Sekilas APBN

MASA PELAPORAN BERAKHIR,LEBIH DARI 30PERSEN WAJIB PAJAK BELUM LAPOR SPT / Mei 2023

Sekilas:
Salah satu indikator penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta meningkatkan rasio perpajakan yaitu dengan patuhnya wajib pajak dalam melakukan pembayaran maupun pelaporan. Masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan Badan untuk tahun pajak 2022 sudah berakhir. Hingga 30 April 2023, WP yang telah melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2022 tercatat sebanyak 13,1 juta WP dengan rincian WP Badan sebanyak 939,9 ribu dan WP Orang Pribadi sebanyak 12,1 juta. Angka ini belum termasuk WP yang mengajukan perpanjangan jangka waktu pelaporan SPT Tahunan yang dapat diperpanjang hingga paling lama 2 bulan sebanyak 11,7 ribu WP. Dengan angka tersebut, persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan saat ini mencapai 67,60 persen (Kementerian Keuangan, 2023). Dan sekitar 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri menargetkan persentase angka kepatuhan pelaporan SPT Tahunan di tahun 2023 sebesar 83 persen atau sebanyak 16,1 juta WP hingga akhir tahun 2023. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang melakukan pelaporan SPT Tahunan mengalami peningkatan. Pada tahun lalu, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan mencapai 12,48 juta sehingga ada kenaikan 618 ribu WP atau tumbuh 3,63 persen pada tahun ini. Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, jumlah WP yang melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, persentase kepatuhan WP dalam melaporkan SPT Tahunan sebesar 71,10 persen. Hingga tahun 2022, persentase kepatuhan pelaporan SPT meningkat hingga 83,02 persen meskipun persentase ini sedikit mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 84,07 persen. Hal ini dapat menjadi catatan yang baik bagi pemerintah dan menandakan bahwa dengan kondisi ketidakpastian global serta persepsi publik mengenai pejabat pemerintah saat ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan. Meskipun pemerintah menargetkan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan hingga akhir tahun 2023 sebesar 83 persen, yang perlu menjadi catatan adalah WP yang melaporkan SPT hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah sebenarnya belum mencapai 70 persen dan 30 persen WP atau sekitar 6,25 juta WP yang belum melaporkan SPT Tahunan telah melewati masa pelaporan. Jika mengacu dari tahun 2022, 17 persen dari 30 persen WP yang belum melaporkan SPT Tahunan adalah WP yang berkemungkinan tidak akan melaporkan SPT Tahunannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan program sosialisasi dan edukasi yang efektif tentang pentingnya melaporkan SPT Tahunan secara tepat dan benar, serta mengenai konsekuensi dari ketidakpatuhan. Program ini dapat melibatkan beberapa pihak untuk meningkatkan kesadaran pajak dan pengetahuan wajib pajak. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaporan SPT Tahunan WP untuk mengurangi celah penghindaran pajak oleh korporasi agar SPT Tahunan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemerintah juga dapat memberikan sanksi yang lebih tegas kepada WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan untuk mengurangi jumlah WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan.




Mewaspadai Guncangan Akibat Keruntuhan Bank Besar di Amerika Serikat / Maret 2023

