Jurnal Budget

Vol. 5 / No. 2 - Desember 2020

Penulis:

Sekilas:
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Industri ini menyumbang sebesar 5,8 persen terhadap industri manufaktur (BPS, 2020). Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri TPT merupakan sektor industri terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja apabila dibandingkan dengan sektor industri manufaktur lainnya (BPS, 2020). Dilihat kinerja perdagangannya, produk TPT juga menunjukkan kinerja yang baik dengan selalu tercatat surplus terutama dari tahun 2015 sampai 2019. Bahkan Indonesia tercatat sebagai 15 besar eksportir produk tekstil di dunia pada tahun 2018, karena Indonesia memasok 1,67 persen komoditas tekstil dunia (UNComtrade, 2020). Besarnya potensi pada industri TPT ini seharusnya menjadi peluang besar bagi Indonesia dalam menguasai pasar produk TPT di kawasan ASEAN. Dalam studi ini bertujuan untuk menganalisis daya saing industri TPT Indonesia dibanding negara-negara ASEAN lainnya dan faktorfaktor yang memengaruhi daya saing industri TPT di Kawasan ASEAN. Metode yang digunakan dalam menganalisis daya saing TPT Indonesia di Kawasan ASEAN ialah dengan Revealed Comparative Advantage (RCA). Selain itu, dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing digunakan metode regresi ordinary least square (OLS). Adapun kurun waktu data yang digunakan adalah dari tahun 2000 hingga 2019 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2000 hingga tahun 2005, nilai RCA ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia ke pasar ASEAN kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil dan produk tekstil memiliki keunggulan komparatif dan daya saing ke pasar ASEAN. Namun pada tahun 2005-2019 nilai RCA ekspor tekstil Indonesia ke pasar ASEAN justru terus mengalami penurunan dengan nilai kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dan daya saing yang kuat ke pasar ASEAN. Berdasarkan hasil olah data menggunakan analisis regresi ordinary least square menunjukkan bahwa variabel independen REER, harga ekspor, dan investasi secara statistik signifikan dan berhubungan negatif dengan daya saing ekspor TPT Indonesia di Kawasan ASEAN. Sementara itu harga energi, atau dalam hal ini gas, secara statistik tidak signifikan menjelaskan daya saing industri TPT. Dari hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi kembali terhadap regulasi atau kebijakan impor bahan baku yang dianggap memberatkan pelaku industri TPT, mengingat kebutuhan bahan baku industri TPT masih belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari domestik. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap banyaknya impor produk tekstil dengan merevisi terhadap bea masuk produk tekstil. Dengan demikian, pemerintah tetap melindungi sisi hilir dengan tetap memberi insentif pada sisi hulu.

Penulis:

Sekilas:
Kinerja sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan saat ini mengalami penurunan, karena pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami perlambatan dan neraca perdagangan negatif setiap tahunnya. Permasalahan tersebut dipengaruhi oleh faktor produksi dan harga. Faktor produksi merupakan faktor yang masih bisa dikendalikan oleh pemerintah. Sedangkan faktor harga sangat berkaitan dengan faktor eksternal, sehingga tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, tulisan ini akan berfokus pada pembahasan faktor produksi pada subsektor tanaman pangan. Hasil penelitian yang dilakukan memberikan beberapa kesimpulan yaitu determinan produksi sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh luas lahan dan produktivitas. Permasalahan pada lahan yaitu adanya alih fungsi lahan karena kebutuhan tempat tinggal, dan keperluan untuk fasilitas umum. Sedangkan konversi lahan sawah yang disebabkan adanya alih komoditi dari tanaman pangan ke tanaman nonpangan karena margin harga komoditas nonpangan dianggap lebih menguntungkan bagi petani. Salah satu faktor utama alih komoditi adalah persoalan harga khususnya pada saat panen raya, komoditas padi merupakan pangan pokok utama nasional, tetapi produktivitasnya terus mengalami penurunan, dan penggunaan alat mesin pertanian (alsintan) pada pasca panen masih relatif minim. Adapun upaya yang perlu dilakukan yaitu pemerintah harus menyerap hasil produksi petani dan pemberian bantuan alsintan harus secara lengkap yaitu pra panen dan pasca panen.

