaha merasa dengan adanya SiNas-NK malah menghambat perizinan impor bahan baku. Keluhan lain yang disampaikan oleh Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) setelah diterapkannya SiNas-NK ini adalah membuat kuota bahan baku menjadi berkurang dan tidak sesuai dengan permintaan yang telah dimasukkan ke dalam sistem (Bisnis.com, 2023). Di sisi lain, jika bahan baku menjadi berkurang maupun tidak sesuai dengan permintaan, perusahaan akan mengalami hambatan untuk berproduksi. Hal ini akan berdampak pada perusahaan yang tidak mampu membiayai para pekerja dan harus melakukan pemutusan hubungan kerja untuk mengurangi beban biaya produksi. Jika tidak diatasi dengan segera, hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada neraca perdagangan. Belum lagi ditambah dengan adanya berbagai ancaman global lainnya seperti resesi, inflasi dan lainnya yang juga akan mempengaruhi perekonomian. Untuk itu, pemerintah perlu meninjau dan menyempurnakan penyelenggaraan SiNas-NK agar pelaksanaan kegiatan ekspor dan impor tidak mengalami kendala. Jika terdapat masalah pada sistem utama, perlu adanya sistem alternatif yang dapat menggantikan sistem utama untuk sementara agar pelaksanaan ekspor dan impor bisa tetap berjalan. Selain itu, perlu adanya koordinasi yang intensif antar beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat untuk menciptakan data dan informasi komoditas yang terintegrasi. Perlu juga adanya sosialisasi yang lebih masif kepada pelaku usaha meskipun implementasi sistem ini sudah berjalan selama beberapa bulan karena masih ada pelaku usaha yang masih belum memahami penggunaan SiNas-NK dalam mengajukan data ekspor dan impor.




Sistem Neraca Komoditas Nasional Masih Bermasalah, Pelaku Usaha Kena Imbasnya / Februari 2023

Sekilas:
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2022 tentang Neraca Komoditas untuk menyediakan data dan informasi yang memuat situasi konsumsi dan produksi komoditas terkait ekspor dan impor di Indonesia. Neraca komoditas ini disediakan melalui suatu sistem terintegrasi berupa Sistem Nasional Neraca Komoditas (SiNas-NK). Sistem ini pada dasarnya bertujuan untuk mendukung penyederhanaan dan transparansi perizinan ekspor dan impor, menyediakan data yang akurat dan komprehensif, memberikan kemudahan dan kepastian usaha, serta mendorong penyerapan komoditas. Akan tetapi, alih- alih memudahkan, pelaksanaan sistem neraca komoditas ini malah menyulitkan para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan sistem yang belum dapat berjalan dengan efektif, bahkan menghambat kegiatan produksi komoditas tertentu. Pada tahun 2022, pemerintah telah menetapkan 24 komoditas yang penerbitan Persetujuan Ekspor (PE) dan Persetujuan Impornya (PI) telah dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas, di mana penetapan ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap I telah ditetapkan 5 komoditas di tahun 2021 dan 19 komoditas pada tahap II di tahun 2022 dari total 56 komoditas yang wajib ditetapkan penerbitan PE dan PI-nya dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2022). Namun pada pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha di beberapa industri, di mana pelaku usaha merasa dengan adanya SiNas-NK malah menghambat perizinan impor bahan baku. Keluhan lain yang disampaikan oleh Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) setelah diterapkannya SiNas-NK ini adalah membuat kuota bahan baku menjadi berkurang dan tidak sesuai dengan permintaan yang telah dimasukkan ke dalam sistem (Bisnis.com, 2023). Di sisi lain, jika bahan baku menjadi berkurang maupun tidak sesuai dengan permintaan, perusahaan akan mengalami hambatan untuk berproduksi. Hal ini akan berdampak pada perusahaan yang tidak mampu membiayai para pekerja dan harus melakukan pemutusan hubungan kerja untuk mengurangi beban biaya produksi. Jika tidak diatasi dengan segera, hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada neraca perdagangan. Belum lagi ditambah dengan adanya berbagai ancaman global lainnya seperti resesi, inflasi dan lainnya yang juga akan mempengaruhi perekonomian. Untuk itu, pemerintah perlu meninjau dan menyempurnakan penyelenggaraan SiNas-NK agar pelaksanaan kegiatan ekspor dan impor tidak mengalami kendala. Jika terdapat masalah pada sistem utama, perlu adanya sistem alternatif yang dapat menggantikan sistem utama untuk sementara agar pelaksanaan ekspor dan impor bisa tetap berjalan. Selain itu, perlu adanya koordinasi yang intensif antar beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat untuk menciptakan data dan informasi komoditas yang terintegrasi. Perlu juga adanya sosialisasi yang lebih masif kepada pelaku usaha meskipun implementasi sistem ini sudah berjalan selama beberapa bulan karena masih ada pelaku usaha yang masih belum memahami penggunaan SiNas-NK dalam mengajukan data ekspor dan impor.