Sekilas:
Sistem keuangan global khususnya Amerika Serikat mengalami guncangan akibat penutupan secara mendadak Silicon Valley Bank (SVB) oleh California Department of Financial Protection and Innovation pada 10 Maret 2023. SVB sebelumnya adalah salah satu bank terbesar yang mendanai industri teknologi startup serta merupakan bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS). Kebangkrutan SVB sendiri terjadi setelah terjadi aksi bank run atau penarikan dana secara besar-besaran dari nasabahnya. Hal ini ditengarai kenaikan suku bunga agresif The Fed yang membuat imbal hasil surat utang melonjak tajam dan di sisi lain, harga obligasi ambruk. Kondisi ini berpotensi dapat memicu resesi ekonomi AS yang lebih besar, yang akan berdampak pada perekonomian dunia termasuk Indonesia. Tidak dipungkiri AS adalah ekonomi terbesar di dunia, melemahnya ekonomi di negara tersebut berpotensi berdampak terhadap arus perdagangan dan investasi internasional. AS merupakan negara tujuan ekspor kedua terbesar bagi Indonesia dengan pangsa 10,22 persen di tahun 2022 (Kementerian Perdagangan, 2023). Dengan adanya kontraksi ekonomi di negara tersebut tentunya akan memengaruhi nilai ekspor Indonesia. Namun dikarenakan porsi net ekspor kita terhadap PDB relatif kecil sehingga probabilitas resesi juga relatif kecil. Dari sisi investasi, kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah juga relatif kecil yaitu 14,36 persen per Desember 2022 (Kementerian Keuangan, 2023). Dengan demikian, risiko yang ditimbulkan akibat capital outflow juga relatif terjaga. Di tengah berbagai gejolak keuangan global, industri perbankan dalam negeri tetap kuat dan bertumbuh. Hal ini tercermin dari beberapa indikator perbankan yang masih terjaga baik. OJK mencatat rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan per Februari 2023 berada pada level yang tinggi yaitu 26,1 persen. Dari sisi likuiditas, tercatat bahwa rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) mencapai 29,13 persen jauh di atas ambang batas 10 persen. Adapun risiko kredit di Februari 2023 relatif rendah dengan rasio NPL yaitu 3,08 persen secara bruto. Meskipun beberapa indikator di atas menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia yang cukup terjaga, namun runtuhnya SVB ini harus tetap diantisipasi dan dimitigasi. Terutama dampaknya terhadap industri teknologi Indonesia yang memperoleh pendanaan dari perusahaan modal ventura AS, yang sebagian besar didukung oleh SVB. Dengan kolapsnya SVB dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan industri teknologi Indonesia yang selama ini menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi negara. Selain itu, runtuhnya SVB dan beberapa bank lainnya dapat memicu krisis kepercayaan yang lebih luas pada sistem keuangan dunia, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian dan ketidakstabilan. Atas kondisi tersebut, pemerintah tetap perlu mengantisipasi terjadinya potensi pelarian modal yang besar dari negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini yang kemudian dapat mengakibatkan penurunan nilai rupiah, meningkatkan biaya impor dan kemungkinan memicu inflasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah, otoritas terkait serta investor Indonesia untuk memantau situasi dengan cermat dan bersiap-siap untuk segala potensi dampak terhadap perekonomian negara.




Mewaspadai Guncangan Akibat Keruntuhan Bank Besar di Amerika Serikat / Maret 2023

