Penulis:
Sekilas:
Saat ini, pengelolaan energi harus menjadi modal pembangunan nasional.
Dalam mewujudkannya, maka diperlukan pengelolaan energi yang optimal dari
sisi hulu maupun hilir, yaitu pengelolaan sumber daya energi yang terpadu dan
berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan energi dalam
negeri, pemanfaatannya yang efisien dan jaminan kemerataannya, serta
pengendaliannya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan berbagai terobosan kebijakan, yang salah satunya
adalah percepatan pembangunan infrastruktur energi dengan berprinsip pada
pengelolaan yang berkelanjutan. Dari pembangunan tersebut, diharapkan akan
memberikan dampak positif, baik bagi perekonomian maupun kualitas lingkungan.
Indikator-indikator untuk melihat dampak tersebut di antaranya adalah tingkat
konsumsi energi, produk domestik bruto (PDB), dan emisi gas rumah kaca, dalam
hal ini yaitu karbon dioksida. Ketiga variabel tersebut seharusnya saling
berpengaruh. Namun demikian, apakah benar hubungan pengaruh antara
konsumsi energi, PDB, dan emisi karbon dioksida hanya bersifat satu arah, atau
seluruh variabel tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu,
tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaruh hubungan antarvariabel
konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, dan emisi CO2 di Indonesia pada periode
1980-2019. Untuk melihat bentuk hubungan timbal balik antara variabel-variabel
independen dengan variabel dependen yang diteliti apakah hubungan searah atau
dua arah, maka pada penelitian ini menggunakan pengujian kausalitas Granger.
Dari uji hubungan kausalitas Granger, diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi, tidak
terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan emisi
lingkungan, serta penggunaan energi dan emisi CO2 memiliki hubungan kausalitas
1 arah, dimana terdapat hubungan searah dari konsumsi energi terhadap emisi
CO2. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pengelolaan energi di Indonesia
dapat dikatakan belum optimal, hal ini tidak hanya terlihat dari penggunaannya
yang kurang menstimulus perekonomian, tetapi juga menghasilkan emisi CO2
yang cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkannya di antaranya, pertama,
pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh kegiatan labour intensive daripada
bergantung pada konsumsi energi (non-energy intensive). Kedua, konsumsi
energi sebagian besar masyarakat Indonesia didominasi oleh kegiatan
nonproduktif seperti sarana transportasi dan penggunaan alat elektronik di rumah
tangga. Ketiga, lebih dari 70 persen konsumsi energi di Indonesia masih
menggunakan energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 35 persen dan batubara sebesar 37 persen, dimana, penggunaan energi yang terus meningkat mampu
memengaruhi emisi lingkungan di Indonesia. Beberapa rekomendasi dari hasil
penelitian ini ialah, pertama, pemerintah perlu menetapkan dan menjalankan
kebijakan yang mendorong efisiensi energi agar intensitas energi semakin rendah.
Kedua, diperlukan transformasi teknologi rendah karbon. Ketiga, pemerintah perlu
mendorong mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai
sektor, terutama transportasi, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Terakhir, DPR
maupun pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Energi Baru
Terbarukan (UU EBT) dalam mendukung pengembangan investasi EBT.
Penulis:
Sekilas:
Meskipun Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) beserta aturan turunannya
telah diterbitkan, tetapi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian
masih marak terjadi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat
persoalan dalam implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (PLP2B). Laju alih fungsi lahan sawah nasional diperkirakan
sebesar 96.512 hektar per tahun. Dengan laju tersebut, lahan sawah yang saat ini
seluas 8,1 juta hektar diprediksi akan menciut menjadi hanya 5,1 juta hektar pada
tahun 2045. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas UU tentang PLP2B. Sedangkan, metode penelitian ini menggunakan
statistik deskriptif dan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu UU tentang
PLP2B belum memuat aturan insentif bagi pemerintah daerah yang memasukkan
PLP2B dalam RTRW-nya dan disinsentif bagi pemerintah daerah yang tidak
memasukkan PLP2B dalam RTRW-nya. Insentif bagi petani dalam PP No. 12
Tahun 2012 masih tumpang tindih antara insentif dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. PP No. 30 Tahun 2012
belum mengatur kelembagaan dan besaran pembiayaan dalam kegiatan
pengembangan ekstensifikasi. Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh
pemerintah, yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah yang
menetapkan luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW
dengan insentif berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian. Sedangkan
pemerintah daerah yang tidak menetapkan, tidak diberikan DAK bidang pertanian.