Harga Beras Melambung dan Masih Selalu Impor Beras, Kemana Larinya Anggaran Kedaulatan Pangan / Februari 2023

Sekilas:
Sejak awal 2023 hingga minggu pertama Februari, masyarakat disuguhi polemik impor beras. Tidak hanya itu saja, harga beras juga terus bergerak naik. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat rata-rata harga beras di akhir Desember 2022 sebesar Rp12.600/kg. Harga beras terus merangkak naik sejak awal tahun. Per 3 Februari telah mencapai Rp12.950/kg atau naik 2,8 persen dibanding harga akhir Desember 2022. Secara historis, fenomena impor beras dan harga beras merangkak naik di setiap awal tahun sebenarnya bukanlah fenomena baru. Fenomena ini merupakan kejadian yang relatif berulang, khususnya di lima tahun terakhir. Lihat saja data inflasi setiap Januari di 2018 hingga 2023. Data Badan Pusat Statistik (BPS) merekam beras merupakan komoditas dominan yang memberikan andil inflasi di setiap Januari, kecuali 2021. Di 2018 andilnya sebesar 0,24 persen. Di 2023, andilnya 0,24 persen. Fenomena yang berulang tersebut seharusnya sudah dapat diantisipasi pemerintah sejak awal. Pemerintah sudah tidak elok lagi jika masih beragumentasi bahwa ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, harga biaya produksi naik, stok Bulog tidak mencukupi, mafia beras, dan lain sebagainya sebagai penyebab kenaikan harga beras dan alasan melakukan impor. Apalagi, pemerintah telah menggelontorkan anggaran kedaulatan pangan kurang lebih sekitar Rp784 triliun sejak 2015 hingga 2022. Secara spesifik untuk sektor pertanian sekitar Rp570 triliun atau rata-rata sekitar Rp70 triliun per tahun. Diantaranya melalui anggaran di gasi, dan DAK Pertanian. Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, subsidi pupuk, DAK Iri- Idealnya, relatif cukup besarnya anggaran tersebut sudah mampu dijadikan solusi untuk menghindari tidak terjadi kembali fenomena berulang tersebut. Kenyataannya, besarnya anggaran kedaulatan pangan belum mampu menjadi solusi. Wajar saja, karena anggaran yang besar tersebut juga belum mampu mendongkrak produktivitas padi jauh lebih signifikan. Bahkan sebaliknya, mengalami penurunan. Produktivitas padi di 2015 sebesar 53,41 kuintal/hektare dan menurun menjadi 51,14 kuintal/hektare di 2019. Memang meningkat kembali menjadi 52,26 kuintal/hektare di 2022, namun masih di bawah 2015. Lantas pertanyaannya, kemana anggaran kedaulatan pangan selama ini dan mengapa tidak memberikan dampak signifikan. Untuk mejawab pertanyaan tersebut, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi anggaran kedaulatan pangan secara menyeluruh guna menemukan terobosan perbaikan ke depannya. Evaluasi dan terobosan tersebut dibutuhkan, mengingat kondisi komoditas hortikultura seperti bawang merah, bawang putih, cabai merah dan cabe merah memiliki nasib yang cenderung sama dengan beras. Harga komoditas-komoditas tersebut merangkak naik dan menjadi komoditas dominan penyumbang inflasi di awal tahun, serta produktivitasnya tidak meningkat signifikan.




Harga Beras Melambung dan Masih Selalu Impor Beras, Kemana Larinya Anggaran Kedaulatan Pangan / Februari 2023