Sekilas:
Sistem keuangan global khususnya Amerika Serikat mengalami guncangan akibat penutupan secara mendadak Silicon Valley Bank (SVB) oleh California Department of Financial Protection and Innovation pada 10 Maret 2023. SVB sebelumnya adalah salah satu bank terbesar yang mendanai industri teknologi startup serta merupakan bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS). Kebangkrutan SVB sendiri terjadi setelah terjadi aksi bank run atau penarikan dana secara besar-besaran dari nasabahnya. Hal ini ditengarai kenaikan suku bunga agresif The Fed yang membuat imbal hasil surat utang melonjak tajam dan di sisi lain, harga obligasi ambruk. Kondisi ini berpotensi dapat memicu resesi ekonomi AS yang lebih besar, yang akan berdampak pada perekonomian dunia termasuk Indonesia. Tidak dipungkiri AS adalah ekonomi terbesar di dunia, melemahnya ekonomi di negara tersebut berpotensi berdampak terhadap arus perdagangan dan investasi internasional. AS merupakan negara tujuan ekspor kedua terbesar bagi Indonesia dengan pangsa 10,22 persen di tahun 2022 (Kementerian Perdagangan, 2023). Dengan adanya kontraksi ekonomi di negara tersebut tentunya akan memengaruhi nilai ekspor Indonesia. Namun dikarenakan porsi net ekspor kita terhadap PDB relatif kecil sehingga probabilitas resesi juga relatif kecil. Dari sisi investasi, kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah juga relatif kecil yaitu 14,36 persen per Desember 2022 (Kementerian Keuangan, 2023). Dengan demikian, risiko yang ditimbulkan akibat capital outflow juga relatif terjaga. Di tengah berbagai gejolak keuangan global, industri perbankan dalam negeri tetap kuat dan bertumbuh. Hal ini tercermin dari beberapa indikator perbankan yang masih terjaga baik. OJK mencatat rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan per Februari 2023 berada pada level yang tinggi yaitu 26,1 persen. Dari sisi likuiditas, tercatat bahwa rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) mencapai 29,13 persen jauh di atas ambang batas 10 persen. Adapun risiko kredit di Februari 2023 relatif rendah dengan rasio NPL yaitu 3,08 persen secara bruto. Meskipun beberapa indikator di atas menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia yang cukup terjaga, namun runtuhnya SVB ini harus tetap diantisipasi dan dimitigasi. Terutama dampaknya terhadap industri teknologi Indonesia yang memperoleh pendanaan dari perusahaan modal ventura AS, yang sebagian besar didukung oleh SVB. Dengan kolapsnya SVB dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan industri teknologi Indonesia yang selama ini menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi negara. Selain itu, runtuhnya SVB dan beberapa bank lainnya dapat memicu krisis kepercayaan yang lebih luas pada sistem keuangan dunia, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian dan ketidakstabilan. Atas kondisi tersebut, pemerintah tetap perlu mengantisipasi terjadinya potensi pelarian modal yang besar dari negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini yang kemudian dapat mengakibatkan penurunan nilai rupiah, meningkatkan biaya impor dan kemungkinan memicu inflasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah, otoritas terkait serta investor Indonesia untuk memantau situasi dengan cermat dan bersiap-siap untuk segala potensi dampak terhadap perekonomian negara.




Permenaker 5/2023, Bikin Kericuhan Baru Lagi Antara Buruh dan Pengusaha? / Maret 2023

Sekilas:
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional serta untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha. Tujuan pemerintah mengeluarkan Permenaker 5/2023 untuk mengantisipasi adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Industri berbasis eskpor khususnya padat karya karena adanya penurunan permintaan pasar. Dalam permenaker ini disebutkan jika penurunan permintaan pasar menyebabkan kegiatan usaha menjadi berkurang signifikan. Oleh karena itu, permenaker ini mengizinkan untuk industri padat karya yang masuk dalam kriteria untuk melakukan penyesuaian waktu kerja dimana saja dilakukan dalam kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan waktu berlaku penyesuaian waktu kerja ini selama enam bulan terhitung sejak peraturan menteri ini mulai berlaku. Dengan terbitnya Permenaker 5/2023 ini mengakibatkan pro dan kontra antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dari sisi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras terbitnya Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor. Pertama, KSPI menilai Permenaker 5/2023 ini melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ditandatangani oleh presiden mengenai upah minimum. Seperti, pasal 88E ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Kedua, menurunkan daya beli para pekerja / buruh. Sedangkan yang ketiga, perusahaan padat karya sudah mendapatkan beragam kompensasi seperti menerima tax holiday, menerima keringanan bunga bank, dan tax amnesty. Dari sisi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyambut baik Permenaker 5/2023 sekaligus yang dibutuhkan pengusaha untuk mengantisipasi dan meminimalisir pemutusan hubungan kerja atau PHK. Disebabkan oleh market industri tekstil dan produk tekstil atau TPT belum pulih baik global maupun lokal. Permintaan ekspor menurun signifikan karena inflasi di Amerika Serikat dan Eropa. Dimana kondisi ini membuat banyak industri TPT melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap tenaga kerjanya. Diperlukan dialog sosial antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang dijembatani oleh pemerintah untuk menemukan jalan tengah tentang permasalahan upah pekerja. Dimana permasalahan upah buruh/pekerja yang akan terus ada dan diperlukan pertimbangan matang oleh pemerintah untuk menerbitkan suatu kebijakan. Jangan sampai kebijakan ini tidak memecahkan suatu permasalahan dan malah menambah masalah baru.