Kedua, pemberian insentif bagi petani yang ikut PLP2B dengan pemberian
bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) prapanen dan pascapanen. Ketiga,
membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan biaya
ekstensifikasi menggunakan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
Penulis:
Sekilas:
Pendapatan APBN merupakan salah satu sumber penerimaan pada Badan
Layanan Umum (BLU) sebagai sumber dana dalam pemberian layanan kepada
masyarakat sesuai tugas dan fungsinya. Kualitas layanan masyarakat maupun
kualitas instansi BLU rumpun pendidikan dicerminkan oleh kualitas akreditasi
insitusi BLU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran BLU pendidikan
khususnya alokasi pendapatan APBN dan akreditasi BLU pendidikan, untuk
mengetahui hubungan antara alokasi rasio pendapatan APBN dan akreditasi BLU
pendidikan, serta untuk mengetahui pengaruh alokasi rasio pendapatan pada BLU
pendidikan yang terakreditasi dan yang tidak terakreditasi.
Akreditasi merupakan sebuah ukuran mutu suatu perguruan tinggi yang
kriteria pengukurannya diuji dalam prosedur dan kriteria akreditasi yang ditetapkan
oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Berdasarkan
Lampiran Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 3 Tahun
2019 tentang Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi, mutu suatu universitas
ditetapkan berdasarkan empat dimensi, yaitu mutu kepemimpinan dan kinerja tata
kelola, mutu dan produktivitas luaran (outputs) dan capaian (outcomes), mutu
proses, serta mutu input. Menurut lampiran tersebut, pendapatan alokasi APBN
dapat dikategorikan sebagai bagian keuangan yang ada pada dimensi mutu input.
Pengkategorian tersebut membuat pendapatan alokasi APBN sebagai salah satu
aspek yang memengaruhi akreditasi perguruan tinggi yang ditetapkan oleh BAN-
PT. Oleh karena itu, BLU rumpun pendidikan perlu mengelola kinerja keuangan
BLU pendidikan, khususnya pendapatan alokasi APBN, agar bisa meningkatkan
mutu input yang memengaruhi akreditasi BLU rumpun pendidikan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan metode analisis
menggunakan uji korelasi Rank Spearman dan uji U Mann-Whitney. Purposive
sampling dipilih menjadi metode dalam pengambilan sampel dan diperoleh 60
sampel dengan jangka waktu penelitian selama 3 tahun yaitu (2017-2019).
Berdasarkan analisa kualitatif dari 60 sampel BLU pendidikan yang menjadi objek
penelitian, terdapat 28 BLU yang mengalami penurunan alokasi pendapatan BLU,
sedangkan 32 BLU pendidikan mengalami peningkatan alokasi pendapatan APBN
BLU. Pada 60 sampel BLU pendidikan yang menjadi objek penelitian yang
mendapatkan akreditasi A sebesar 26 BLU pendidikan, akreditasi B sebanyak 12
BLU pendidikan, akreditasi C sebanyak 1 BLU pendidikan, dan tidak mendapatkan
akreditasi sebanyak 14 BLU pendidikan. Terdapat hubungan rasio alokasi
pendapatan APBN dengan akreditasi pada BLU pendidikan dengan nilai korelasi sebesar 0,565 (sedang dan positif). Berdasarkan uji U Mann-Whitney, alokasi rasio
pendapatan pada BLU yang terakreditasi berbeda dengan BLU yang tidak
terakreditasi
Penulis:
Sekilas:
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bauran kebijakan makro
ekonomi yang berperan untuk mencapai tujuan makroekonomi suatu negara yang
telah diuraikan dalam rencana pembangunannya. Efektivitas kedua kebijakan
tersebut mutlak diperlukan untuk mencapai target pembangunan dan menciptakan
stabilitas perekonomian.
