Sekilas:
Perekonomian AS kembali dikejutkan dengan kebangkrutan Bank First Republic yang disebabkan oleh kesalahan sendiri dan kesalahan di dalam industri keuangan (Kompas, 2023). Kebangkrutan empat bank di AS akan menimbulkan pengaruh terhadap tingginya risk market terutama di pasar keuangan. Risk market yang tinggi akan disikapi dengan tindakan peningkatan suku bunga sebagai kompensasi bagi investor yang masih berinvestasi di money market.
Tren suku bunga yang masih tetap meningkat memiliki dampak yang cukup mengkhawatir bagi sektor riil. Di saat Indonesia mengejar pemulihan perekonomian ke posisi sebelum Covid-19, namun disisi lain terdapat tantangan tingginya suku bunga yang dikenakan ke sektor riil akibat risk market yang meningkat. Tantangan bukan hanya dirasakan sektor riil dengan adanya tren suku bunga yang cenderung meningkat, tantangan juga dirasakan dalam pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah dalam menutup defisit APBN. Semakin tinggi bunga, maka berdampak makin tinggi pembayaran bunga dan pokok hutang, terutama bagi hutang yang berdenominasi mata uang asing. Beban hutang yang meningkat akan menambah beban APBN dan kestabilan rupiah terhadap mata uang asing. Kestabilan nilai tukar dapat disebabkan oleh semakin tingginya permintaan akan mata uang asing terutama ketika jatuh tempo hutang. Apabila permintaan tidak disertai dengan penawaran yang cukup di pasar uang, maka akan memicu depresiasi Rupiah terhadap mata uang asing.
Langkah-langkah mitigasi risiko dari ketidakpastian pasar global yang berasal dari money market ini wajib dilakukan oleh Bank Sentral maupun pemerintah. Pengamanan sektor keuangan juga perlu dilakukan agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan Indonesia. Yang tak kalah penting dilakukan adalah melakukan modernisasi sistem pengaturan keuangan yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pengawasan dan meminimalisir risiko keuangan.
Sedangkan langkah antisipasi yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka tetap membangun iklim investasi yang kondusif, antara lain: 1. Dengan menjaga kestabilan variabel makro ekonomi, seperti nilai inflasi, menjaga pertumbuhan ekonomi terus positif, kestabilan nilai tukar, memperbaiki neraca perdagangan, dll; 2. Menjaga kondisi politik, sosial, dan ekonomi tetap kondusif; dan 3. Meningkatkan law enforcement serta membuat kebijakan yang mampu memenuhi kebutuhan investor maupun memenuhi kebutuhan masyarakat.
Untuk mengatasi cost of fund yang semakin mahal, Pemerintah dapat mencari alternatif pembiayaan, salah satunya berupa environmental social and governance (ESG). ESG merupakan salah satu dari bentuk green financing atau blue financing yang dapat dimanfaatkan Indonesia yang sudah berkomitmen dalam mengurangi emisi karbon (Nationally Determined Contribution/NDC). Umumnya ESG dalam bentuk green sukuk atau SDGs Securities. Namun, pengelolaan pembiayaan melalui green financing juga tetap harus dilakukan pengawasan dan menerapkan prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi default.
Sekilas:
Salah satu indikator penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta meningkatkan rasio perpajakan yaitu dengan patuhnya wajib pajak dalam melakukan pembayaran maupun pelaporan. Masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan Badan untuk tahun pajak 2022 sudah berakhir. Hingga 30 April 2023, WP yang telah melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2022 tercatat sebanyak 13,1 juta WP dengan rincian WP Badan sebanyak 939,9 ribu dan WP Orang Pribadi sebanyak 12,1 juta. Angka ini belum termasuk WP yang mengajukan perpanjangan jangka waktu pelaporan SPT Tahunan yang dapat diperpanjang hingga paling lama 2 bulan sebanyak 11,7 ribu WP. Dengan angka tersebut, persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan saat ini mencapai 67,60 persen (Kementerian Keuangan, 2023). Dan sekitar 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri menargetkan persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan di tahun 2023 sebesar 83 persen atau sebanyak 16,1 juta WP hingga akhir tahun 2023.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang melakukan pelaporan SPT
Tahunan mengalami peningkatan. Pada tahun lalu, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan mencapai 12,48 juta sehingga ada kenaikan 618 ribu WP atau tumbuh 3,63 persen pada tahun ini. Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, persentase kepatuhan WP dalam melaporkan SPT Tahunan sebesar 71,10 persen. Hingga tahun 2022, persentase kepatuhan pelaporan SPT meningkat hingga 83,02 persen meskipun persentase ini sedikit mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 84,07 persen. Hal ini dapat menjadi catatan yang baik bagi pemerintah dan menandakan bahwa dengan kondisi ketidakpastian global serta persepsi publik mengenai pejabat pemerintah saat ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan.