Tepatkah Alokasi Dana Desa Naik Hingga 10 Persen dari APBN? / Maret 2023

Sekilas:
Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang merupakan gabungan para kepala desa menyampaikan usulan untuk menaikkan besaran porsi Dana Desa menjadi 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan besaran tersebut jika mengacu pada APBN 2023 saja maka besaran Dana Desa akan naik mencapai Rp 300 triliun. Angka tersebut naik berkali lipat dari pagu Dana Desa di tahun 2023 yang ditetapkan sebesar Rp70 triliun atau sekitar 2,28 persen dari APBN 2023. Seyogianya usulan tersebut dapat dipertimbangkan Pemerintah mengingat pembangunan selayaknya harus berfokus pada desa dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam pelaksanaannya sejak tahun 2015, tidak dapat dipungkiri bahwa alokasi Dana Desa telah memberikan andil terhadap pembangunan wilayah pedesaan, khususnya dalam pemenuhan infrastruktur dan pelayanan dasar bagi masyarakat desa. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah APBN memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut? Rasanya usulan tersebut pun akan sulit tercapai dalam waktu dekat, setidaknya tidak untuk tahun 2024 mengingat kepemimpinan pemerintahan periode ini yang akan segera berakhir. Sehingga, alokasi anggaran cenderung akan lebih diprioritaskan pada berbagai program prioritas pemerintahan saat ini, salah satunya adalah pembangunan IKN. Ruang fiskal APBN pun akan semakin terbatas dan jika dipaksakan maka utang negara pun diprediksi akan semakin besar. Tidak hanya itu, usulan untuk menambah alokasi Dana Desa pun layaknya perlu disertai dengan dasar fundamental yang jelas serta perhitungan yang dilakukan secara hati-hati dan akurat. Pasalnya, kualitas pengelolaan Dana Desa oleh pemerintah desa hingga saat ini pun masih menjadi pertanyaan. Perlu diingat bahwa formulasi penentuan alokasi Dana Desa selama ini pun bukan tanpa perhitungan yang tidak jelas, namun telah mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat geografi di masing-masing wilayah. Meski demikian, total alokasi Dana Desa yang telah digelontorkan sebesar Rp468 triliun hingga 2022 pun nyatanya belum mampu secara signifikan menurunkan angka kemiskinan. Hingga tahun 2022 persentase angka kemiskinan di pedesaan masih cukup tinggi yaitu sebesar 12,29 persen (BPS, 2023). Berbagai isu terkait dengan kualitas pengelolaan Dana Desa pun perlu menjadi pertimbangan manakala Pemerintah hendak menaikkan besaran alokasi Dana Desa. Lantaran berbagai bentuk modus dan penyelewengan anggaran desa hingga saat ini masih kerap terjadi karena sulitnya melakukan pengawasan yang diperparah dengan minimnya partisipasi masyarakat desa terhadap transparansi pengelolaan Dana Desa. Selain itu, jikapun alokasi Dana Desa mengambil porsi APBN sebesar 10 persen, maka kecenderungan tumpang tindihnya dan/atau replikasi program antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga akan semakin besar, mengingat terdapat alokasi anggaran dari kementerian lain (selain Kementerian Desa & PDTT), dengan program dan kegiatan yang fokus pelaksanaannya juga berada di desa seperti Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian Kesehatan dan lainnya. Oleh karena itu, usulan untuk menambah alokasi anggaran Dana Desa layaknya perlu dipertimbangkan dengan matang dan tidak terburu-buru. Sebelum menambah porsi alokasi Dana Desa, evaluasi terhadap efektivitas dan kualitas pengelolaan Dana Desa di masing-masing wilayah selama ini pun perlu dilakukan. Kita tentu tidak ingin penambahan alokasi anggaran Dana Desa yang besar ditetapkan tanpa adanya perhitungan dan kajian yang kuat, yang tidak jelas pertanggungjawabannya.




← Sebelumnya 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Selanjutnya →