Penelitian ini dilakukan guna mengetahui efektivitas kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter dalam menangani inflasi di Indonesia periode 1984-2019.
Variabel yang menjadi proxy kebijakan fiskal adalah belanja pemerintah (rBP) dan
penerimaan pajak (rPP). Sedangkan yang menjadi proxy kebijakan moneter
adalah suku bunga Indonesia (rSBI) dan kurs (rKurs).
Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif dengan alat analisis
Vector Error Correction Model (VECM) karena variabel terkointegrasi tetapi
stasioner pada perbedaan pertama. Hasil dari penelitian ini adalah impulse respon
function (IRF) menunjukkan shock dari kebijakan fiskal direspon lebih cepat oleh
inflasi untuk mencapai tingkat kestabilan dibandingkan shock yang diberikan
kebijakan moneter. Sedangkan berdasarkan hasil dari uji variance decomposition
(VD), variabel rBP memiliki kontribusi terbesar 89,15 persen terhadap rInflasi.
Sedangkan rPP berkontribusi 1,12 persen, rSBI berkontribusi sebesar 0,01
persen, dan rKurs berkontribusi sebesar 8,21 persen terhadap rInflasi. Sehingga
berdasarkan hasil uji VECM terhadap efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter terhadap pengendalian inflasi periode 1984-2019, dihasilkan bahwa
kebijakan fiskal memiliki efektivitas lebih besar dibandingkan kebijakan moneter
terhadap pengendalian inflasi.
Saran terhadap penelitian selanjutnya agar menambahkan variabel yang
menjadi proxy kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Di samping itu,
sebaiknya juga menggunakan metodologi kualitatif untuk menguraikan faktor-
faktor yang memengaruhi kebijakan fiskal atau kebijakan moneter agar lebih efektif
dalam menangani inflasi yang terjadi.
Penulis: Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. ❖ Ade Nurul Aida, S.E., M.E.
Sekilas:
PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semakin tinggi
PAD suatu daerah, maka daerah tersebut semakin mampu untuk mandiri dan
mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat. Elastisitas PAD terhadap
PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi
kondisi fiskal di daerah. Dengan mengetahui elastisitas PAD, dapat diketahui
kepekaan perubahan pajak terhadap PDRB. Untuk itu penelitian ini akan
melakukan evaluasi terkait struktur PAD, yakni dengan melihat elastisitas PAD
terhadap PDRB di Indonesia, khususnya dalam era otonomi daerah yang telah
dilaksanakan selama dua dekade ini.
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data panel yang berasal
dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun data yang digunakan berasal dari tahun
2015 hingga tahun 2019. Data tersebut akan dianalisis secara deskriptif dan
dengan menggunakan OLS. Metode deskripsi digunakan untuk melihat elastisitas
di masing-masing provinsi di Indonesia. Sedangkan metode OLS digunakan untuk
melihat elastisitas secara nasional.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa setiap terjadi
pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1 persen, terdapat pertumbuhan PAD
sebesar 1,33 persen. Hal ini terlihat dengan semakin besarnya kontribusi PAD
dalam membiayai belanja daerah. Apabila dilihat per provinsi, sebagian besar
provinsi di Indonesia sudah menunjukkan bahwa PAD yang diperoleh bersifat
elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah daerah sudah memiliki kemampuan untuk menggali potensi-potensi
penerimaan di daerah. Namun dari 34 provinsi di Indonesia, masih terdapat 5
provinsi yang PAD-nya tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Kelima provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah dari kelima provinsi tersebut
perlu berinovasi dalam menggali sumber pendapatan daerah yang potensial,
misalnya dengan mengintensifkan pemungutan objek-objek pajak, mengelola
potensi daerah melalui penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun
meningkatkan pendapatan asli daerah dengan peningkatan pelayanan kepada
masyarakat melalui perbaikan fasilitas objek pajak dan retribusi.
Penulis:
Sekilas:
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU
tentang Cipta Kerja) telah mengubah dan menambah beberapa pasal dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU tentang PDRD), yang masuk dalam klaster kemudahan berusaha.