Sekilas:
Sejak awal 2023 hingga minggu pertama Februari, masyarakat disuguhi polemik impor beras. Tidak hanya itu saja, harga beras juga terus bergerak naik. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat rata-rata harga beras di akhir Desember 2022 sebesar Rp12.600/kg. Harga beras terus merangkak naik sejak awal tahun. Per 3 Februari telah mencapai Rp12.950/kg atau naik 2,8 persen dibanding harga akhir Desember 2022. Secara historis, fenomena impor beras dan harga beras merangkak naik di setiap awal tahun sebenarnya bukanlah fenomena baru. Fenomena ini merupakan kejadian yang relatif berulang, khususnya di lima tahun terakhir. Lihat saja data inflasi setiap Januari di 2018 hingga 2023. Data Badan Pusat Statistik (BPS) merekam beras merupakan komoditas dominan yang memberikan andil inflasi di setiap Januari, kecuali 2021. Di 2018 andilnya sebesar 0,24 persen. Di 2023, andilnya 0,24 persen. Fenomena yang berulang tersebut seharusnya sudah dapat diantisipasi pemerintah sejak awal. Pemerintah sudah tidak elok lagi jika masih beragumentasi bahwa ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, harga biaya produksi naik, stok Bulog tidak mencukupi, mafia beras, dan lain sebagainya sebagai penyebab kenaikan harga beras dan alasan melakukan impor. Apalagi, pemerintah telah menggelontorkan anggaran kedaulatan pangan kurang lebih sekitar Rp784 triliun sejak 2015 hingga 2022. Secara spesifik untuk sektor pertanian sekitar Rp570 triliun atau rata-rata sekitar Rp70 triliun per tahun. Diantaranya melalui anggaran di gasi, dan DAK Pertanian. Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, subsidi pupuk, DAK Iri- Idealnya, relatif cukup besarnya anggaran tersebut sudah mampu dijadikan solusi untuk menghindari tidak terjadi kembali fenomena berulang tersebut. Kenyataannya, besarnya anggaran kedaulatan pangan belum mampu menjadi solusi. Wajar saja, karena anggaran yang besar tersebut juga belum mampu mendongkrak produktivitas padi jauh lebih signifikan. Bahkan sebaliknya, mengalami penurunan. Produktivitas padi di 2015 sebesar 53,41 kuintal/hektare dan menurun menjadi 51,14 kuintal/hektare di 2019. Memang meningkat kembali menjadi 52,26 kuintal/hektare di 2022, namun masih di bawah 2015. Lantas pertanyaannya, kemana anggaran kedaulatan pangan selama ini dan mengapa tidak memberikan dampak signifikan. Untuk mejawab pertanyaan tersebut, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi anggaran kedaulatan pangan secara menyeluruh guna menemukan terobosan perbaikan ke depannya. Evaluasi dan terobosan tersebut dibutuhkan, mengingat kondisi komoditas hortikultura seperti bawang merah, bawang putih, cabai merah dan cabe merah memiliki nasib yang cenderung sama dengan beras. Harga komoditas-komoditas tersebut merangkak naik dan menjadi komoditas dominan penyumbang inflasi di awal tahun, serta produktivitasnya tidak meningkat signifikan.




Pernyataan Menpan RB Pintu Masuk Evaluasi Anggaran Kemiskinan / Februari 2023

Sekilas:
Beberapa hari lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB), Abdullah Azwar Anas, mengutarakan pernyataan kontroversial. MenpanRB menyebut anggaran pengentasan kemiskinan Rp500 triliun habis untuk rapat dan studi banding di hotel. Kontroversi pertama, pernyataan ini dapat menimbulkan misleading. Angka Rp500 triliun yang dimaksud MenpanRB, apakah anggaran satu tahun anggaran tertentu atau total anggaran dari periode tertentu. Apakah anggaran yang bersumber dari APBN atau APBD atau kedua- duanya. Kontroversi berikutnya, isu kemiskinan secara substansial seharusnya bukanlah kewenangan, tugas dan fungsi KemenpanRB. Sehingga terkesan MenpanRB melampaui terlalu jauh kewenangan, tugas dan fungsi yang dimilikinya Artikel ini tidak membahas lebih dalam kontroversi tersebut. Namun, membahas pernyataan MenpanRB tersebut harusnya menjadi pintu masuk bagi pemerintah guna mengevaluasi lebih jauh dan menyeluruh berbagai anggaran program kemiskinan. Di 2022, anggaran kemiskinan mencapai Rp431,51 triliun, baik melalui belanja K/L dan non K/L, transfer ke daerah maupun pembiayaan. Sepanjang 2015-2022 telah mencapai Rp2.562,05 triliun. Dalam periode yang sama, angka kemiskinan hanya menurun dari 11,13 persen menjadi 9,57 persen atau dibutuhkan Rp1.642,34 trilun untuk menurunkan 1 persen angka kemiskinan. Nilainya sangat besar dibanding hasilnya. Hal ini harusnya menjadi gambaran makro yang dijadikan landasan mengevaluasi secara total berbagai anggaran program kemiskinan. Selain itu, gambaran makro lain yang menjadi landasan kuat yaitu besaran anggaran kemiskinan per orang per tahun. Di 2015, jumlah penduduk miskin sebanyak 28,51 juta jiwa dengan rata-rata garis kemiskinan (menurut provinsi) sebesar Rp4,48 juta per orang per tahun. Anggaran kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah melalui APBN sebesar Rp230,79 triliun atau setara Rp8,32 juta per orang per tahun. Apabila berasumsi alokasi Rp8.322.809 per orang per tahun tersebut diserahkan secara tunai ke seluruh penduduk miskin, maka seharusnya Indonesia sudah zero kemiskinan, karena alokasi anggarannya sekitar 1,8 kali lipat dari garis kemiskinan. Realitanya tidak demikian, angka kemiskinan di 2016 masih 27,76 juta atau hanya turun 750ribu jiwa. Kontradiksi alokasi anggaran kemiskinan per orang di 2015 dengan realita angka kemiskinan di 2016 inilah yang menjadi dasar yang solid untuk mengevaluasi total berbagai anggaran program pengentasan kemiskinan. Terlebih lagi, fenomena kotradiktif ini terus berlanjut sepanjang 2015- 2022. Alokasi anggaran kemiskinan per orang per tahun lebih besar di atas 1,5 kali lipat rata-rata garis kemiskinan per orang per tahun. Ini menunjukkan bahwa ada berbagai hal yang harus dievaluasi dan dibenahi dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan.




← Sebelumnya 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Selanjutnya →