Penulis: Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. ❖ Ade Nurul Aida, S.E., M.E.

Sekilas:
Pelaksanaan otonomi daerah yang diterapkan sejak berlakunya UndangUndang (UU) No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, memberi peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya. Kesiapan daerah menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan daerah dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan yakni kemampuan keuangan daerah. Hal tersebut tentunya membawa konsekuensi adanya perbedaan kinerja keuangan antar daerah dari sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah, yang digambarkan dalam pemetaan kemampuan keuangan daerah. Pemetaan kemampuan keuangan daerah digunakan sebagai alat ukur kesiapan daerah dalam menjalankan kewenangannya. Pemetaan juga dijadikan dasar strategi pengembangan sektor potensial di daerah dalam mendorong kemandirian. Pemetaan ini disusun dalam rangka mengevaluasi tentang pelaksanaan otonomi daerah dilihat dari kemampuan keuangan daerah. Parameter yang digunakan dalam studi ini adalah perhitungan dan analisis kinerja PAD melalui ukuran yakni growth, share, dan elastisitas; pemetaan dan analisis kemampuan keuangan daerah dengan metode indeks dan metode kuadran, maupun dengan uji beda. Tahap analisis kemampuan keuangan daerah yakni menghitung Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) dengan rata-rata hitung dari indeks pertumbuhan (growth), indeks elastisitas, dan indeks share. Kemudian mengklasifikasikan IKK tersebut dengan mengombinasikannya ke dalam metode kuadran. Hasil analisis diperoleh bahwa indeks growth dan indeks share setelah adanya otonomi daerah mengalami penurunan. Artinya, pertumbuhan PAD maupun kontribusi PAD dalam APBD lebih rendah dari sebelum dilaksanakannya otonomi daerah. Sementara kontribusi PAD dalam membiayai belanja pembangunan yang tercermin dari nilai indeks elastisitas, menunjukkan bahwa secara rata-rata nilai indeks elastisitas setelah penerapan otonomi daerah meningkat menjadi 0,492, meskipun peningkatan tersebut masih relatif kecil yakni sebesar 0,06. Hasil analisis menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah, kemampuan keuangan daerah mengalami penurunan yang ditunjukkan dari jumlah provinsi yang memiliki IKK tinggi turun dari sebelum otonomi daerah. Selain itu, berdasarkan hasil uji t, diperoleh hasil bahwa penerapan otonomi daerah tidak meningkatkan kemampuan keuangan provinsi-provinsi di Indonesia. Dari peta kemampuan keuangan provinsi-provinsi di Indonesia sebelum dan sesudah otonomi daerah juga menunjukkan bahwa terjadi perubahan peta kemampuan keuangan daerah secara signifikan. Sebanyak 15 provinsi mengalami penurunan klasifikasi peta kemampuan keuangan daerah. Sedangkan hanya 2 provinsi yang mengalami peningkatan klasifikasi peta kemampuan keuangan daerah, yaitu Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong pemerintah daerah agar mampu berinovasi dalam menggali sumber pendapatan daerah sebagai bagian dari upaya peningkatan kemandirian daerah.

Penulis:

Sekilas:
Studi ini mengkaji perkembangan ketimpangan antar wilayah di Indonesia dari periode 2000-2019. Pengujian dilakukan dengan pengelompokan menggunakan tipologi Klassen dan pengukuran nilai ketimpangan dengan menggunakan indeks Williamson. Selain itu, hasil penghitungan ketimpangan tersebut diuji korelasinya dengan belanja pemerintah menurut jenisnya, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial serta transfer ke daerah. Hasil penelitian diketahui bahwa tipologi Klassen mengategorikan 2 provinsi berada dalam kelompok provinsi yang maju dan berkembang pesat/kuadran 1 yaitu DKI Jakarta dan Kepulauan Riau. Sementara itu, 8 provinsi masuk ke dalam kelompok provinsi yang masuk dalam kategori tertinggal (kuadran 3). Untuk kelompok provinsi yang tergolong berkembang dengan pendapatan per kapita melebihi rata-rata namun pertumbuhannya rendah dan berada di kuadran 4 terdapat 5 provinsi dan provinsi lainnya (19 provinsi) masuk ke dalam kuadran 2 yang merupakan kuadran dengan pertumbuhan tinggi namun PDRB per kapitanya di bawah rata-rata. Sementara itu, nilai ketimpangan yang diukur dengan indeks Williamson selama 2010-2019 berada di kisaran 0,70-0,76 yang mendekati angka 1, artinya Indonesia mengalami ketimpangan wilayah yang tinggi. Pengujian korelasi variasi indeks Williamson dengan variasi belanja negara menunjukkan belanja pegawai, belanja barang, belanja modal serta transfer ke daerah berhubungan positif dan signifikan terhadap indeks Williamson. Hal ini membuktikan bahwa belanja negara masih belum terdistribusi secara merata dan belum mampu mengangkat daerah dengan pertumbuhan rendah.