Untuk melaksanakannya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka
Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah (PP tentang PDRD).
Pengaturan dalam kedua beleid tersebut berimplikasi pada perubahan
kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah, yang pada gilirannya akan
berdampak pada keuangan negara dan keuangan daerah. Dengan menggunakan
penelitian kualitatif melalui pendekatan yuridis normatif, tulisan ini hendak
menganalisis perubahan kewenangan di bidang pajak dan retribusi daerah
berdasarkan UU tentang Cipta Kerja dan PP tentang PDRD, serta implikasinya
terhadap keuangan negara dan keuangan daerah.
Hasil studi menyimpulkan bahwa lahirnya UU tentang Cipta Kerja dan PP
tentang PDRD telah memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk
melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah, dihapusnya kewenangan
daerah untuk memungut retribusi gangguan, dihapusnya kewenangan pembatalan
peraturan daerah (perda) pajak dan retribusi daerah yang dimiliki oleh pemerintah
pusat dan kemudian diganti dengan kewenangan untuk memaksa pemerintah
daerah untuk melakukan perubahan perda pajak dan retribusi daerah, adanya
kewenangan pemerintah daerah memberikan insentif fiskal, dan adanya
kewenangan pemerintah untuk dapat memberikan insentif anggaran kepada
pemerintah daerah. Selain itu, hasil studi juga menyimpulkan bahwa perubahan
kewenangan tersebut akan berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan asli
daerah kabupaten/kota, semakin memburuknya derajat desentralisasi fiskal
kabupaten/kota, penurunan belanja daerah yang berimplikasi pada terganggunya
pelayanan publik di daerah, serta memburuknya ketergantungan daerah.
Penulis:
Sekilas:
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan gambaran dari
dilaksanakannya kebijakan pembangunan yang diambil oleh negara tersebut.
Peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikasi adanya
peningkatan pendapatan, yang pada gilirannya mencerminkan tingkat
kesejahteraan. Pentingnya pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah setiap
negara berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Upaya Indonesia
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menumbuhkan
sektor investasi. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi dan menjadi
faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang artinya investasi
merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Tenaga kerja
memegang peranan yang memungkinkan suatu daerah dapat menambah
produksi dalam menghasilkan barang dan jasa yang nantinya dapat memacu
pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Ekspor suatu negara memainkan peran
penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor dapat
menyuplai anggaran negara melalui pendapatan dan mata uang asing yang dapat
digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan menciptakan iklim investasi yang
menarik ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh dari
investasi, tenaga kerja, dan nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa penanaman modal asing,
penanaman modal dalam negeri, dan ekspor ditemukan tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, variabel tenaga kerja ditemukan
berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penulis:
Sekilas:
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kausalitas antara bonus
demografi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Indeks Pembangunan
Ketenagakerjaan (IPK) daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di wilayah
Indonesia. Bonus demografi berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi
karena penduduk berusia produktif memperoleh pendapatan, sehingga secara
keseluruhan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). IPM merupakan suatu kondisi dimana setiap penduduk mampu
mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan
pendidikan, sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Angka IPK adalah
suatu nilai yang menggambarkan kondisi keberhasilan pembangunan
ketenagakerjaan secara komposit yang mencakup 9 (sembilan) indikator utama
pembangunan ketenagakerjaan yang sangat mendasar, dan jika indikator tersebut
dikelola dengan baik maka akan memicu pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS)
dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Hasil pengujian kausalitas antara
variabel bonus demografi, IPM, IPK, dan pertumbuhan ekonomi provinsi Indonesia
pada tahun 2018-2020 menunjukkan bahwa rasio dependensi dapat
memperkirakan variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per
kapita (growth per kapita) secara signifikan, namun tidak sebaliknya. Sementara
itu, IPM dapat memprediksi variasi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan
PDRB per kapita (growth per kapita) secara dua arah, sedangkan IPK tidak dapat
memprediksi pertumbuhan PDRB (growth) dan pertumbuhan PDRB per kapita
(growth per kapita), begitu pula sebaliknya.
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715.269 / 5715.635 / 5715.656 - Fax. 021-5715.635