Sekilas:
Pemerintah mendesak peningkatan atau penetrasi pembiayaan melalui perbankan bagi industri hilir guna meningkatkan daya saing produk asli Indonesia. Penetrasi pembiayaan tersebut diharapkan
mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama ini industri perbankan, khususnya perbankan BUMN, belum banyak berkontribusi pada sektor industri hilir (Indef, 2021).
Guna mewujudkan kemandirian dalam negeri yang betumpu pada akselerasi hilirisasi industri berbasis sumber daya alam, maka perbankan diminta untuk turut berperan serta melalui peningkatan fungsi intermediasinya dengan menyalurkan kredit ke sektor-sektor industri hilir berbasis sumber daya alam. Peningkatan peran serta perbankan tersebut diperlukan mengingat masih relatif kecilnya kontribusi perbankan kepada industri hilir berbasis sumber saya alam. Bank Indonesia mencatat penyaluran kredit modal kerja dan investasi perbankan untuk industri pengolahan (termasuk industri hilir berbasis sumber daya alam) pada tahun 2022 hanya mencapai Rp1.009,8 triliun.
Kontribusi perbankan tersebut disebabkan sektor berbasis sumber daya alam (SDA) yang cenderung pro cyclical kurang sejalan dengan bisnis bank. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa bank yang menyatakan eksposurnya terhadap industri hilirisasi, seperti Bank Mandiri dan BCA. Bank Mandiri telah memberikan berbagai layanan keuangan kepada sektor SDA diantaranya kredit investasi, kredit modal kerja, bank garansi dan lain-lain. Kemudian, Bank BCA yang bergerak pada hilirisasi industri pertambangan, secara khusus mendukung berkembangnya ekosistem industri mobil listrik dan energi baru dan terbarukan (EBT).
Meskipun demikian, masih terdapat tantangan perbankan dalam meningkatkan pembiayaan hilirisasi. Dari sisi kompetensi, pemahaman perbankan terhadap hilirisasi industri SDA masih terbatas, terutama dalam pembiayaan smelter. Akibatnya, perbankan memerlukan pihak ketiga untuk melakukan due diligence kesinambungan dan ketersediaan bahan baku, relevansi teknologi, kesiapan sumberdaya manusia, demand jangka pendek dan panjang, serta analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL). Dari sisi pembiayaan, pembangunan smelter membutuhkan investasi jangka panjang yang besar dan umumnya dalam valuta asing sehingga bank tidak dapat melakukan pembiayaan sendiri melainkan sindikasi. Selain itu, tingkat return on investment pada sejumlah output industri hilir dianggap masih lebih rendah dibandingkan industri hulu. Dari sisi risiko pembiayaan, bank perlu memastikan kelangsungan usaha debitur di tengah tenor investasi dan kredit yang relatif panjang.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut pemerintah perlu secara konsisten memperkuat koordinasi dan kolaborasi dengan regulator perbankan dan industri perbankan dalam rangka mengatasi berbagai hambatan akselerasi pembiayaan perbankan bagi proses hilirisasi SDA di Indonesia. Koordinasi dan kolaborasi tersebut sebaiknya tidak kepada seluruh bentuk hilirisasi SDA, namun hanya diutamakan dan difokuskan pada kebutuhan hilirisasi SDA yang paling strategis dan berdaya saing, serta dibutuhkan di pasar dunia.
Sekilas:
Dalam rapat terbatas bersama sejumlah jajaran Menteri Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo menyampaikan target angka kemiskinan ekstrem dapat mencapai nol persen pada tahun 2024 dengan fokus pada program-program prioritas. Penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang memuat komitmen global untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Namun, terwujudnya hal tersebut dinilai sulit, terlebih adanya masa transisi politik.
Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menunjukkan arah yang terus menurun sejak tahun 2014. Dari 7,9 persen atau 19,86 juta jiwa di tahun 2014, menjadi 3,7 persen atau 9,89 juta jiwa di tahun 2019. Tren ini kemudian terkoreksi pada tahun 2020 dan 2021 dimana angka kemiskinan ekstrem mengalami kenaikan menjadi 4 persen atau 10,86 juta jiwa yang disebabkan adanya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia.
Meskipun berat merealisasikan kemiskinan ekstrem nol persen di tahun 2024, optimisme pemerintah tersebut masih dimungkinkan dapat terwujud. Optimisme tersebut dapat terwujud apabila pemerintah mampu meningkatkan berbagai program yang menyasar secara tepat dan berfokus pada daerah yang memiliki kemiskinan ekstrem terbesar, baik dari sisi jumlah absolut, persentase maupun rasionya terhadap akumulasi secara nasional. Namun upaya peningkatan berbagai program tersebut akan memberikan hasil yang optimal apabila dijalankan secara terintegrasi melalui kolaborasi intervensi, validasi data dan penajaman basis data untuk mencapai ketepatan sasaran. Jika pemerintah serius mengejar target tersebut, dalam jangka pendek perlu memperbaiki data penyaluran bantuan sosial agar tepat sasaran hingga kelompok di garis rentan dan hampir miskin. Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah perlu menciptakan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sekilas:
Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) saat ini telah memasuki babak baru dengan ditetapkannya kebijakan pemberian subsidi kendaraan bermotor listrik yang mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 2023. Adapun pemberian insentif kendaraan listrik yang akan berlaku pada bulan ini ditujukan untuk 200 ribu unit pembelian motor listrik baru, 50 ribu unit motor konversi, serta insentif khusus untuk mobil listrik dengan kuota 35.900 unit yang belum ditentukan skemanya. Sejumlah insentif yang diberikan tersebut bertujuan untuk merangsang penjualan kendaraan listrik, guna mendorong efisiensi dan ketahanan energi, konservasi energi sektor transportasi serta dalam mewujudkan energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan dan yang terpenting adalah untuk mengurangi ketergantungan impor BBM.
Mekanisme pemberian subsidi tidak secara langsung akan
diberikan kepada konsumen, namun akan diberikan Pemerintah melalui produsen yang wajib memenuhi ketentuan tertentu yaitu produsen yang memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen. Adapun pemberian subsidi kali ini ditargetkan untuk pelaku UMKM, khususnya bagi penerima kredit usaha rakyat (KUR), penerima bantuan produktif usaha mikro (BPUM), serta pelanggan listrik dengan kapasitas 450-900 VA. Hal ini khususnya untuk mendorong produktivitas dan efisiensi pelaku
UMKM. Tidak tanggung-tanggung, dana APBN yang dikucurkan sebagai bantuan Pemerintah akan disalurkan sebesar Rp1,75 Triliun melalui Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM. Program ini pun diyakini akan memberikan efek domino tidak hanya bagi pertumbuhan investasi kendaraan listrik, namun juga bagi peningkatan penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan industri pembiayaan, serta penurunan efek gas rumah kaca sebesar 0,03 juta ton.
Minat masyarakat terhadap kendaraan listrik pun tampaknya semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan volume penjualan wholesale mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) di pasar domestik yang terjual hingga 10.327 unit sepanjang tahun 2022 (Gaikindo, 2023). Namun, terdapat beberapa hal yang juga perlu diperhatikan agar percepatan program KBLBB ini nantinya tidak mandek. Salah satunya adalah terkait kesiapan infrastruktur ekosistem kendaraan listrik, khususnya ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang masih terbatas, yang saat ini baru ada 346 SPKLU di Indonesia. Belum lagi kesiapan kapasitas hilirisasi industri baterai tanah air yang perlu didorong oleh Pemerintah agar ekosistem kendaraan listrik dapat dibangun oleh industri dalam negeri. Kita tentu tidak ingin kalau nantinya bangsa kita lagi-lagi hanya menjadi pasar saja.
