Jurnal Budget

Vol. 6 / No. 1 - Juni 2021

Penulis:

Sekilas:
Saat ini, pengelolaan energi harus menjadi modal pembangunan nasional. Dalam mewujudkannya, maka diperlukan pengelolaan energi yang optimal dari sisi hulu maupun hilir, yaitu pengelolaan sumber daya energi yang terpadu dan berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan energi dalam negeri, pemanfaatannya yang efisien dan jaminan kemerataannya, serta pengendaliannya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan berbagai terobosan kebijakan, yang salah satunya adalah percepatan pembangunan infrastruktur energi dengan berprinsip pada pengelolaan yang berkelanjutan. Dari pembangunan tersebut, diharapkan akan memberikan dampak positif, baik bagi perekonomian maupun kualitas lingkungan. Indikator-indikator untuk melihat dampak tersebut di antaranya adalah tingkat konsumsi energi, produk domestik bruto (PDB), dan emisi gas rumah kaca, dalam hal ini yaitu karbon dioksida. Ketiga variabel tersebut seharusnya saling berpengaruh. Namun demikian, apakah benar hubungan pengaruh antara konsumsi energi, PDB, dan emisi karbon dioksida hanya bersifat satu arah, atau seluruh variabel tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaruh hubungan antarvariabel konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, dan emisi CO2 di Indonesia pada periode 1980-2019. Untuk melihat bentuk hubungan timbal balik antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen yang diteliti apakah hubungan searah atau dua arah, maka pada penelitian ini menggunakan pengujian kausalitas Granger. Dari uji hubungan kausalitas Granger, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi, tidak terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi lingkungan, serta penggunaan energi dan emisi CO2 memiliki hubungan kausalitas 1 arah, dimana terdapat hubungan searah dari konsumsi energi terhadap emisi CO2. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pengelolaan energi di Indonesia dapat dikatakan belum optimal, hal ini tidak hanya terlihat dari penggunaannya yang kurang menstimulus perekonomian, tetapi juga menghasilkan emisi CO2 yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkannya di antaranya, pertama, pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh kegiatan labour intensive daripada bergantung pada konsumsi energi (non-energy intensive). Kedua, konsumsi energi sebagian besar masyarakat Indonesia didominasi oleh kegiatan nonproduktif seperti sarana transportasi dan penggunaan alat elektronik di rumah tangga. Ketiga, lebih dari 70 persen konsumsi energi di Indonesia masih menggunakan energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 35 persen dan batubara sebesar 37 persen, dimana, penggunaan energi yang terus meningkat mampu memengaruhi emisi lingkungan di Indonesia. Beberapa rekomendasi dari hasil penelitian ini ialah, pertama, pemerintah perlu menetapkan dan menjalankan kebijakan yang mendorong efisiensi energi agar intensitas energi semakin rendah. Kedua, diperlukan transformasi teknologi rendah karbon. Ketiga, pemerintah perlu mendorong mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai sektor, terutama transportasi, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Terakhir, DPR maupun pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (UU EBT) dalam mendukung pengembangan investasi EBT.

Penulis:

Sekilas:
Meskipun Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) beserta aturan turunannya telah diterbitkan, tetapi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian masih marak terjadi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat persoalan dalam implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Laju alih fungsi lahan sawah nasional diperkirakan sebesar 96.512 hektar per tahun. Dengan laju tersebut, lahan sawah yang saat ini seluas 8,1 juta hektar diprediksi akan menciut menjadi hanya 5,1 juta hektar pada tahun 2045. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas UU tentang PLP2B. Sedangkan, metode penelitian ini menggunakan statistik deskriptif dan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu UU tentang PLP2B belum memuat aturan insentif bagi pemerintah daerah yang memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya dan disinsentif bagi pemerintah daerah yang tidak memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya. Insentif bagi petani dalam PP No. 12 Tahun 2012 masih tumpang tindih antara insentif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. PP No. 30 Tahun 2012 belum mengatur kelembagaan dan besaran pembiayaan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah yang menetapkan luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW dengan insentif berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian. Sedangkan pemerintah daerah yang tidak menetapkan, tidak diberikan DAK bidang pertanian. Kedua, pemberian insentif bagi petani yang ikut PLP2B dengan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) prapanen dan pascapanen. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan biaya ekstensifikasi menggunakan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).