Meskipun pemerintah menargetkan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan hingga akhir tahun 2023 sebesar 83 persen, yang perlu menjadi catatan adalah WP yang melaporkan SPT hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah sebenarnya belum mencapai 70 persen dan 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan telah melewati masa pelaporan. Jika mengacu dari tahun 2022, 17 persen dari 30 persen WP yang belum melaporkan SPT Tahunan adalah WP yang berkemungkinan tidak akan melaporkan SPT Tahunannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan program sosialisasi dan edukasi yang efektif tentang pentingnya melaporkan SPT Tahunan secara tepat dan benar, serta mengenai konsekuensi dari ketidakpatuhan. Program ini dapat melibatkan beberapa pihak untuk meningkatkan kesadaran pajak dan pengetahuan wajib pajak. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaporan SPT Tahunan WP untuk mengurangi celah penghindaran pajak oleh korporasi agar SPT Tahunan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemerintah juga dapat memberikan sanksi yang lebih tegas kepada WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan untuk mengurangi jumlah WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan.
Sekilas:
Salah satu indikator penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta meningkatkan rasio perpajakan yaitu dengan patuhnya wajib pajak dalam melakukan pembayaran maupun pelaporan. Masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan Badan untuk tahun pajak 2022 sudah berakhir. Hingga 30 April 2023, WP yang telah melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2022 tercatat sebanyak 13,1 juta WP dengan rincian WP Badan sebanyak 939,9 ribu dan WP Orang Pribadi sebanyak 12,1 juta. Angka ini belum termasuk WP yang mengajukan perpanjangan jangka waktu pelaporan SPT Tahunan yang dapat diperpanjang hingga paling lama 2 bulan sebanyak 11,7 ribu WP. Dengan angka tersebut, persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan saat ini mencapai 67,60 persen (Kementerian Keuangan, 2023). Dan sekitar 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri menargetkan persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan di tahun 2023 sebesar 83 persen atau sebanyak 16,1 juta WP hingga akhir tahun 2023.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang melakukan pelaporan SPT
Tahunan mengalami peningkatan. Pada tahun lalu, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan mencapai 12,48 juta sehingga ada kenaikan 618 ribu WP atau tumbuh 3,63 persen pada tahun ini. Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, persentase kepatuhan WP dalam melaporkan SPT Tahunan sebesar 71,10 persen. Hingga tahun 2022, persentase kepatuhan pelaporan SPT meningkat hingga 83,02 persen meskipun persentase ini sedikit mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 84,07 persen. Hal ini dapat menjadi catatan yang baik bagi pemerintah dan menandakan bahwa dengan kondisi ketidakpastian global serta persepsi publik mengenai pejabat pemerintah saat ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan.
Meskipun pemerintah menargetkan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan hingga akhir tahun 2023 sebesar 83 persen, yang perlu menjadi catatan adalah WP yang melaporkan SPT hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah sebenarnya belum mencapai 70 persen dan 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan telah melewati masa pelaporan. Jika mengacu dari tahun 2022, 17 persen dari 30 persen WP yang belum melaporkan SPT Tahunan adalah WP yang berkemungkinan tidak akan melaporkan SPT Tahunannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan program sosialisasi dan edukasi yang efektif tentang pentingnya melaporkan SPT Tahunan secara tepat dan benar, serta mengenai konsekuensi dari ketidakpatuhan. Program ini dapat melibatkan beberapa pihak untuk meningkatkan kesadaran pajak dan pengetahuan wajib pajak. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaporan SPT Tahunan WP untuk mengurangi celah penghindaran pajak oleh korporasi agar SPT Tahunan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemerintah juga dapat memberikan sanksi yang lebih tegas kepada WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan untuk mengurangi jumlah WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan.