Penulis:

Sekilas:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND). Hal ini dilakukan di antaranya untuk mengetahui kontribusi kinerja keuangan BUMN di sektor perbankan terhadap laba yang diatribusikan ke pemilik entitas induk dan persentase kepemilikan saham pemerintah, untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dividend payout ratio (DPR) pada BUMN sektor perbankan seperti return on assets (ROA) dan capital adequacy ratio (CAR) secara bersama-sama (simultan), untuk mengetahui pengaruh profitabilitas (ROA) terhadap DPR pada bank BUMN, dan untuk mengetahui pengaruh rasio kecukupan modal/CAR terhadap DPR pada bank BUMN, serta untuk mengetahui target dan realisasi PNBP KND atas laba BUMN sektor perbankan. Berdasarkan hasil penelitian analisa kinerja keuangan hanya Bank BRI yang telah memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan laba dan persentase kepemilikan saham pemerintah yang besar sehingga penerimaan PNBP KND sektor perbankan secara keseluruhan belum optimal. Berdasarkan uji F, variabel ROA dan CAR perusahaan secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap DPR. Berdasarkan uji t, variabel ROA (X1) terhadap DPR menunjukkan ROA berpengaruh signifikan dan positif terhadap DPR. Begitu pula variabel CAR (X2). Realisasi PNBP KND/Setoran Dividen atas Laba Pemerintah BUMN sektor perbankan selalu melampaui target PNBP KND atas laba pemerintah. Namun, pemerintah masih perlu memformulasi target yang tepat untuk penerimaan PNBP KND karena pemerintah masih menetapkan rasio DPR yang sama untuk BUMN tanpa memerhatikan laba bank BUMN lebih besar atau kecil. Pemerintah juga masih menetapkan rasio DPR yang sama tanpa memerhatikan kinerja keuangan bank BUMN telah mengalami penurunan.

Penulis:

Sekilas:
Dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan konkuren, pemerintah pusat mengalokasikan belanja kepada pemerintah daerah berdasarkan asas tugas pembantuan. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat; pemerintah daerah baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Prinsipnya untuk mendukung asas dekonsentrasi atau asas tugas pembantuan, yang dalam pelaksanaan anggaran diwujudkan dengan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Menurut penggunaannya dana dekonsentrasi lebih ditujukan untuk upaya pembinaan, pengawasan, dan koordinasi, sementara dana tugas pembantuan difokuskan pada pembangunan output fisik. Pengalokasian belanja pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga (K/L) dalam bentuk belanja modal, belanja barang, dan belanja bantuan sosial, bersama dengan transfer dana perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk meningkatkan investasi/akumulasi barang modal pada pemerintah daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tergambar melalui peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Beberapa provinsi mendapatkan alokasi dana tugas pembantuan melebihi alokasi DAK, sementara di provinsi lainnya alokasinya lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh belanja modal, belanja barang, dan belanja bantuan sosial terhadap PDRB di 33 pemerintah provinsi (di luar DKI Jakarta). Data yang digunakan adalah data belanja modal, belanja barang, belanja bantuan sosial dan PDRB provinsi periode 2014-2019 yang bersumber dari BPS, Kementerian Keuangan, dan instansi terkait lainnya. Alat analisis yang digunakan yaitu regresi data panel dengan fixed effect model. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif terhadap PDRB dan variabel belanja bantuan sosial berpengaruh negatif terhadap PDRB. Variabel belanja barang dikeluarkan dari model karena tidak memenuhi uji multikolinearitas

Penulis: Rendy Alvaro, S.Sos., M.E. ❖ Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo, S.M, M.A.P.