Penulis:

Sekilas:
Pendapatan APBN merupakan salah satu sumber penerimaan pada Badan Layanan Umum (BLU) sebagai sumber dana dalam pemberian layanan kepada masyarakat sesuai tugas dan fungsinya. Kualitas layanan masyarakat maupun kualitas instansi BLU rumpun pendidikan dicerminkan oleh kualitas akreditasi insitusi BLU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran BLU pendidikan khususnya alokasi pendapatan APBN dan akreditasi BLU pendidikan, untuk mengetahui hubungan antara alokasi rasio pendapatan APBN dan akreditasi BLU pendidikan, serta untuk mengetahui pengaruh alokasi rasio pendapatan pada BLU pendidikan yang terakreditasi dan yang tidak terakreditasi. Akreditasi merupakan sebuah ukuran mutu suatu perguruan tinggi yang kriteria pengukurannya diuji dalam prosedur dan kriteria akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Berdasarkan Lampiran Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 3 Tahun 2019 tentang Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi, mutu suatu universitas ditetapkan berdasarkan empat dimensi, yaitu mutu kepemimpinan dan kinerja tata kelola, mutu dan produktivitas luaran (outputs) dan capaian (outcomes), mutu proses, serta mutu input. Menurut lampiran tersebut, pendapatan alokasi APBN dapat dikategorikan sebagai bagian keuangan yang ada pada dimensi mutu input. Pengkategorian tersebut membuat pendapatan alokasi APBN sebagai salah satu aspek yang memengaruhi akreditasi perguruan tinggi yang ditetapkan oleh BAN- PT. Oleh karena itu, BLU rumpun pendidikan perlu mengelola kinerja keuangan BLU pendidikan, khususnya pendapatan alokasi APBN, agar bisa meningkatkan mutu input yang memengaruhi akreditasi BLU rumpun pendidikan. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan metode analisis menggunakan uji korelasi Rank Spearman dan uji U Mann-Whitney. Purposive sampling dipilih menjadi metode dalam pengambilan sampel dan diperoleh 60 sampel dengan jangka waktu penelitian selama 3 tahun yaitu (2017-2019). Berdasarkan analisa kualitatif dari 60 sampel BLU pendidikan yang menjadi objek penelitian, terdapat 28 BLU yang mengalami penurunan alokasi pendapatan BLU, sedangkan 32 BLU pendidikan mengalami peningkatan alokasi pendapatan APBN BLU. Pada 60 sampel BLU pendidikan yang menjadi objek penelitian yang mendapatkan akreditasi A sebesar 26 BLU pendidikan, akreditasi B sebanyak 12 BLU pendidikan, akreditasi C sebanyak 1 BLU pendidikan, dan tidak mendapatkan akreditasi sebanyak 14 BLU pendidikan. Terdapat hubungan rasio alokasi pendapatan APBN dengan akreditasi pada BLU pendidikan dengan nilai korelasi sebesar 0,565 (sedang dan positif). Berdasarkan uji U Mann-Whitney, alokasi rasio pendapatan pada BLU yang terakreditasi berbeda dengan BLU yang tidak terakreditasi

Penulis:

Sekilas:
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bauran kebijakan makro ekonomi yang berperan untuk mencapai tujuan makroekonomi suatu negara yang telah diuraikan dalam rencana pembangunannya. Efektivitas kedua kebijakan tersebut mutlak diperlukan untuk mencapai target pembangunan dan menciptakan stabilitas perekonomian. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam menangani inflasi di Indonesia periode 1984-2019. Variabel yang menjadi proxy kebijakan fiskal adalah belanja pemerintah (rBP) dan penerimaan pajak (rPP). Sedangkan yang menjadi proxy kebijakan moneter adalah suku bunga Indonesia (rSBI) dan kurs (rKurs). Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif dengan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) karena variabel terkointegrasi tetapi stasioner pada perbedaan pertama. Hasil dari penelitian ini adalah impulse respon function (IRF) menunjukkan shock dari kebijakan fiskal direspon lebih cepat oleh inflasi untuk mencapai tingkat kestabilan dibandingkan shock yang diberikan kebijakan moneter. Sedangkan berdasarkan hasil dari uji variance decomposition (VD), variabel rBP memiliki kontribusi terbesar 89,15 persen terhadap rInflasi. Sedangkan rPP berkontribusi 1,12 persen, rSBI berkontribusi sebesar 0,01 persen, dan rKurs berkontribusi sebesar 8,21 persen terhadap rInflasi. Sehingga berdasarkan hasil uji VECM terhadap efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi periode 1984-2019, dihasilkan bahwa kebijakan fiskal memiliki efektivitas lebih besar dibandingkan kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi. Saran terhadap penelitian selanjutnya agar menambahkan variabel yang menjadi proxy kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Di samping itu, sebaiknya juga menggunakan metodologi kualitatif untuk menguraikan faktor- faktor yang memengaruhi kebijakan fiskal atau kebijakan moneter agar lebih efektif dalam menangani inflasi yang terjadi.

Penulis: Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. ❖ Ade Nurul Aida, S.E., M.E.