Sekilas:
Salah satu indikator penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta meningkatkan rasio perpajakan yaitu dengan patuhnya wajib pajak dalam melakukan pembayaran maupun pelaporan. Masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan Badan untuk tahun pajak 2022 sudah berakhir. Hingga 30 April 2023, WP yang telah melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2022 tercatat sebanyak 13,1 juta WP dengan rincian WP Badan sebanyak 939,9 ribu dan WP Orang Pribadi sebanyak 12,1 juta. Angka ini belum termasuk WP yang mengajukan perpanjangan jangka waktu pelaporan SPT Tahunan yang dapat diperpanjang hingga paling lama 2 bulan sebanyak 11,7 ribu WP. Dengan angka tersebut, persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan saat ini mencapai 67,60 persen (Kementerian Keuangan, 2023). Dan sekitar 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri menargetkan persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan di tahun 2023 sebesar 83 persen atau sebanyak 16,1 juta WP hingga akhir tahun 2023.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang melakukan pelaporan SPT
Tahunan mengalami peningkatan. Pada tahun lalu, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan mencapai 12,48 juta sehingga ada kenaikan 618 ribu WP atau tumbuh 3,63 persen pada tahun ini. Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, persentase kepatuhan WP dalam melaporkan SPT Tahunan sebesar 71,10 persen. Hingga tahun 2022, persentase kepatuhan pelaporan SPT meningkat hingga 83,02 persen meskipun persentase ini sedikit mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 84,07 persen. Hal ini dapat menjadi catatan yang baik bagi pemerintah dan menandakan bahwa dengan kondisi ketidakpastian global serta persepsi publik mengenai pejabat pemerintah saat ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan.
Meskipun pemerintah menargetkan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan hingga akhir tahun 2023 sebesar 83 persen, yang perlu menjadi catatan adalah WP yang melaporkan SPT hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah sebenarnya belum mencapai 70 persen dan 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan telah melewati masa pelaporan. Jika mengacu dari tahun 2022, 17 persen dari 30 persen WP yang belum melaporkan SPT Tahunan adalah WP yang berkemungkinan tidak akan melaporkan SPT Tahunannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan program sosialisasi dan edukasi yang efektif tentang pentingnya melaporkan SPT Tahunan secara tepat dan benar, serta mengenai konsekuensi dari ketidakpatuhan. Program ini dapat melibatkan beberapa pihak untuk meningkatkan kesadaran pajak dan pengetahuan wajib pajak. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaporan SPT Tahunan WP untuk mengurangi celah penghindaran pajak oleh korporasi agar SPT Tahunan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemerintah juga dapat memberikan sanksi yang lebih tegas kepada WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan untuk mengurangi jumlah WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan.
Sekilas:
Salah satu indikator penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta meningkatkan rasio perpajakan yaitu dengan patuhnya wajib pajak dalam melakukan pembayaran maupun pelaporan. Masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan Badan untuk tahun pajak 2022 sudah berakhir. Hingga 30 April 2023, WP yang telah melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2022 tercatat sebanyak 13,1 juta WP dengan rincian WP Badan sebanyak 939,9 ribu dan WP Orang Pribadi sebanyak 12,1 juta. Angka ini belum termasuk WP yang mengajukan perpanjangan jangka waktu pelaporan SPT Tahunan yang dapat diperpanjang hingga paling lama 2 bulan sebanyak 11,7 ribu WP. Dengan angka tersebut, persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan saat ini mencapai 67,60 persen (Kementerian Keuangan, 2023). Dan sekitar 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri menargetkan persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan di tahun 2023 sebesar 83 persen atau sebanyak 16,1 juta WP hingga akhir tahun 2023.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang melakukan pelaporan SPT
Tahunan mengalami peningkatan. Pada tahun lalu, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan mencapai 12,48 juta sehingga ada kenaikan 618 ribu WP atau tumbuh 3,63 persen pada tahun ini. Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, persentase kepatuhan WP dalam melaporkan SPT Tahunan sebesar 71,10 persen. Hingga tahun 2022, persentase kepatuhan pelaporan SPT meningkat hingga 83,02 persen meskipun persentase ini sedikit mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 84,07 persen. Hal ini dapat menjadi catatan yang baik bagi pemerintah dan menandakan bahwa dengan kondisi ketidakpastian global serta persepsi publik mengenai pejabat pemerintah saat ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan.
Meskipun pemerintah menargetkan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan hingga akhir tahun 2023 sebesar 83 persen, yang perlu menjadi catatan adalah WP yang melaporkan SPT hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah sebenarnya belum mencapai 70 persen dan 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan telah melewati masa pelaporan. Jika mengacu dari tahun 2022, 17 persen dari 30 persen WP yang belum melaporkan SPT Tahunan adalah WP yang berkemungkinan tidak akan melaporkan SPT Tahunannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan program sosialisasi dan edukasi yang efektif tentang pentingnya melaporkan SPT Tahunan secara tepat dan benar, serta mengenai konsekuensi dari ketidakpatuhan. Program ini dapat melibatkan beberapa pihak untuk meningkatkan kesadaran pajak dan pengetahuan wajib pajak. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaporan SPT Tahunan WP untuk mengurangi celah penghindaran pajak oleh korporasi agar SPT Tahunan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemerintah juga dapat memberikan sanksi yang lebih tegas kepada WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan untuk mengurangi jumlah WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635