Tidak hanya itu, opsi untuk memberikan subsidi kendaraan listrik rasanya juga perlu dibarengi dengan upaya pembenahan infrastruktur transportasi publik yang juga perlu diarahkan untuk mengonversi menjadi transportasi publik berbasis listrik. Jangan sampai karena kegigihan Pemerintah untuk mendorong populasi kendaraan listrik di tanah air, justru memperumit masalah kemacetan di perkotaan yang hingga saat ini bahkan belum dapat diselesaikan.
Sekilas:
Percepatan pembangunan Ibukota Negara (IKN) terus dilakukan pemerintah termasuk pembangunan infrastruktur yang berskala besar, baik infrastruktur dasar maupun infrastruktur pendukung. Dana yang dibutuhkan tentu tidak sedikit, diindikasi mencapai Rp466,04 triliun atau sekitar 7,23% dari total kebutuhan investasi infrastruktur tahun 2020-2024 yang nilainya sebesar Rp6.445 triliun. Dengan begitu, dibutuhkan proprosi investasi 80% dari swasta, dimana 54% diharapkan berasal dari skema KPBU. Sementara 20% sisanya, merupakan pembiayaan berasal dari APBN yang digunakan hanya untuk pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).
Untuk tahun 2023, Pemerintah mengalokasikan dana dukungan untuk KPBU di IKN sebesar Rp219 miliar. Pembangunan infrastruktur tersebut kemudian akan menarik investasi infrastruktur ekonomi lainnya seperti bandara, pelabuhan, maupun jalan tol hingga akhirnya akan memicu pertumbuhan ekonomi di wilayah IKN dan sekitarnya. Menurut Bappenas, pembangunan IKN akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 0,2% per tahun dan menyerap tenaga kerja 1,2 - 1,3 juta orang. Efek berganda pembangunan tersebut akan mendorong perdagangan antar wilayah di Indonesia, diversifikasi ekonomi di Kalimantan serta
menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia. Penyediaan infrastruktur publik dengan skema KPBU memberi keuntungan dikarenakan adanya risk-sharing oleh kedua belah pihak sehingga tidak terlalu memberatkan antar keduanya dalam hal initial cost. Hingga saat ini proyek pembangunan IKN dengan skema KPBU telah berjalan dengan tiga proyek untuk hunian Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pertahanan dan Keamanan (Hankam) dengan nilai investasi sebesar Rp41 triliun.
Keterlibatan pelaku usaha saat ini masih menunggu dan memupuk kepercayaan dengan melihat kepemimpinan pemerintah pusat dalam hal memutuskan untuk melakukan investasi awal di IKN. Selain itu, mereka masih mengikuti progres pemerintah dalam membangun IKN, termasuk kaitannya dengan masterplan hingga regulasi untuk kemudahan bagi investor. Oleh sebab itu, pelaku usaha masih harus memperhitungkan pasar dan keberlanjutan usaha.
Dalam skema KPBU ini, Pemerintah harus memastikan bahwa pengelolaannya mengedepankan prinsip good governance agar tidak menimbulkan risiko di kemudian hari. Bagaimanapun keterlibatan pihak swasta dalam KPBU tidak berarti mengalihkan seluruh risiko kepada pihak swasta, sehingga potensi risiko fiskal akan tetap ada. Dalam hal ini adalah Penanggung Jawab Proyek Kersa Sama (PJPK) yang menjadi penanggung jawab apabila peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek KPBU selama berlakunya skema perjanjian pendanaan tersebut. Dimana hal itu dapat memengaruhi secara negatif bagi investasi, seperti adanya risiko terjadinya peristiwa keterlambatan pengadaan tanah atau keterlambatan dalam perubahan tarif maupun terjadinya terminasi tertentu yang tidak dapat diperkirakan pada saat PJPK dan badan usaha menandatangani perjanjian kerja sama. Timbulnya kewajiban PJPK untuk memberikan kompensasi finansial tersebut disebabkan kejadian lain di masa depan yang tidak dapat diprediksi. Dengan demikian akan timbul kewajiban finansial yang tergolong ke dalam kewajiban kontigensi dimana keadaan tersebut merupakan salah satu risiko fiskal didalam APBN.