Sekilas:
PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semakin tinggi PAD suatu daerah, maka daerah tersebut semakin mampu untuk mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat. Elastisitas PAD terhadap PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi fiskal di daerah. Dengan mengetahui elastisitas PAD, dapat diketahui kepekaan perubahan pajak terhadap PDRB. Untuk itu penelitian ini akan melakukan evaluasi terkait struktur PAD, yakni dengan melihat elastisitas PAD terhadap PDRB di Indonesia, khususnya dalam era otonomi daerah yang telah dilaksanakan selama dua dekade ini. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data panel yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun data yang digunakan berasal dari tahun 2015 hingga tahun 2019. Data tersebut akan dianalisis secara deskriptif dan dengan menggunakan OLS. Metode deskripsi digunakan untuk melihat elastisitas di masing-masing provinsi di Indonesia. Sedangkan metode OLS digunakan untuk melihat elastisitas secara nasional. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa setiap terjadi pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1 persen, terdapat pertumbuhan PAD sebesar 1,33 persen. Hal ini terlihat dengan semakin besarnya kontribusi PAD dalam membiayai belanja daerah. Apabila dilihat per provinsi, sebagian besar provinsi di Indonesia sudah menunjukkan bahwa PAD yang diperoleh bersifat elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah sudah memiliki kemampuan untuk menggali potensi-potensi penerimaan di daerah. Namun dari 34 provinsi di Indonesia, masih terdapat 5 provinsi yang PAD-nya tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Kelima provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah dari kelima provinsi tersebut perlu berinovasi dalam menggali sumber pendapatan daerah yang potensial, misalnya dengan mengintensifkan pemungutan objek-objek pajak, mengelola potensi daerah melalui penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun meningkatkan pendapatan asli daerah dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui perbaikan fasilitas objek pajak dan retribusi.

Penulis:

Sekilas:
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU tentang Cipta Kerja) telah mengubah dan menambah beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD), yang masuk dalam klaster kemudahan berusaha. Untuk melaksanakannya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah (PP tentang PDRD). Pengaturan dalam kedua beleid tersebut berimplikasi pada perubahan kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah, yang pada gilirannya akan berdampak pada keuangan negara dan keuangan daerah. Dengan menggunakan penelitian kualitatif melalui pendekatan yuridis normatif, tulisan ini hendak menganalisis perubahan kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah berdasarkan UU tentang Cipta Kerja dan PP tentang PDRD, serta implikasinya terhadap keuangan negara dan keuangan daerah. Hasil studi menyimpulkan bahwa lahirnya UU tentang Cipta Kerja dan PP tentang PDRD telah memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah, dihapusnya kewenangan daerah untuk memungut retribusi gangguan, dihapusnya kewenangan pembatalan peraturan daerah (perda) pajak dan retribusi daerah yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan kemudian diganti dengan kewenangan untuk memaksa pemerintah daerah untuk melakukan perubahan perda pajak dan retribusi daerah, adanya kewenangan pemerintah daerah memberikan insentif fiskal, dan adanya kewenangan pemerintah untuk dapat memberikan insentif anggaran kepada pemerintah daerah. Selain itu, hasil studi juga menyimpulkan bahwa perubahan kewenangan tersebut akan berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan asli daerah kabupaten/kota, semakin memburuknya derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota, penurunan belanja daerah yang berimplikasi pada terganggunya pelayanan publik di daerah, serta memburuknya ketergantungan daerah.

Penulis:

Sekilas:
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan gambaran dari dilaksanakannya kebijakan pembangunan yang diambil oleh negara tersebut. Peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikasi adanya peningkatan pendapatan, yang pada gilirannya mencerminkan tingkat kesejahteraan. Pentingnya pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah setiap negara berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Upaya Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menumbuhkan sektor investasi. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi dan menjadi faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang artinya investasi merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Tenaga kerja memegang peranan yang memungkinkan suatu daerah dapat menambah produksi dalam menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Ekspor suatu negara memainkan peran penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor dapat menyuplai anggaran negara melalui pendapatan dan mata uang asing yang dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan menciptakan iklim investasi yang menarik ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh dari investasi, tenaga kerja, dan nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa penanaman modal asing, penanaman modal dalam negeri, dan ekspor ditemukan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, variabel tenaga kerja ditemukan berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penulis:

Sekilas:
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kausalitas antara bonus demografi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di wilayah Indonesia. Bonus demografi berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena penduduk berusia produktif memperoleh pendapatan, sehingga secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). IPM merupakan suatu kondisi dimana setiap penduduk mampu mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan pendidikan, sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Angka IPK adalah suatu nilai yang menggambarkan kondisi keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan secara komposit yang mencakup 9 (sembilan) indikator utama pembangunan ketenagakerjaan yang sangat mendasar, dan jika indikator tersebut dikelola dengan baik maka akan memicu pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Hasil pengujian kausalitas antara variabel bonus demografi, IPM, IPK, dan pertumbuhan ekonomi provinsi Indonesia pada tahun 2018-2020 menunjukkan bahwa rasio dependensi dapat memperkirakan variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita (growth per kapita) secara signifikan, namun tidak sebaliknya. Sementara itu, IPM dapat memprediksi variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita (growth per kapita) secara dua arah, sedangkan IPK tidak dapat memprediksi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita (growth per kapita), begitu pula sebaliknya.