Sekilas:
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, daerah diberikan sumber pendanaan sebagai salah satu fungsi pemberdayaan daerah. Lebih lanjut, desentralisasi jika dilihat dari sisi administrasi publik tentu akan berbicara mengenai bagaimana pelayanan yang diberikan kepada publik melalui perpanjangan tangan pemerintah daerah melalui belanja daerah. Belanja modal merupakan salah satu bentuk belanja yang mampu mewujudkan infrastruktur dan sarana yang semakin banyak. Dengan demikian dapat memberikan pengaruh langsung terhadap pelayanan publik. Akan tetapi, dari berbagai penelitian menyebutkan dari berbagai klasifikasi jenis belanja, belanja pegawai masih mendominasi belanja di pemerintah daerah sedangkan untuk belanja modal masih terbatas diberikan oleh pemerintah daerah. Lebih lanjut, berdasarkan data Kementerian Keuangan pada tahun 2017 alokasi belanja modal dalam skala provinsi sebesar 16,8 persen dan sedikit mengalami kenaikan menjadi 17 persen di tahun 2018. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap belanja modal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderasi pada seluruh provinsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan E-Views 9 untuk menganalisis data panel terkait belanja modal, PAD, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan pertumbuhan ekonomi yang terdiri dari cross section dan time series menggunakan sampel seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 2010-2018, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa PAD, DAK, DBH berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal. DAU tidak berpengaruh terhadap belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif signifikan terhadap belanja modal. Sementara itu, dari hasil uji juga diketahui pertumbuhan ekonomi memoderasi PAD dan DAU berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal. Sedangkan pertumbuhan ekonomi memoderasi DAK dan DBH berpengaruh negatif signifikan terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan baik bagi pemerintah dan legislatif baik di pusat maupun daerah terkait PAD dan Dana Perimbangan agar dapat mendukung keputusan yang terbaik dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam pembangunan. Dengan era desentralisasi, kontribusi transfer pemerintah pusat melalui dana perimbangan seharusnya mampu digunakan dengan baik untuk kebutuhan daerah dalam belanja modal untuk pembangunan di daerah masing-masing agar berdampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah.

Penulis:

Sekilas:
Salah satu faktor penting yang memengaruhi kemajuan perekonomian di suatu negara adalah kinerja investasi negara tersebut, yang merupakan salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) negara bersangkutan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia dalam satu dekade terakhir masih dominan ditopang oleh konsumsi rumah tangga dengan rata-rata kontribusi terhadap PDB sebesar 55,80 persen per tahun. Sedangkan investasi, hanya menduduki posisi kedua, dengan kontribusi sebesar 32,17 persen per tahun terhadap PDB dan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,09 persen per tahun. Padahal, peran investasi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tangguh dalam jangka panjang. Kondisi capaian dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan bahwa kinerja investasi belum berperan optimal dalam mendorong kemajuan perekonomian nasional. Kinerja investasi tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang sifatnya internal perusahaan maupun kondisi eksternal perusahaan, dan baik faktor ekonomi maupun non ekonomi. Berdasarkan Teori Dunning, salah satu faktor ekonomi yang memengaruhi kinerja investasi adalah biaya tenaga kerja yang salah satunya dapat diproksi dengan upah pekerja. Dalam satu dekade terakhir, upah minimum provinsi mengalami tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap investasi di Indonesia, dengan menggunakan data dari 32 (tiga puluh dua) provinsi pada periode 2011-2019 dan metode Fixed Effect Model (FEM). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa UMP memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan secara statistik terhadap investasi. Artinya, setiap kenaikan harga UMP akan menyebabkan penurunan nilai investasi. Demikian juga sebaliknya. Hasil lain dari penelitian ini adalah tingkat pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat sebagai variabel kontrol lainnya memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap investasi. Artinya, setiap perbaikan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat akan berdampak pada peningkatan nilai investasi.