Sekilas:
Percepatan pembangunan Ibukota Negara (IKN) terus dilakukan pemerintah termasuk pembangunan infrastruktur yang berskala besar, baik infrastruktur dasar maupun infrastruktur pendukung. Dana yang dibutuhkan tentu tidak sedikit, diindikasi mencapai Rp466,04 triliun atau sekitar 7,23% dari total kebutuhan investasi infrastruktur tahun 2020-2024 yang nilainya sebesar Rp6.445 triliun. Dengan begitu, dibutuhkan proprosi investasi 80% dari swasta, dimana 54% diharapkan berasal dari skema KPBU. Sementara 20% sisanya, merupakan pembiayaan berasal dari APBN yang digunakan hanya untuk pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).
Untuk tahun 2023, Pemerintah mengalokasikan dana dukungan untuk KPBU di IKN sebesar Rp219 miliar. Pembangunan infrastruktur tersebut kemudian akan menarik investasi infrastruktur ekonomi lainnya seperti bandara, pelabuhan, maupun jalan tol hingga akhirnya akan memicu pertumbuhan ekonomi di wilayah IKN dan sekitarnya. Menurut Bappenas, pembangunan IKN akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 0,2% per tahun dan menyerap tenaga kerja 1,2 - 1,3 juta orang. Efek berganda pembangunan tersebut akan mendorong perdagangan antar wilayah di Indonesia, diversifikasi ekonomi di Kalimantan serta
menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia. Penyediaan infrastruktur publik dengan skema KPBU memberi keuntungan dikarenakan adanya risk-sharing oleh kedua belah pihak sehingga tidak terlalu memberatkan antar keduanya dalam hal initial cost. Hingga saat ini proyek pembangunan IKN dengan skema KPBU telah berjalan dengan tiga proyek untuk hunian Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pertahanan dan Keamanan (Hankam) dengan nilai investasi sebesar Rp41 triliun.
Keterlibatan pelaku usaha saat ini masih menunggu dan memupuk kepercayaan dengan melihat kepemimpinan pemerintah pusat dalam hal memutuskan untuk melakukan investasi awal di IKN. Selain itu, mereka masih mengikuti progres pemerintah dalam membangun IKN, termasuk kaitannya dengan masterplan hingga regulasi untuk kemudahan bagi investor. Oleh sebab itu, pelaku usaha masih harus memperhitungkan pasar dan keberlanjutan usaha.
Dalam skema KPBU ini, Pemerintah harus memastikan bahwa pengelolaannya mengedepankan prinsip good governance agar tidak menimbulkan risiko di kemudian hari. Bagaimanapun keterlibatan pihak swasta dalam KPBU tidak berarti mengalihkan seluruh risiko kepada pihak swasta, sehingga potensi risiko fiskal akan tetap ada. Dalam hal ini adalah Penanggung Jawab Proyek Kersa Sama (PJPK) yang menjadi penanggung jawab apabila peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek KPBU selama berlakunya skema perjanjian pendanaan tersebut. Dimana hal itu dapat memengaruhi secara negatif bagi investasi, seperti adanya risiko terjadinya peristiwa keterlambatan pengadaan tanah atau keterlambatan dalam perubahan tarif maupun terjadinya terminasi tertentu yang tidak dapat diperkirakan pada saat PJPK dan badan usaha menandatangani perjanjian kerja sama. Timbulnya kewajiban PJPK untuk memberikan kompensasi finansial tersebut disebabkan kejadian lain di masa depan yang tidak dapat diprediksi. Dengan demikian akan timbul kewajiban finansial yang tergolong ke dalam kewajiban kontigensi dimana keadaan tersebut merupakan salah satu risiko fiskal didalam APBN.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635