Sekilas:
Buku ini membahas ringkasan LHP atas Laporan Keuangan pada
Kementerian/Lembaga Mitra Kerja Komisi X yaitu Badan Ekonomi
Kreatif, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Nasional, dan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Adapun temuan dan
permasalahan yang bersifat strategis dan kiranya perlu mendapat
perhatian
diantaranya adalah temuan pengelolaan bantuan sosial kegiatan Program
Indonesia Pintar (PIP) belum memadai pada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Perlu diketahui bahwa temuan dan permasalahan ini
merupakan temuan berulang dan rekomendasi BPK atas temuan dan
permasalahan ini belum tuntas ditindaklanjuti. Secara garis besar, hal ini
berakibat pada penyaluran bansos PIP yang tidak tepat sasaran kepada
penerima yang membutuhkan. Selain itu, Pada LHP Laporan Keuangan
atas
Kemenristekdikti TA 2019, temuan yang dibahas adalah temuan dan
permasalahan yang mendapat perhatian BPK khususnya yang berkaitan
dengan Pendidikan Tinggi (Dikti). Rekomendasi terkait temuan dan
permasalahan yang terkait dengan pendidikan tinggi ini nantinya akan
ditindaklanjuti oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
yang
pada pemerintahan periode 2019-2024 membawahi Satuan Kerja (Satker)
Perguruan Tinggi.
Sekilas:
Buku ini membahas ringkasan LHP atas Laporan Keuangan pada
Kementerian/Lembaga Mitra Kerja Komisi XI yaitu Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pusat Statistik (BPS),
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Temuan dan permasalahan yang perlu mendapat perhatian diantaranya
adalah sebagai berikut: 1) pengadaan Tanah pada BPS Provinsi
Kalimantan Buku ini membahas ringkasan LHP atas Laporan Keuangan
pada
Kementerian/Lembaga Mitra Kerja Komisi XI yaitu Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pusat Statistik (BPS),
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Temuan dan permasalahan yang perlu mendapat perhatian diantaranya
adalah sebagai berikut: 1) pengadaan Tanah pada BPS Provinsi
Kalimantan Utara sebesar Rp6,44 miliar tidak didukung dengan penilaian
harga tanah
yang andal; 2) pengelolaan Belanja Barang berupa Bantuan Dana untuk
Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS) pada Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) belum sepenuhnya dapat menjamin
penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan; 3) kelemahan
pengendalian
sistem BIMASAKTI dalam mendukung proses penyusunan laporan
keuangan tahunan Bank Indonesia; dan 4) pengelolaan pengeluaran
untuk
membiayai kegiatan OJK belum sepenuhnya memperhatikan realisasi
penerimaan pungutan sehingga terdapat beban Tahun 2019 yang tidak
tersedia dananya dan belum dapat dibayarkan.
Sekilas:
Dukungan pemerintah terhadap pembangunan Desa sangat besar.
Dengan
disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, memungkinkan
terlaksananya pembangunan di desa yang lebih baik. Selain itu, turunan
dari
peraturan tersebut yakni PP No. 60 Tahun 2014 sebagaimana yang telah
diubah
terakhir dengan PP No. 8 Tahun 2016 mengamanatkan pengalokasian
Dana
Desa untuk seluruh desa bersumber dari APBN. Pada 2018-2020,
anggaran
yang dialokasikan dari APBN terus meningkat dan mengalami perbaikan.
Terlihat dari alokasi Dana Desa yang selalu meningkat setiap tahunnya.
Kemudian anggaran berbasis desa yang ada di K/L semakin menurun
untuk
kemudian dialokasikan pada satu pos yaitu Dana Desa. Dari dukungan
anggaran tersebut, perkembangan pembangunan di desa menunjukkan
sisi
kemajuan dan sisi kelemahan. Hasil tersebut dapat dilihat dari 1) Indeks
Pembangunan Desa (IPD) dan Indeks Desa Membangun (IDM); dan 2)
Tingkat
Kemiskinan dan Ketimpangan. Baik IPD maupun IDM menunjukkan status
desa bergeser ke arah yang lebih baik. Dari tingkat kemiskinan dan
ketimpangan, masih menunjukkan kemajuan namun terdapat beberapa
poin
kelemahan yaitu dari sisi tingkat ketajaman penurunan kemiskinan dan
ketimpangan.
Sekilas:
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi, Jenis dan
Organisasi Tahun
2018-2021 secara umum mengalami perubahan mulai tahun 2020 dengan
adanya kondisi
khusus pandemik COVID 19. Belanja Pemerintah Pusat berdasarkan
fungsi secara komposisi
tetap didominasi oleh fungsi pelayanan umum, ekonomi dan perlindungan
sosial. Namun
pada fungsi pelayanan umum mengalami perubahan proporsi yang cukup
signifikan pada
tahun 2020 bila dibandingkan dengan proporsi tahun-tahun sebelumnya
dengan proporsi
sebesar 27 persen pada 2019 lalu menjadi 38 persen pada 2020.
Kemudian Belanja Pemerintah Pusat berdasarkan jenis mulai tahun 2020-
2021
mengalami perubahan komposisi, dimana komponen belanja lain-lain
(Tahun 2020) dan
komponen belanja pembayaran bunga utang (Tahun 2021) mengalami
peningkatan proporsi
yang signifikan akibat dilaksanakannya beberapa program penanganan
dampak pandemi
Covid-19 dan juga pelaksanaan beberapa stimulus fiskal dalam rangka
program pemulihan
ekonomi nasional. Hal ini juga yang menyebabkan perubahan porsi
belanja K/L non-K/L pada
tahun 2020 dimana porsi belanja non-K/L lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan belanja
K/L.
Selanjutnya Perubahan komposisi Belanja Pemerintah Pusat berdasarkan
organisasi di
tahun anggaran 2020 dan 2021 terjadi di Kementerian Riset dan
Teknologi/Badan Riset
Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) yang mengalami penurunan
anggaran signifikan akibat
perubahan nomenklatur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang
dipindahkan ke
Kemendikbud. Sehingga posisi 10 K/L dengan anggaran terbesar
digantikan oleh Kementerian
Pertanian. Kemudian pada tahun 2021 proporsi Kementerian Komunikasi
dan Informatika
juga memperoleh pagu anggaran cukup besar yaitu Rp16,96 triliun
karena urgensi
pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di era
transformasi digital khususnya
pada saat pandemik ini
Sekilas:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas PP
Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan
Modal Negara Pada
Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas, Penyertaan Modal
Negara adalah
pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau penetapan
cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal
BUMN dan/atau
Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. Pemerintah
dapat memberikan
penyertaan modal negara untuk 3 hal, yaitu : (1) Pendirian BUMN atau
Perseroan Terbatas;
(2) Penyertaan Modal Negara pada Perseroan Terbatas yang didalamnya
belum terdapat
saham milik Negara; atau (3) Penambahan Penyertaan Modal Negara
pada BUMN atau
Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah terdapat saham milik Negara.
Dalam PP yang
sama, dijelaskan juga bahwa alokasi dana PMN berasal dari 3 sumber
dana, yaitu Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, kapitalisasi cadangan, dan dari sumber
lainnya (keuntungan
revaluasi aset dan/atau agio saham).
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635